Minggu, 26 Desember 2010

Muhammad; Sang Reformer Peradaban Arab

Membicarakan Muhammad, seperti tidak pernah ada habisnya. Ada yang melihatnya sebagai manusia pilihan Tuhan, yang diberi risalah untuk “membebaskan” manusia dari zaman “kegelapan” (jahiliyyah) menuju zaman “terang benderang” (keislaman), dan beliau juga “dipersenjatai” Tuhan dengan berbagai macam mukjizat –yang terbesar adalah al Qur’an– untuk “meluluhkan” musuh-musuhnya (orang-orang kafir). Dalam hal ini Muhammad dipandang secara pure sebagai Nabi.
Ada pula yang melihat Beliau dari sisi kemanusiannya, yakni manusia produk sejarah yang tidak lepas dari kondisi sosio-kultural dimana beliau tinggal, yang mengangkat isu-isu sosial secara cerdas dengan membingkainya dengan muatan-muatan yang penuh nuansa spiritual. Beliau juga dianggap sebagai sosok yang merubah dunia Arab, dari yang tidak “diperhitungkan” menjadi kawasan yang “diperhitungkan” oleh sejarah.
Dari sudut pandang apapun, Muhammad adalah salah satu simbol kebanggaan umat Islam, yang selalu dipuja, dihormati, dan diteladani sepanjang masa. Tidak mengherankan jika Michael Hart menobatkan Muhammad sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh sepanjang sejarah.


Keadaan Sosio-Kultural Arab Sebelum Muhammad


Kita tidak bisa menunjukkan perubahan apa yang dibangun oleh Muhammad tanpa mengetahui bagaimana keadaan masyarakat Arab sebelum kedatangan Muhammad. Alasannya jelas, tidak ada revolusi, politik, atau keagamaan yang dapat menghapus jejak masa lalu. Kontinuitas senatiasa ada, dan inilah yang memelihara pertautan organis dengan masa lalu.
Saat ini Arab merupakan salah satu wilayah terkaya di dunia dan banyak negara besar bersemangat untuk menancapkan “hegemoni” atau minimal bersaing mencari simpati dari negara-negara Arab agar mendapatkan prioritas untuk bekerja sama dalam bidang perminyakan. Bahkan, ketika Amerika Serikat, di bawah komando “Bush Family” (George Bush dan George W. Bush) menginvasi Irak sebanyak dua kali, disinyalir penuh muatan politis-ekonomis (urusan minyak).
Namun siapa sangka, ketika Muhammad lahir di Kota Mekkah sekitar tahun 570, tak satu pun negara besar di wilayah itu memikirkan Arab. Persia dan Byzantium disibukkan dengan pertengkaran mereka yang melelahkan, yang berakhir sesaat sebelum Muhammad meninggal. Persia dan Byzantium tak pernah mempertimbangkan untuk menguasai wilayah ini dan tak seorang pun bermimpi bahwa di wilayah ini akan melahirkan sebuah agama baru, yang segera menjadi kekuatan dunia yang besar.1
Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, History of the Arabs, menyebutkan bahwa permukaan Arab hampir seluruhnya gurun pasir dengan daerah sempit yang dapat di huni. Ketika jumlah penduduk bertambah melampaui kapasitas tanah yang dapat menampungnya, mereka harus mencari tanah lain yang lebih luas.2
Mekkah, tempat kelahiran Islam, berada di pinggiran gurun pasir yang sangat luas, yang di huni oleh penduduk yang di sebut Badui. Mereka adalah kelompok suku nomad, di mana hanya beberapa saja yang tinggal di dekat oase dan menjalani kehidupan yang menetap. Hal ini menjadikan mereka mempunyai watak yang keras.. Keuletan dan ketabahan adalah keistimewaan mereka, sedangkan kekurangan mereka adalah kurangnya disiplin dan menghormati kekuasaan.3
Dalam karya monumentalnya, muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis bahwa suku Badui adalah bangsa yang tak beradab, yang terbiasa melakukan tindakan-tindakan yang tak bermoral. Mereka begitu menikmati ini karena diartikan sebagai terbebas dari kekuasaan dan tiadanya ketundukan pada kepemimpinan. Lebih dari itu, sudah menjadi sifat mereka untuk merampas apa saja yang dimiliki oleh orang lain. Makanan mereka adalah apa yang di dapat dari melemparkan tombak ke musuh.4
