Rabu, 06 Februari 2013

Polemik Nikah Sirri dan Itsbat Nikah

Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober  1975, namun sampai saat ini ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2)  tentang   pencatatan   perkawinan masih banyak dilanggar. Masih banyak umat Islam yang melakukan praktik kawin atau nikah sirri, yakni tidak mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama   sehingga tidak mempunyai kutipan akta nikah atau buku nikah yang menjadi bukti otentik terjadinya perkawinan.
Praktik kawin atau nikah sirri ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami, atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan  bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut di atas, di kalangan umat Islam  masih ada yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat  atau akta nikah,  sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap  proaktif  Pegawai  Pencatat  Nikah  Kantor  Urusan  Agama    untuk  mengawasi  setiap peristiwa nikah yang ada di wilayahnya.
Pengertian Nikah Sirri
Kata “sirri”  dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab sirrun yang berarti secara diam- diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Jadi nikah sirri berarti nikah secara rahasia (secret marriage, pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak).
Menurut Prof. DR. Mahmud Syalthut,   mantan   Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir,  berpendapat  bahwa  nikah  sirri  merupakan  jenis  pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan),  tidak  tercatat  secara  resmi,  dan  sepasang  suami  isteri  itu  hidup  secara  sembunyi- sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqaha’ sepakat akan kemakruhannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan kawin sirri  atau nikah di bawah tangan adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi, menyebutkan bahwa “nikah  sirri” adalah  pernikahan  yang  belum  diresmikan,  belum  diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan.
H. Wildan Suyuti Mustofa, Ketua PTA Semarang dalam Mimbar Hukum No. 28 Tahun 1996 menulis, nikah sirri dapat dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh  seorang  laki-laki  dan  seorang  perempuan tanpa  hadirnya  orangtua/wali si perempuan. Dalam perkawinan bentuk pertama ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang  akan  melakukan  akad  nikah,  dua  orang  saksi,  dan  guru  atau  ulama (kiyai) yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. Padahal guru atau ulama (kiyai) tersebut dalam pandangan hukum  Islam tidak  berwenang menjadi  wali nikah karena ia tidak termasuk dalam prioritas  wali nikah.
Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal. Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat diidentifikasi sebagai perkawinan sirri. Tiga indikator itu adalah : Pertama,  subyek hukum akad nikah, yang terdiri calon suami, calon istri, dan wali nikah yaitu orang yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat nikah dilangsungkan. Ketiga, walimatulursy, yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat diklasifikasi   sebagai kawin atau nikah sirri apabila  unsur kedua dan ketiga tidak   terpenuhi, yaitu perkawinan tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Kawin atau nikah sirri tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah, baik dari aspek hukum Islam maupun hukum positif. Jika dikatakan bahwa  perkawinan yang sah adalah perkawinan  yang  telah  memenuhi  syarat  dan  rukun  perkawinan  sebagaimana  diatur  dalam hukum Islam maupun hukum positif. Hal itu karena Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan perkawinan itu. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan apabila telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam maupun hukum positif adalah sah menurut hukum Islam dan hukum positif. Tapi karena perkawinan itu tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah sehingga dikatakan sebagai nikah atau kawin sirri.
Nikah sirri kategori pertama yang dikatakan oleh Wildan Suyuti Mustofa di atas, yaitu perkawinan yang tidak dihadiri oleh wali nikah, sulit untuk dilegalkan dan tidak mempunyai landasan hukum.
Di masyarakat seringkali terjadi kawin sirri dilakukan di hadapan kiyai, guru atau modin. Pada saat perkawinan dilangsungkan yang menjadi wali nikah adalah kiyai, guru atau modin, sementara orangtua/wali nikah dari perempuan tidak memberikan delegasi untuk menikahkan anak perempuannya. Perkawinan semacam ini jelas tidak sah karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu tidak ada wali nikah.
Mengenai masalah pencatatan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah menentukan keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam karena pencatatan perkawinan hanya menyangkut masalah administratif. Namun demikian, suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatatan Nikah, suami istri tersebut tidak akan memiliki buku nikah sebagai bukti otentik terjadinya perkawinan sehingga perkawinannya secara yuridis tidak diakui pemerintah, tidak mempunyai kepastian hukum dan perlindungan hukum dari Negara.
Itsbat Nikah
Untuk memberikan legitimasi nikah  sirri atau perkawinan yang tidak dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang sering disebut  dengan  pengesahan nikah  adalah kewenangan Pengadilan Agama yang  merupakan perkara voluntair. Perkara voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon saja. Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena tidak ada pihak lawan atau tidak obyek hukum yang disengketakan.
Dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah  dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolute Pengadilan Agama di antaranya adalah Itsbat Nikah, yaitu pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis dari itsbat nikah  terdapat di dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dari ketentuan tersebut, dapat  dirumuskan bahwa kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang itsbat nikah adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama sekarang ini pada umumnya  sekitar 95%  adalah  perkawinan  yang  dilangsungkan pasca  berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diitsbatkan hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karenanya ketentuan tersebut, tidak memberi sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam (terpenuhi syarat dan dan rukunnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan itu tidak boleh diitsbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.     Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan;