Selain itu, Bangsa Badui juga tidak peduli dengan hukum atau berusaha mencegah tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau melindungi suatu suku dari penyerbuan suku lainnya.5 Bahkan terhadap perempuan, mereka memperlakukannya tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Misalnya ada seorang laki-laki meninggal dunia, puteranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika suka dengan tanpa memberikan mas kawin.6
Satu hal lagi yang menarik dari kehidupan orang Mekkah, karena mereka termasuk kaum nomad yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka tidak mengenal konsep pemilikan tanah. Bahkan di Madinah pun, yang merupakan oasis subur, pertanian belum sampai pada tingkat yang mengarah kepada kepemilikan tanah secara individu. Tanah-tanah yang bisa ditanami dimiliki secara bersama-sama. Demikian juga di Mekkah, hampir tidak ada apa yang dinamakan dengan pemilikan tanah, meskipun terdapat rumah-rumah yang dimiliki oleh keluarga-keluarga.7
Kaitannya dengan struktur pemerintahan, konstitusi mereka adalah demokrasi yang di pimpin oleh kepala suku. Kepala suku ini memperoleh kekuasan karena keturunan atau sifat bangsawan, kekayaan, kebijaksanaan, dan pengalaman mereka. Namun demikian, para pemimpin ini tidak mempunyai hak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada para bawahan mereka.8 Dengan demikian, dalam fase ini bisa dikatakan struktur dasar masyarakat badui adalah organisasi suku.
Pada paruh kedua abad VI, terjadi perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan bangsa Arab, di mana saat itu terjadi perubahan rute perdagangan Euphrat- Persia terganggu dan terancam oleh permusuhan yang terus menerus antara kerajaan Byzantium dan Persia. Hal ini mengakibatkan para pedagang harus mencari jalan lain yang lebih aman. Karena lokasi Mekkah berada di sepanjang rute perdagangan yang membentang dari Arabia selatan sampai utara, maka Mekkah berubah menjadi jalur perdagangan internasional,9 dan suku Quraisy berhasil membangun hegemoni perdagangan. Kafilah-kafilahnya tersebar luas, menguasai titik-titik perdagangan internasional. Saudagar-saudagar penting Mekkah menjadi kaya raya dan mengontrol hampir semua kehidupan ekonomi.10 Meskipun demikian, di Mekkah tetap saja tidak terdapat lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang ada hanyalah mala’a (sebuah lembaga senat yang terdiri dari wakil-wakil suku).11
Akibat langsung dari berubahnya kehidupan, yang diakibatkan oleh transformasi ekonomi dari ekonomi pedesaan menjadi ekonomi perdagangan, adalah ketidak mampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri. Perdagangan ini pula yang menjadikan sebagian dari mereka menjadi kaya, sementara yang lain-meskipun berasal dari suku yang sama- mengalami kesulitan ekonomi dan bahkan miskin. Golongan kaya ini mulai tidak mau membagikan kekayaan mereka kepada anggota suku mereka sebagaimana yang dulunya mereka lakukan.12
Perkembangan lebih lanjut, mereka yang kaya membentuk kerja sama intra-suku, sedangkan kalangan anggota suku yang miskin juga membentuk asosiasi sendiri yang tidak mengenal batas-batas kesukuan, yang disebut dengan “Hif al Fudul”.13
Kaitannya dengan masalah keagamaan, mereka memiliki kehidupan spiritual yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap suci dan merupakan tempat kuil-kuil yang memiliki ritual kuno masing-masing, yang berpusat pada Tuhan yang khusus. Yang paling penting dari semuanya adalah Ka’bah, yang terletak di dekat sumber air keramat Zamzam. Pada masa Muhammad, Ka’bah secara resmi didedikasikan pada tuhan Hubal, tuhan yang di bawa ke Arab dari tradisi kerajaan Nabatean (Yordania).14 Di dekat Mekkah juga terdapat kuil-kuil yang terkenal, seperti Kuil al Lata, al Uzza,dan Manat. Namun tidak seperti orang Yunani, Bangsa Arab tidak mengembangkan mitologi untuk menjelaskan kepentingan simbolis dari sosok-sosok agung ini.


Muhammad dan Peradaban yang Dibangun


Uraian di atas sedikit banyak memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab sebelum munculnya Muhammad untuk menjadi pembaharu dan pembawa perubahan yang sangat signifikan di kawasan Arabia khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya. Dari uraian diatas pula, dapat dipahami bahwa Muhammad tidak benar-benar berangkat dari “ruang hampa”, melainkan ada keadaan sosio-kultural yang melatar belakanginya.
Pewahyuan di Goa Hira’ tahun 610 M jelas merupakan kejadian penting, namun itu hanya suatu permulaan. Lebih penting dari itu, Beliau harus mulai berfikir keras untuk mendiagnosa kehidupan di Mekkah. Beliau sadar dan mungkin percaya bahwa hanya utusan Tuhan yang dapat “menyembuhkan” persoalan kotanya. Namun kita tahu dari al Qur’an bahwa Muhammad tidak pernah membayangkan sedikit pun bahwa dialah yang akan menjadi Sang Nabi.15
Tahun 612, di awal misinya, Muhammad memiliki konsep sederhana tentang perannya. Beliau bukanlah juru selamat atau messiah. Beliau belum mempunyai misi universal, sehingga Beliau belum merasa perlu menyampaikan ajarannya kepada seluruh bangsa Arab. Beliau hanya menyampaikan ajarannya kepada penduduk Mekkah dan sekitarnya.
Di masa awal misinya, Muhammad tidak mengeluarkan daftar panjang kewajiban. Tapi Beliau bertekad untuk mereformasi etika kehormatan bangsa Arab yang sudah di kenal suku Quraisy. Beliau, dengan tuntunan al Qur’an, mengajarkan bahwa setiap orang harus berusaha keras untuk menciptakan masyarakat yang adil; kaum lemah diperlakukan dengan baik. Selain itu, Muhammad juga tidak membenarkan menumpuk kekayaan untuk kesenangan pribadi, tetapi dianggap kebaikan bila memberikan derma dan membagi kekayaan secara merata.16
Muhammad memang tidak pernah mengkritik kapitalisme, dan mungkin tidak sependapat dengan semua konsep baru tentang sosialisme. Namun bila kita teliti secara mendalam, dia jelas seorang sosialis dan ini meninggalkan kesan yang melekat pada etos Islam. Benar, Beliau tidak mengutuk kekayaan dan kepemilikan sebagaimana dilakukan Yesus, tapi Beliau melarang kaum muslim menimbun uangnya atau mengembangkan permusuhan untuk mendapat lebih dari yang lainnya. Beliau juga memerintahkan kaum muslim untuk memelihara kaum miskin dan tidak boleh menipu anak yatim atas harta warisan mereka.17
Selain itu, Muhammad juga mulai mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya bisa diibaratkan seperti “barang”. Muhammad, tentu masih dengan petunjuk Tuhan, memberi hak bagi kaum perempuan untuk mewaris, dan bukannya “diwaris”, memberinya hak untuk bersaksi, dan bahkan memberi hak hak untuk membatalkan kesaksian laki-laki.18 Muhammad juga memberikan hak-hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, pemilikan harta benda dan pemeliharaan anak.19 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Muhammad pada saat itu sedang melakukan revolusi sosial dan mengajarkan prinsip egalitarianisme (persamaan derajat), tidak menyukai ketidakadilan dan eksploitasi.
Ajaran Muhammad yang lain dan juga termasuk ajaran fundamentalnya adalah monotheisme. Hal ini dapat dilihat dari seluruh ajaran Muhammad yang bersifat sosial pun selalu di bingkai dengan nuansa spiritual. Adapun dasar spiritualitas Muhammad itu sendiri adalah kesatuan Illahi (monotheisme).20 Dan inilah yang selalu diupayakan oleh Muhammad dalam hidup seseorang dan dalam masyarakat.
Sebenarnya ajaran monotheistic Muhammad ini bukanlah hal yang baru, namun tak banyak orang Quraisy yang siap melakukan pemutusan hubungan dengan masa lampau secara radikal dan membiarkan kekeramatan kuno berlalu begitu saja. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Madinah yang tidak terkejut dengan ide monotheisme karena mereka terbiasa hidup berdampingan kaum Yahudi dan Kristen.
Kondisi seperti inilah yang “memudahkan” Muhammad mengembangkan ajarannya di Madinah dibandingkan di Mekkah, sehingga perkembangan ajaran Muhammad di Madinah ini mencapai kemajuan yang spektakuler. Bahkan di Madinah ini pula, Muhammad mencetak blue print komunitas Islam pertama dengan mengeluarkan sebuah piagam yang menjamin kebebasan orang-orang Yahudi sebagai sebuah komunitas, dengan menekankan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin, dan menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerja sama demi keamanan mereka bersama. Dan sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada Nabi untuk memutuskan dan mengadili perselisihan-perselisihan di antara mereka.21
Munculnya Piagam Madinah ini berarti membentuk sebuah kelompok baru dimana semua suku adalah “satu komunitas” (umat) yang berdasarkan agama, bukan persaudaraan. Dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di Arab karena sampai saat itu suku masih merupakan unit dasar masyarakat.22
Lahirnya Piagam Madinah ini dianggap sebagai “kelahiran” negara Islam pertama di dunia. Penilaian ini sangat wajar mengingat di Madinah saat itu memang telah memenuhi unsur terbentuknya sebuah Negara, yaitu Wilayah, Pemimpin, rakyat yang di pimpin, dan juga Undang-undang. Dan bahkan pada tahap selanjutnya, komunitas Muslim ini memberikan perhatian yang cukup intens pada pembentukan sebuah kelompok militer yang professional.23




DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti), cet. V, 2001
Engineer, Asghar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam,; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baihaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999
_______Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LSPPA), cet. II, 2000
Rahman, Fazlur, Islam terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka), cet. III, 1997
Yahya ,Imam, “Relasi Sipil-Militer dalam Islam: Studi tentang Militer dalam Wacana Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi 18, tahun VII, 2000
Hidayat, Komarudin, Tragedi Raja Midas, (Jakarta: Paramadina), 1998


1 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti), cet. V, 2001, hlm. 55
2 Asghar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam,; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baihaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, hlm. 18
3 Ibid., hlm. 20
4 Ibid., hlm. 22
5 Ibid.
6Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LSPPA), cet. II, 2000, hlm. 32
7 Asghar Ali Engineer, Asal-usul….Op. Cit., hlm. 46
8 Ibid, hlm. 24
9 Ibid. hlm. 43
10 Karen Armstrong, Op. Cit., hlm. 62
11Asghar Ali Engineer, Asal-usul…Op. Cit., hlm. 65
12 Ibid., hlm. 75
13 Ibid.
14 Karen Armstrong, Muhammad…..Op. Cit. hlm. 65
15 Ibid., hlm. 97
16 Ibid., hlm. 112
17 Ibid., hlm. 113
18 Asghar Ali Engineer, Hak-hak…..Op. Cit., hlm. 101
19 Lihat kata pengantar Asghar Ali Engineer dalam Ibid., hlm. ix
20 Karen Armstrong, Op. Cit., hlm. 154
21 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka), cet. III, 1997, hlm. 13
22 Karen Armstrong, Op. Cit., hlm. 212
23 Imam Yahya, “Relasi Sipil-Militer dalam Islam: Studi tentang Militer dalam Wacana Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi 18, tahun VII, 2000, hlm. 63