b.     Hilangnya akta nikah;
c.     Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.     Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
e.     Perkawinan  yang  dilakukan  oleh  mereka  yang  tidak  mempunyai  halangan  perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam praktik beracara di Pengadilan Agama, hakim pada umumnya langsung menerapkan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tanpa menguji kekuatan keberlakukan KHI di hadapan undang-undang. Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 7 Ayat  (3) huruf a di atas sulit dipahami, tetapi mayoritas hakim Pengadilan Agama dengan penafsiran yang kabur memahami ketentuan Ayat (3) huruf a tersebut, seolah-olah merupakan keharusan untuk menerima permohonan itsbat nikah jika diajukan dengan dikumulasi gugatan perceraian,  walaupun  perkawinan  itu dilakukan setelah berlakunnya Undang-Undang No. 1 Tahun  1974.  Demikian juga ketika hakim memahami ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam jika ditinjau dari hierarki peraturan perundang- undangan seperti yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan, Kompilasi  Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan kedudukannya jauh di bawah undang-undang. Ketentuan Inpres tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.  Apabila Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang lebih tinggi, maka Inpres tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas “Lex Superior Dragot lex Inferior” (ketentuan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan di atas, bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan organiknya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku secara efektif sejak 1 Oktober 1975, maka sejak tanggal tersebut semua perkawinan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang perkawinan tersebut. Perkawinan yang dilakukan setelah tanggal tersebut, tetapi tidak mengikuti ketentuan undang-undang tersebut, maka perkawinan itu tidak mendapatkan kepastian hukum dan diakui oleh  pemerintah.
Secara yuridis, jika perkawinan tersebut diajukan permohonan itsbat  nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan tersebut harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim, berarti pengadilan agama telah meligitimasi dan mengakui perkawinan yang melawan hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan   tersebut, harus cermat meneliti apakah perkawinan yang dimohonkan untuk di-itsbat-kan itu dilaksanakan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Islam atau tidak. Jika dalam pemeriksaan di persidangan tidak terbukti bahwa perkawinan itu dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, hakim wajib menolak permohonan itsbat nikah itu, walaupun diajukan dalam rangka menyelesaikan perceraian. Sebab bagaimana mungkin hakim menyatakan sahnya suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, seharusnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (e) KHI tersebut memberi kriteria yang jelas dan tegas, bahwa perkawinan yang dapat dimohonkan itsbat-nya ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Perkawinan yang dilakukan setelah Undang-undang No.1 Tahun 1974 diundangkan yang tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah, dapatkah  di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama?
Jawabnya: tidak dengan argumentasi: Secara yuridis ketentuan Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, hanya memberi izin kepada Pengadilan Agama untuk meng-itsbat-kan perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan tapi perkawinan mereka tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, hal itu menjadi indikator bahwa mereka tidak patuh dan tidak taat hukum untuk mencatatkan perkawinannya. Terhadap perkawinan yang demikian, hukum tidak melindungi dan tidak diakui oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim harus menolaknya karena tidak ada landasan yang logis  secara hukum untuk mengabulkannya.
Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berarti melegitimasi dan mengakui perkawinan yang melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) itu dapat di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan :
1.    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) hurup a angka 22 dan penjelasannya, hanya mengizinkan kepada Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang ditentukan dalam Hukum Islam.
2.    Ketentuan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan landasan hukum oleh hakim dalam melakukan Itsbat Nikah   terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sangatlah lemah karena KHI tidak termasuk  dalam  hierarki  peraturan  perundang-undangan  sebagaimana  diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan.
3.    Nikah sirri setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974, sebagai sebagai indikator ketidakpatuhan  dan ketidaktaatan terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) undang-Undang 1974, mengitsbatkannya akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat.
4.    Bila itsbat nikah dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada para pencari keadilan, maka diperlukan payung hukum yang kuat bagi Pengadilan Agama untuk melakukannya dengan mengamandemen ketentuan Pasal 49  Ayat (2) huruf a angkat 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA :
Abdul Hayyi, Muhammad, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Al-Azhar, Makatabah Nashir.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Dar-Alfikr.
Halim, Abd., Studi Hukum Perkawinan Islam Kontemporer,  Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Shomad, Abd., Hukum Islam : Penerapan Prinsip Syari’ah dan Hukum Islam,   Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-masalah Krusial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995.
Zien, Satria Egendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1996 dan No.. 28 Tahun 1996.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
UU No. 3 Tahun 2006
UU No. 50 Tahun 2009
Penulis: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, MH. (Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)