Sabtu, 25 Desember 2010

Sekilas Tentang Tafsir Tahlili

Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.[1] Pengertian lebih lengkap diberikan oleh Quraish Shihab yang mendefinisikan tafsir tahliliy sebagai satu metode tafsir dimana para mufassir mengkaji ayat-ayat al Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf utsmani.[2] Dengan demikian dapat dipahami bahwa karakter utama dari jenis tafsir ini adalah menafsirkan berdasarkan tertib ayat dan surat sebagaimana tercantum dalam mushaf, menguraikan makna dan kandungan ayat secara komprehensip dari berbagai seginya, bermula dari arti kosakata, asbab al nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.[3]
Hampir senada dengan Quraish Shihab adalah Said Agil yang menyatakan bahwa para pengkaji metode ini juga menjelaskan makna lafadz dan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munasabah). Dan untuk keperlan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada sebab-sebab turun ayat (asbab al nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW. dan riwayat dari para shahabat  dan tabi’in.
Diantara keempat metode tafsir al Qur’an yang populer- tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan metode mawdluiy-, metode tafsir tahliliy merupakan metode yang paling tua. Hal ini dikarenakan metode tafsir jenis ini embrionya sudah ada sejak masa sahabat Nabi SAW. Pada awalnya para sahabat hanya menfasirkan beberapa ayat saja dari al Qur’an, kemudian pada masa-masa berikutnya mereka merasakan perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi al Qur’an, sehingga pada akhir abad ketiga dan awal keempat, para hali tafsir seperti Ibn Majjah, al Thabari dan lain-lainnya mengkaji keseluruhan isi al Qur’an.[4]
Keterangan tersebut di atas memperkuat pendapat Said Agil yang mengatakan bahwa metode tafsir tahliliy adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan ulama’-ulama’ terdahulu. Meksipun begitu, diantara mereka tidak mengemukakannya dengan cara yang sama, melainkan berbeda. Mereka ada yang mengemukakannya dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (i’jaz) dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Jadi, para ulama’ pada masa-masa dahulu sama-sama menafsirkan al Qur’an dengan menggunakan metode tahliliy, tetapi dengan corak yang berbeda.
Menurut Malik Ibn Nabi, seorang pemikir Aljazair kontemporer, para Ulama’ menafsirkan al Qur’an dengan metode tahliliy itu tidak lain dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman kemu’jizatan al Qur’an.[5]
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik Ibn Nabi di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan para ulama’ tadi, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, masa kini pengembangan metode untuk penafsiran menjadi sangat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Muhammad Baqir al Shadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan gagasan-gagasan dan konsepsi al Qur’an yang beraneka ragam dan terpisah-pisah dalam kehidupan umat Islam.[6]
Tafsir yang menggunakan metode tahliliy dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis sesuai dengan coraknya masing-masing. Misalnya, tafsir tahliliy yang bercorak fiqhiy, sufiy, falsafiy, ‘ilmiy, dan adabiy.[7] Namun secara garis besar, tafsir tahliliy dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tafsir bi al ma’tsur dan tafsir bi al ra’yi.[8]

1.      Tafsir bi al Ma’tsur

Tafsir jenis ini biasa disebut dengan tafsir bi al riwayah atau tafsir bi al manqul. Para ulama’ telah membuat definisi yang beraneka ragam tentang pengertian tafsir jenis ini, yang secara redaksional memiliki perbedaan, namun memiliki pengertian yang sama. Diantara definisi-definisi tersebut anatara lain yang mengatakan bahwa  tafsir bi al ma’tsur adalah cara menafsirkan al Qur’an dengan merujuk pada penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat tertentu dengan alasan bahwa penafsiran yang benar tentu saja yang datang dari Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Itulah sebabnya metode ini dinamakan tafsir bi al ma’tsur atau menafsirkan al Qur’an berdasarkan tradisi Nabi dan para sahabatnya.[9]  Definisi yang lain adalah yang diberikan oleh Muhammad Husein al Dzahabi, yang mengatakan bahwa tafsir bi al ma’tsur adalah sesuatu yang bersumber dari nash al Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasulullah, para sahabat, dan para tabi’in, yang kesemuanya itu merupakan penjelasan terhadap  nash-nash al Qur’an, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.[10]
 Dari dua definisi tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa sumber dari model penafsiran bi al ma’tsur adalah:
a.       al Qur’an; contohnya adalah lafadz “min al fajr” dalam Q.S. al Baqarah: 187 adalah merupakan penjelasan dari lafadz “al khaith al abyadh” yang disebutkan sebelumnya.
b.      Sunnah Nabi SAW, contohnya adalah lafadz “bi dhulmi” dalam Q.S. al An’am: 82 yang ditafsiri oleh Nabi dengan “al Syirk”.
c.       Pendapat (aqwal) sahabat, contohnya adalah penafsiran Abdullah Ibn ‘Abbas yang menafsirkan Q.S. al Nasr: 110, yang menurutnya merupakan penjelasan terhadap ajal Nabi SAW.
d.      Perkatan (aqwal) tabi’in. Contoh-contohnya terdapat dalam kitab tafsir karya Ibn Jarir al Thabari, yang di dalamnya banyak dinukilkan dari para sahabat dan para tabi’in.[11]
Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode ini yang cukup terkenal adalah Jami’ al Bayan fi tafsir al Quran oleh Ibn Jarir al Thabari, al Kasyf wa al Bayan ‘an Tafsir al Qur’an karya Abi Muhammad al Husain al Baghawi dan Tafsir al Qur’an al ‘Azhim karya Ibn Katsir.[12]

  1. Tafsir bi al Ra’yi

Tafsir ini sering disebut dengan tafsir bi al Dirayah atau tafsir bi al ‘aqli. Secara terminologis, tafsir bi al ra’yi didefinisikan sebagai metode menafsirkan al Qur’an dengan kekuatan penalaran dan unsur-unsur keilmuan yang berkembang di dunia Islam yang memang berkaitan dengan bunyi teks serta isyarat-isyarat ilmiah yang datang dari al Qur’an sendiri.[13]
Namun begitu, tidak sembarang orang bisa melakukan cara tafsir bi al ra’yi ini, melainkan dia harus seorang mufassir yang telah memenuhi beberapaq persyaratan, yaitu:
1)      Berpegang teguh kepada hadits yahg berasal dari Rasulullah dengan menjauhi riwayat-riwayat yang lemah dan palsu,
2)      Berpegang teguh kepada aqwal sahabat, khususnya yang berkaitan dengan asbab al nuzul dan beberapa hal lain yang tidak bercampur dengan ra’yu,
3)      Berpegang teguh pada kaidah bahasa Arab, dan
4)      Berpegang teguh pada sesuatu yang dimaksud oleh ayat al Qur’an dan harus sesuai dengan ketentuan syara’.[14]
Akan tetapi, menurut Subhi Shalih, meskipun tafsir bi al ra’yi telah memenuhi beberapa syarat sebagaimana tersebut di atas, corak penafsiran yang demikian tetap tidak dapat dibenarkan kalau bertentangan dengan tafsir bi al ma’tsur yang sudah pasti berdasarkan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Hal ini disebabkan karena ra’yu adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan dengan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits shahih.[15]

Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahliliy

Sebagaimana metode-metode penafsiran yang lain, metode penafsiran tahliliy juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Dan diantara kelebihan metode tahliliy adalah bahasannya yang komprehensif dan kaya dengan informasi tentang berbagai hal yang terkandung atau mungkin dikandung oleh suatu ayat.[16]
Kelebihan yang lain adalah kita diajak untuk menelusuri kembali serta diperkenalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar turunnya al Qur’an dan suasana social-psikologis Rasulullah serta para sahabat sewaktu al Qur’an diturunkan. Selain itu, dengan metode ini kita juga diharapkan mampu menangkap pesan dan pemahaman al Qur’an tidak secara tekstual serta tidak terkurung oleh lingkup histories-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al Qur’an yang bersifat rasional dan universal yang hadir dalam “pakaian” lokal.[17]
Sedangkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metode tafsir tahliliy  adalah bersifat parsial, cenderung kepada  pemaksaan suatu ide untuk dimasukkan ke dalam, dan terlalu berbelit-belit sehingga menimbulkan kesulitan untuk memperoleh konsep-konsep ajaran al Qur’an yang compatible dengan kehidupan nyata di masyarakat. Baqir al Sadr, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menilai bahwa metode tahliliy telah melahirkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
Dapat ditambahkan pula bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepatnya dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassir-nya. Jelasnya, meskipun metode tahliliy ini dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat yang lain.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya –apakah pada diri kita atau pada metode mereka- adalah bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya sangat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan spesifik yang mereka alami pada masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al Qur’an yang berlaku untuk setiap waktu dan tempat.[18]



DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan,  Cet. XIX, 1999
al Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
al Farmawiy, Abd al Hayy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977
Ichwan, Mohammad Nor, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998
al Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, Mekkah: al Daar al Su’udiyyah li Nashr, t.t.







[1] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm. 75
[2] Said Agil Husin al Munawar, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002,hlm. 70
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan,  Cet. XIX, 1999, hlm. 86
[4] Mohamad Nor Ichwan, Loc. Cit.
[5] Lihat  Ibid., hlm. 76
[6] Ibid., hlm. 77
[7] Lihat Said Agil Husin al Munawar, Op. Cit., hlm. 70-72
[8] Abd al Hayy al Farmawiy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977,hlm. 24
[9] Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 191
[10] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., hlm. 78. Lihat juga Manna’ al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, Mekkah: al Daar al Su’udiyyah li Nashr, t.t., hlm. 182
[11] Mohammad Nor Ichwan, Op.Cit., hlm. 81-84. Masuknya aqwal tabi’in dalam kategori tafsir bi al ma’tsur menimbulkan kontroversi karena jelas bukan nash ataupun riwayat, melainkan ra’yu. Ditambah lagi, tidak ada faktor kuat yang menjamin otoritas mereka
[12] Komaruddin Hidayat, Loc. Cit.
[13] Ibid.
[14] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., hlm. 91
[15] Ibid.
[16] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 86 et. Seq.
[17] Komaruddin Hidayat, Loc. Cit.
[18] Ibid.