Selasa, 29 Januari 2013

Kisah Imam Al-Ghozali dan Enam Pertanyaan


Alkisah, Imam Al-Ghozali sedang mengajar murid-muridnyanya. Al Ghazali memberikan enam pertanyaan yang sangat legendaris kepada para muridnya. Wahai murid-muridku sekalian, coba kalian jawab “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?” Murid-muridnya menjawab “orang tua, guru, kawan, dan sahabat”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayaka (Ali Imran 185)
Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang. Karena itu manusia harus selalu bersiap diri menghadapinya. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya. Janganlah kita lengah dalam memahami hal ini, jangan sekali-kali merasa diri jauh dari mati, karena itu membuat kita besar hati. Justru kerahasiaannya harus kita maknai bahwa mati bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa adanya peringatan dari-Nya. Inilah yang hendak disampaikan oleh Al-Ghazali kepada murid-muridnya.
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?” Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar, tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. “Masa Lalu” menjadi yang paling jauh karena dengan cara apapun kita tidak akan dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Ini tepat dengan sebuah hadits yang menganjurkan bahwa kehidupan kita hari ini harus jauh lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika difikir lebih dalam, maka yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kali, sekali kita bertindak kesalahan kita tidak bisa merevisinya lagi. Paling banter kita hanya bisa bertobat dan berharap pengampunan. Sebagian pepatah bilang waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Emas, harta bisa dicari tapi waktu yang sudah berlalu tak mungkin hadir kembali.
Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. 7:179) (Al A’Raf 179).
Nafsu adalah hal penentu pada diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki? Kendalikanlah nafsumu, ingin celaka selamanya? Turuti nafsumu… pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan tersembunyi dari al-Ghazali bahwa nafsu adalah hal paling besar, hal yang paling menentukan. Bahkan Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu.
Kemudian al-Ghazali meneruskan pada pertanyaan keempat, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Murid-murid menjawab “besi...gajah”. Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. 33:72) (Al Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya. Saking beratnya, setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang para pemimpin, anggota dewan, pengusaha dan tokoh-tokoh yang disinyalir tidak amanah harus berurusan dengan hukum.
Pertanyaan Imam al-Ghazali yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara berbagai macam kesibukan kita begitu mudah meninggalkan sholat.
Kita harus ingat bahwa sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah kewajiban terpenting di dunia ini. Namun anehnya, meski demikian sholat adalah hal termudah yang sering dilewatkan oleh orang-orang muslim? Ringan sekali melewatinya.
Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, manusia begitu mudah menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. Ironisnya, luka dan sakit akibat tajamnya lidah manusia jauh lebih membekas dan jauh lebih sulit hilang dibandingkan sakit atau luka bekas benda tajam. Ingatlah sebuah hadits yang menerangkan:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: “Seorang muslim adalah orang bisa menjaga orang muslim lainnya dari lisannya dan tangannya.”
So, sering-seringlah merenung bahwa mati akan segera menjemput kita, insya Allah diri kita akan termotifasi untuk mengendalikan nafsu, menjalankan sholat, menjaga lidah dan memegang amanah.

Selasa, 06 Desember 2011

Macam-macam Hadis dan Kriterianya


Hadis telah ditulis sejak masa-masa awal Islam oleh para sahabat. Para sahabat inilah yang kemudian meriwayatkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik mengenai apa yang telah diucapkan, dilakukan, ditetapkan, ataupun himmah Nabi Muhammad SAW.
Dan untuk menjamin bahwa sebuah hadis adalah benar berasal dari Nabi, muhaditsun kemudian mengembangkan disiplin ilmu yang disebut ulum al hadits. Dari disiplin ilmu ini, kemudian diperoleh status apakah sebuah hadits dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud).
Sebuah hadis yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak dapat dijadikan hujah.[1]
Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits hasan, dan hadits hasan.[2]
  1. Hadits Shahih
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad, yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,  dlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.[3]
Dari pengertian di atas, maka suatu hadits dinilai shahih apabila memenuhi syarat:
1.      Rawi-nya bersifat ‘adil, yakni rawi sebuah hadits harus selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan mubah yang dapat menodai muru’ah.[4]
2.      Rawi-nya dlabith, yakni orang yang terpelihara, kuat ingatannya, dan ingatnya lebih banyak daripada kesalahannya. Dlabith ini sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, Dlabith al Shadri, yakni seorang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan pada orang lain. Dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki. Kedua, Dlabith al Kitab, yakni seseorang yang dlabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.[5]
3.      Musnad, yakni muttashil-nya sanad dan marfu’-nya matan. Yang dimaksud dengan muttashil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran pada tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya disandarkan kepada Nabi SAW.[6]
4.      Tanpa ‘illat. ‘illat hadits yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai ke-shahih-an hadits, misalnya; meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap hadits mursal atau hadits munqathi’, atau berupa sisipan yang terdapat pada matan hadits.[7]
5.      Tidak ada kejanggalan. Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad dalam ke-dlabith-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[8]
  1. Hadits Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan.[9]
Dari definisi di atas berarti hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith­-nya (qalil dlabith).
  1. Hadits Dlaif
Hadits Dlaif adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.[10]
Hadits dlaif ini bermacam-macam, dan ke-dlaif-an juga bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi-nya, sanad, atau matan-nya.
Dari segi rawi, sebuah hadits dlaif terdapat didalamnya kecacatan para rawi, baik mengenai ke-‘adil­-an maupun mengenai ke-dlabith­-annya. Misalnya dia pendusta, tertuduh dusta, fasiq, lengah dalam hafalan, atau menyalahi riwayat orang kepercayaan.[11] Yang termasuk dalam kategori hadits dlaif cacat rawi adalah hadits mawdlu’, matruk, munkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudltharib, muharraf, mushahhaf, mubham, mardud, syadz, mukhalith.[12]
Dari segi sanad, sebuah hadits dikatakan dlaif bila sanad-nya tidak bersambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terjadi inqitha’ (gugur rawi) pada sanad. Kecacatan pada sanad ini kemudian muncul istilah hadits mu’allaq, hadits mursal, dan hadits mu’dlal serta hadits munqathi’.[13]
Dari segi matan, sebuah hadits dikatakan dlaif bila bertentangan dengan petunjuk al Qur’an, bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat, bertentangan dengan akal sehat, serta susunannya tidak mencerminkan sabda Nabi.[14]

Jawaban Atas Ikhtilaf Al Hadits

Uraian di atas kiranya dapat menjawab ihktilaf al hadits yang berkaitan dengan keotentikan hadits, sebab sistem periwayatan hadits, baik yang melalui tulisan ataupun lisan sudah berlangsung sejak masa Nabi. Ditambah lagi, sebuah hadits harus melalui seleksi yang begitu ketat, baik yang berkaitan dengan sanad, matan, atau pun sifat para pe-rawi hadits, kiranya sudah sedemikian meyakinkan. Apabila dibandingkan dengan sebuah karya ilmiah kontemporer, hadits juga tidak kalah ilmiahnya, malah bisa dikatakan lebih ilmiah dan lebih dapat dipercaya.
Sebuah karya tulis dikatakan ilmiah bila mampu menunjukkan rujukan atau referensinya, hadits malah lebih dari sekedar menunjukkan referensi. Sebuah hadits dapat dikatakan shahih bila rawi murid dan rawi guru bertemu langsung. Itu pun masih ditambah si rawi harus ‘adil dan dlabith, sebab bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hadits yang diriwayatkannya akan tertolak.
Ketika sebuah hadits sudah memiliki kualifikasi shahih sehingga dapat dipercaya sebagai otentik berasal dari Nabi, haruskah berdebat mengenai pengamalannya? Kaitannya dengan pengamalan hadits kiranya perlu ditelaah firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imron ayat 132:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (آل عمران:       )

Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat (Q.S. Ali ‘Imron: 132).[15]

Menaati Rasul berarti mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan terhadap larangannya, dengan kata lain mengikuti sunnah-nya. Karena itu, segala hadits yang diakui shahih wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat Islam, sama halnya dengan keharusan mengikuti al Qur’an, sebab hadits merupakan interpretasi (bayan) dari al Qur’an.
Kemudian, bahwa hadits merupakan pedoman hidup yang harus diikuti, hal ini berdasarkan Nabi sendiri, yaitu:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتى (رواه الحاكم عن ابى هريرة)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat sesudahnya, yakni: Kitabullah dan Sunnahku(H.R. al Hakim dari Abu Hurairah)