Lagu Islami/Religi

Senin, 20 Desember 2010

Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah


Pembahasan tentang pendidikan pada awal Islam hampir tidak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Namun begitu, bagi Muslim ortodoks keadaan demikian justeru dianggap sebagai mukjizat.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.[1]
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, Nabi Muhammad SAW tampak secara nyata telah mendidik para sahabat dari belenggu jahiliyyah, kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural poverty. Dari segi politik, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kemerdekaan bagi umat yang tertindas. Nabi Muhammad SAW mengingatkan hak-hak serta tanggung jawab mereka menjadi umat yang melek politik, hingga mereka menjadi umat yang senantiasa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan bermasyarakat dan bernegara, agar mereka menjadi umat yang kuat dan tidak dirampas hak-haknya.[2]
Namun demikian, sebenarnya sebelum Islam datang, orang Arab sudah mengenal pendidikan. Diantara mereka sudah ada yang mampu membaca dan menulis, bahkan mereka juga sudah menyelenggarakan lembaga pendidikan baca dan tulis, meski denagn bentuk yang masih sangat sederhana. Dan ini tetap berlangsung sampai kemudian Islam datang. Dengan kondisi demikian, maka tidak mengherankan apabila pendidikan pada masa awal Islam bukanlah enterprise yang diselenggarakan secara modern, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat.
Proses pendidikan waktu itu merupakan sesuatu yang alamiah terjadi, dimana ketika ada orang yang mampu membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang tidak dapat membaca dan menghendaki belajar, maka terjadilah proses belajar mengajar. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Namun begitu, biasanya kegiatan seperti ini berlangsung di rumah-rumah para guru atau pekarangan masjid. Contoh misalnya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di rumah al Arqam Ibn al Arqam.[3]
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab[4] pada orang-orang Islam Makkah.[5]
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah.[6] Materi yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Untuk tidak dirancukan dengan kuttab yang mengajarkan al Qur’an, perlu dibedakan antara kuttab jenis ini dengan kuttab yang mengajarkan baca-tulis. Kuttab jenis baca-tulis telah ada sejak masa permulaan dan sebelum Islam datang, sedangkan kuttab yang mengajarkan al Qur’an baru ditemukan setelah datangnya Islam. Namun begitu, kuttab jenis ini tidaklah didapati pada permulaan Islam muncul. Dalam hal ini, Ahmad Syalabi berpendapat bahwa meskipun pada permulaan Islam rencana pelajaran difokuskan pada menghayati al Qur’an, namun pada saat itu orang yang hafal al Qur’an jumlahnya masih sedikit. Hal ini mengingat pada permulaan Islam menghafal al Qur’an adalah suatu hal yang langka dilakukan orang.[7] Namun setelah Islam semakin meluas, pengajaran tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, melainkan materinya kemudian ditambah dengan kemampuan membaca al Qur’an secara baik dan benar.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam.Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah.[8] Menurut sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.[9]
Suffah ini menawarkan pendidikan bukan hanya untuk para pemondok, tetapi juga untuk para ulama’ dan pengunjung pada saat itu yang cukup banyak jumlahnya. Dari waktu ke waktu jumlah penghuni suffah ini berubah-ubah.[10]
Dari keterangan di atas, terlihat bahwa masjid pada masa Islam permulaan mempunyai fungsi yang jauh lebih bervariasi dibandingkan fungsinya sekarang karena selain mempunyai fungsi utama sebagai tempat pembinaan ketaqwaan dan beribadah, pembangunan masjid di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW juga difungsikan sebagai tempat belajar. Di masjid pula Nabi Muhammad SAW menyediakan ruang khusus bagi para sahabat Beliau yang miskin,yang kemudian terkenal dengan sebutan ahl al suffah/ashab al suffah.
Ahl al suffah ini terdiri dari para sahabat Nabi yang tergolong fakir dan tidak memiliki keluarga. Mereka tinggal menetap di emperan Masjid Nabawi yang difungsikan sebagai “sekolah” untuk belajar membaca dan memahami agama. Di sana mereka juga mengkaji dan mempelajari al Qur’an, kemudian melakukan rihlah (perjalanan ilmiah), ke seluruh penjuru dunia untuk mengajarkan al Qur’an kepada umat manusia.[11]



[1] Abdurahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media, 2003, hlm. 188
[2] Ibid.
[3] Lihat Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hlm. 21
[4] Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hlm. 86
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 34
[6] Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 24
[7] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 40
[8] Suffah atau yang juga disebut al Zilla adalah tempat duduk yang berada di pinggir masjid dan seatap dengan masjid atau serambi masjid.
[9] Lihat Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005, hlm. 44
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 43

Minggu, 19 Desember 2010

Pembaharuan Kalam, Filsafat, dan Tarekat Ibnu Taimiyah

Ketika Islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat) Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda dengan masa awal, dimana Islam dipahami dan diamalkan secara sederhana, murni, utuh dan penuh semangat. Sejak saat itu pula berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan Islam. Dan sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman dan pengamalan Islam menjadi sangat kompleks dan beragam, bahkan mulai mengalami ketidaktentuan dan secara perlahan berkembang menjadi tak terkontrol. Dalam suasana seperti itu, muncullah tokoh yang terkenal dengan semangat puritanisme-nya, yaitu Ibnu Taimiyah.
Kerangka dasar pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menunjukkan bahwa Islam dan pembaharuan Islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah dan sintetik (buatan). Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan dalam Islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.

PEMBAHARUAN IBNU TAIMIYAH

Perjuangan Ibnu Taimiyah untuk menghidupkan kembali Islam yang murni ternyata membuat orang kagum dan mau mendukung, tetapi sebagian yang lain justeru menentangnya. Pengikut-pengikut dan pendukungnya cukup kuat, tetapi musuh-musuhnya pun tidak sedikit jumlahnya. Pengagumnya menganggap bahwa ia adalah ahli yang paling dapat dipercaya di bidang ijtihad, tetapi penentangnya merendahkannya dan menganggap ide-idenya sangat sederhana dan mempertanyakan keimanannya.
Diantara pokok-pokok pemikiran Ibnu Taimiyah adalah kritikan terhadap perilaku dan praktek-praktek kaum Muslimin, baik yang berkaitan dengan Kalam, Filsafat, ataupun Tarekat.