Selanjutnya, seandainya kita menolak secara keseluruhan, niscaya kita tidak tahu cara mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, dan lain sebagainya. Dengan argumen demikian, maka dengan sendirinya ikhtilaf tentang penerimaan hadits dapat terjawab.
Masalah lain adalah ikhtilaf tentang pengamalan hadits maqbul, yaitu apabila ada dua hadits maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah:
  1. Men-jama’-kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
  2. Dicari rajih-marjuh­-nya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan. Dari segi ini ada tiga pandangan:
1)      Dari segi sanad (’itibar sanad);
a)      Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b)      Rawi sahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi sahabat kecil.
c)      Rawi yang tsiqah lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqah.
2)      Dari segi matan (‘itibar matan);
a)      Hadits yang mempunyai arti hakikat me-rajih-kan hadits yang mempunyai arti majazi.
b)      Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi me-rajih-kan hadits  yang hanya mempunyai petunjuk maksud arti satu segi.
c)      Matan hadits qauli me-rajih yang fi’li.
3)      Dari segi hasil penunjukan (madlul). Madlul yang mutsbit (positif) me-rajih-kan yang naïf (negatif).
  1. Dicari nasikh-mansukh-nya, yang nasikh diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan. Adapun cara nasakh adalah sebagai berikut:
1)      Penjelasan Syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi).
2)      Penjelasan dari sahabat, mereka menyaksikan wurud-nya hadits.
3)      Diketahui masa wurud-nya hadits:
a)      Terdapat kata-kata ibtida’ atau awal.
b)      Terdapat kata-kata qabliyah.
c)      Terdapat kata-kata ba’diyah.
d)     Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu ; sebulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
  1. Di-tawaquf-kan bila tidak bisa di-jama’, di-tarjih, dan di-nasakh. Hadits-nya tidak diamalkan.[16]  
Adapun ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits ahad sebagai dasar tasyri’ Jumhur ulama’ berpendapat Hadits ahad walaupun bersifat dzan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi pegangan sejak masa Nabi dan sahabat. Maka dengan ijma’-nya bersifat qath’i.[17]
Ikhtilaf yang lain adalah meriwayatkan (untuk ber-hujjah) terhadap hadits dlaif gharib (tidak ada syahid dan mutabi’) dan tidak mawdlu’. Dalam hal ini Abu Bakar Ibn ‘Arabi melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk ber-hujjah dengan hadits dlaif, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal.
Sedangkan Ahmad Ibn Hanbal, Abdurrahman Ibn Mahdi, dan Abdullah Ibn al Mubarrak membolehkan periwayatan dan penggunaan hadits dla’if untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum syari’at dan aqidah. Namun, Imam Nawawi menambahkan, bila hendak menukilkan hadits dla’if tanpa menyebutkan sanad-nya dan juga hendaknya jangan memakai sighat jazm, seperti qala, fa’ala, ataupun amara Rasulullah kadza wa kadza.[18]  

Penutup

Kedudukan hadits sebagai dasar ajaran Islam, mengalami persepsi dan pandangan bervariasi, baik dikalangan umat Islam sendiri maupun pandangan dari luar umat Islam. Problematika ini bersumber dari aspek sejarah periwayatan hadits dan karena kondisi kualitas hadits itu sendiri. Disinilah letak pentingnya memahami kaidah atau kriteria yang digunakan Muhaditsun dalam menyeleksi hadits.
Meskipun tidak sempurna, Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjawab problematika-problematika hadits, mulai dari masalah keotentikan hadits yang Penulis paparkan melalui sistem periwayatan hadits serta ketatnya standard mengenai hadits agar dapat dikategorikan hadits yang dapat diterima. Selain itu, Penulis juga berusaha memaparkan ikhtilaf mengenai pengamalan hadits ahad, hadits dla’if, dan juga tentang dua hadits maqbul yang saling berlawanan.  Untuk itu, saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Wallahu a’lam bi shawab……… !!


DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997
Shalih, Subhi, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004


[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 139
[2] Subhi Shalih, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965, hlm. 141
[3] Ibid., hlm. 145
[4] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 140
[5] Ibid., hlm. 141
[6] Ibid., hlm. 142
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Subhi Shalih, Op. Cit., hlm. 156
[10] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 143
[11] Ibid., hlm. 145-146
[12] Ibid., hlm. 177
[13] Ibid., hlm. 149 et.seq.
[14] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996, hlm. 9
[15] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 84
[16] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 161 et.seq
[17] Ibid., hlm. 106
[18] Ibid., hlm. 163

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design