  1. Kritik terhadap Kalam
Dalam mengkritik Kalam, Ibnu Taimiyah membalikkan posisi paham al Ghazali yang menganggap Kalam lebih utama Fiqh, kemudian ia juga mencela Kalam sebagai bentuk penyimpangan Islam. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Fazlurrahman, Kalam, terutama yang diikuti oleh para teolog (mutakallimun) setelah abad III benar-benar sudah tidak berdasarkan al Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa para mutakallimun menganggap ilmunya sebagai ilmu yang benar, karena berkaitan dengan prinsip universal dari keyakinan, sedangkan Fiqh hanya membicarakan hukum dan permasalahan-permasalahan khusus yang besar kemungkinan terperangkap dalam persoalan ijtihad (kebebasan berpikir).1
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “para mutakallimun menegaskan bahwa pembahasan-pembahasan Kalam merupakan hal yang pasti dan menghasilkan pendirian, tetapi kenyataannya tidak ada di antara para ulama’ Islam yang lebih terkotak-kotak dan saling bertentangan dari pada persoalan Kalam. Masing-masing golongan saling menyerang lawan-lawannya, mengklaim kebenaran pandangannya, bahkan saling mengkafirkan (takfir) satu sama lain.2Pencelaan Ibnu Taimiyah terhadap Kalam ini tidak hanya sebatas menganggap Kalam itu lebih buruk dibanding Fiqh, tetapi juga menganggap sebagai perkembangan yang sangat disayangkan dalam Islam.3
Ibnu Taimiyah begitu menentang Kalam hingga ia tidak menggunakan istilah kalam untuk teologinya, yang biasanya disebut dengan “Ilmu Keesaan Tuhan” (tawhid). Menurutnya, diperlukan reorientasi teologi yang radikal, karena doktrin “Kehendak Tuhan” (qadar), yang diterima dan dikembangkan pada satu sisinya saja oleh teologi yang “resmi”, telah merongrong kehidupan moral keagamaan. Untuk maksud ini diperlukan suatu pembedaan yang tajam antara “Kehendak Tuhan yang penuh Kemahakuasaan” (iradah kawniyyah) dan fungsi Tuhan sebagai “Pemerintah” (sering disebut kehendak atau perintah agama [iradah diniyyah]). Apabila doktrin yang pertama diperlukan oleh kepercayaan agama, maka doktrin yang kedua merupakan titik tolak “tindakan” religius: “Kekuasaan” dan “Kehendak” Tuhan bukanlah argumen bagi siapapun terhadap Tuhan dan Kreasi-Nya. Jadi, qadar adalah suatu obyek keimanan, tetapi tidak bisa menjadi dasar bagi suatu argumen.4
Dengan pola pemikiran seperti itu, Ibnu Taimiyah menolak doktrin Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki daya demi “memelihara” kekuasaan dan keabsolutan Tuhan.5 Jelasnya, doktrin yang dikenal dengan “teori kasb” ini menganggap bahwa perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau ac quisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih, dan diputus sendiri untuk dilakukan itu.6
Teori kasb ini berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kekuasaan (potensi) kehendak perbuatan untuk melaksanakan perintah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatannya sendiri. Namun demikian, Ibnu Taimiyah tetap percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pembuat segala sesuatu. Pendapat ini menurut Ibnu Taimiyah merupakan jalan tengah (tawasuth) antara paham Jabariyah dan Qadariyah.7
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menganggap orang yang tidak percaya kepada qadar adalah seperti orang-orang Majusi (yakni penganut-penganut paham Dualisme), tetapi mereka yang menggunakannya sebagai dasar argumen (dalam masalah tindakan) adalah seperti orang-orang Musyrik (yang berbantah menentang Muhammad dengan mengatakan bahwa seandainya Tuhan menghendaki, tentulah mereka tidak menjadi orang-orang Musyrik).8

  1. Kritik terhadap Filsafat
Satu hal yang perlu diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan pada zaman itu, baik ilmu kedokteran maupun alkemi (kimia), sebagaimana juga metafisika, matematika, astronomi, bahkan musik dan puisi termasuk wilayah Filsafat. Sebab Filsafat, dalam pengertian yang luas itu, mencakup bidang-bidang yang sekarang disebut sebagai “ilmu pengetahuan umum”, yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris.
Dari semua jenis tersebut di atas, hanya filsafat yang bersifat penalaran murni dan deduktif saja yang ditolak oleh Ibnu Taimiyah, khususnya metafisika (al falsafah al ‘ula), yang dalam banyak hal menyangkut bidang yang, bagi Ibnu Taimiyah, merupakan wewenang agama.9
Keberatan Ibnu Taimiyah yang lain terhadap Filsafat adalah karena filsafat meskipun memiliki sumber-sumber yang berasal dari ajaran Islam sendiri, tetapi banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani seperti Neoplatonisme dan pemikiran-pemikiran logika Aristoteles. Disinilah pangkal keberatan Ibnu Taimiyah terhadap Filsafat karena merujuk kepada orang-orang musyrik Yunani.10
Ibnu Taimiyah sendiri sebenarnya juga tidak sependapat dengan logika (manthiq) Aristoteles. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, logika Aristoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis kulliyat (universals) atau al musytarak al muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibnu Taimiyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih dari hasil ta’aqul (intelektualisasi).
Epistimologi Ibnu Taimiyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interpretasi. Sebab baginya, dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani dan lain-lain, diperkuat dengan agama, yang dalam bahasa Ibnu Taimiyah disebut sebagai “fithrah yang diturunkan” (al fithrah al munazzalah).11
Satu hal yang pasti, Ibnu Taimiyah berkeinginan untuk memisahkan ajaran Islam dengan faktor asing atau yang datang dari luar. Ia menentang terhadap pemikiran asing dalam bentuk yang disesuaikan dengan ajaran Islam, termasuk di dalamnya filsafat yang begitu terpengaruh dengan pemikiran Neoplatonisme dan Aristoteles. Akal sebagai produk pemikiran yang dikeluarkan orang Islam dengan nama “filsafat” menurut Ibnu Taimiyah tidak ada penyesuaian terhadap agama, bahkan menjadi wahm atau khayalan yang diduga oleh sebagian orang Islam benar, padahal sebenarnya jauh dari kebenaran.12

  1. Kritik terhadap Tarekat13
Dalam menilai Tasawuf, Ibnu Taimiyah lebih moderat (mengambil jalan tengah), yakni antara mereka yang menganggap Tasawuf sebagai satu-satunya cara mendekatkan diri kepada Allah yang paling benar, dan mereka yang menganggapnya bid’ah. Menurut Ibnu Taimiyah, sikap yang paling baik dalam menilai Tasawuf atau segala sesuatu yang lain adalah menerima hal-hal yang sesuai dengan al Qur’an dan al Sunnah serta menolak hal-hal yang bertentangan dengan keduanya.14
Bertolak dari pandangan ini, Ibnu Taimiyah sangat setuju dengan sufi-sufi ortodoks seperti al Junayd, tetapi mencela dan mengkritik perkembangan tertentu dalam lingkaran sufi. Ibnu Taimiyah pun membedakan secara tajam antara sufi klasik dengan sufi belakangan. Sufi klasik dicirikan dengan perhatian terhadap moral dan asketis, sedangkan sufi belakangan dikhususkan dengan kegemaran dalam kesenangan yang memberikan kenikmatan.
Ibnu Taimiyah kemudian menjelaskan bahwa ke-khusu’-an yang berlebihan dalam ibadah yang menjauhkan seseorang dari kehidupan sosial merupakan ciri yang biasa dilakukan oleh biarawan Kristen dan banyak para sufi. Keduanya salah apabila jenis “kegiatan spiritual” ini benar-benar memberikan kesenangan dan merupakan bentuk kesenangan pribadi.15
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa semua aspek ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang integral dan wajib dipedomani serta diamalkan secara utuh dan seimbang, tidak boleh mementingkan aspek tertentu dan mengabaikan aspek lainnya. Sebab dengan memberi tekanan berlebihan pada salah satu aspek tersebut akan memberikan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun) dalam Islam.
Bertolak dari teori ini, Ibnu Taimiyah menegaskan pula: adalah suatu kesalahan yang fatal jika seseorang hanya mementingkan satu aspek ajaran Islam seperti Tasawuf saja atau sebaliknya. Menurutnya, setiap aktifitas lahir maupun batin yang bertujuan mencari ridlo Allah terhitung sebagai ibadah.16
Berkaitan dengan Tasawuf ini, Ibnu Taimiyah kemudian membedakan para sufi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
  1. Masyayikh al Islam atau masyayikh al Kitab wa al Sunnah, yaitu para sufi yang menempuh jalan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah Fudayl bin’Iyad, Ibrahim bin Adham, Abu Sulayman al Darani, al Junayd bin Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al Jilany, Syaikh Hammad al Dabbas, dan lain-lain. Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi ini tidak pernah mabuk (sukr) dan tidak kehilangan perasaan untuk membedakan atau berkata tentang sesuatu yang bertentangan dengan al Qur’an maupun Sunnah.
  2. Para sufi yang pengalamannya dalam fana’ (mabuk) telah melemahkan pikiran mereka. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk membedakan dan membuat kata-katanya tak beraturan karena tak terkontrol oleh nalar. Meskipun demikian, menurut Ibnu Taimiyah, perbuatan mereka termaafkan karena dilakukan dalam kondisi tak sadarkan diri (ecstasy). Yang termasuk dalam tingkatan kedua ini adalah Abu Yazid al Bustami, Abu Bakar al Sibli dan Abu al Husayn al Nuri.
  3. Tingkatan terakhir adalah para sufi yang menempuh jalan sesat, karena mempercayai gagasan dan doktrin yang bertentangan dengan Islam, seperti al Hallaj. Menurut Ibnu Taimiyah, al Hallaj adalah orang yang menganut doktrin inkarnasi sebagian (hulul khas), yaitu sebuah doktrin yang mirip dengan keyakinan orang Nasrani terhadap Yesus.17
Ibnu Taimiyah sangat terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya serta terus berusaha meluruskan ajaran Islam yang diselewengkan para sufi. Secara terus menerus ia menyeru untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, al Qur’an dan al Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang ia luruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat, dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurutnya, yang disebut wali ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah Islamiyah.18


DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, H. M. Yusran, DIrasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Hamim, Thoha, et.al., Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan Hukum, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999
Nashuha, Muhammad, “Tuhan menurut Pemikiran Imam al Asy’ari dan Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Teologia Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Vol. XII, No. 2, Juni 2001
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
---------, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. II, 1997
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, Cet. IV, 2000
Syukur, Amin (et.al), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
---------, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999


1 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 188
2 Ibid., hlm. 189
3 Ibid.
4 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. II, 1997, hlm. 162
5 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan……..,Op. Cit., hlm. 195
6 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, Cet. IV, 2000, hlm. 210
7 Muhammad Nashuha, “Tuhan menurut Pemikiran Imam al Asy’ari dan Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Teologia Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Vol. XII, No. 2, Juni 2001, hlm. 164
8 Fazlur Rahman, Islam……, Op. Cit., hlm. 163
9 Nurcholis Majid, Op. Cit., hlm. 224
10 Ibid., hlm. 219
11 Ibid., hlm. 213
12 H. M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.56
13 Tarekat dalam bahasa Arab disebut thariqah atau jalan spiritual menuju Tuhan yang oleh Fazlur Rahman merupakan metodologi yang dikembangkan ketika sufisme telah memperoleh pengikut. Dalam tarekat ini diajarkan tahapan-tahapan atau maqamat jalan sufi. Lihat Fazlur Rahman, Islam……….Op. Cit.,hlm. 194. Dengan demikian, Tarekat merupakan ordo-ordo dari ajaran Tasawuf. Lebih lanjut lihat Masyharuddin, “Ibnu Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf” dalam Amin Syukur (et.al), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 91. Lihat juga Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, 40
14 Suprapto, “Antara Tasawwuf dan Syari’ah; Studi atas Pemikiran Neo-Sufisme Ibn Taimiyah” dalam Thoha Hamin, et.al., Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan Hukum, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999, hlm. 85
15 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan…….,Op. Cit., hlm. 195 et.seq.
16 Amin Syukur, (et.al.), Tasawuf dan Krisis…..,Op. Cit., hlm. 97
17 Suprapto, Op. Cit., hlm. 86
18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf…….,Op. Cit., hlm. 40

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design