Selasa, 30 November 2010

Algoritma

Istilah algoritma, mungkin bukan sesuatu yang asing bagi kita. Ditinjau dari asal-usul katanya, kata ‘Algoritma’ mempunyai sejarah yang agak aneh. Orang hanya menemukan kata Algorism yang berarti proses menghitung dengan angka Arab. Seseorang dikatakan ‘Algorist’ jika menghitung menggunakan angka Arab. Para ahli bahasa berusaha menemukan asal kata ini namun hasilnya kurang memuaskan. Akhirnya para ahli sejarah matematika menemukan asal kata tersebut yang berasal dari nama penulis buku Arab terkenal, yaitu Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa Al-Khuwarizmi dibaca orang barat menjadi Algorism.
Definisi Algoritma adalah langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Contoh sederhana adalah penyusunan sebuah resep makanan, yang biasanya terdapat langkah-langkah cara memasak masakan tersebut. Tapi, algoritma umumnya digunakan untuk membuat diagram alur (flowchart) dalam ilmu komputer / informatika.

5 Hal Penyebab Kegagalan Blogger

Jumlah Blogger terus mengalami peningkatan yang signifikan. Selain saya dan anda, diluar sana ada jutaan Blogger yang beredar. Banyak yang terus bertahan dan eksis karena berbagai alasan. Namun tidak sedikit yang “mundur” teratur, tidak terawat serta hilang entah ditelan apa. Mereka ini bisa disebut “Blogger yang gagal”.
Anda, juga saya, tentu tidak ingin menjadi bagian dari mereka, Blogger yang gagal. Ada 5 hal yang perlu kita pahami agar kita mendapatkan kesadaran untuk menghindarinya dalam karir blog kita.

1.      Termotivasi dengan uang
Jika anda blogging hanya untuk uang, ketika sampai pada bulan ketiga dalam kehidupan blog dan anda hanya mendapakan sedikit uang atau bahkan tidak sama sekali, tantangannya adalah apakah anda masih disana pada bulan keempat dan seterusnya. Ingat, semua butuh proses. So, fokus pada motivasi dalam menikmati proses dalam menulis topik yang anda kuasai dan berinteraksi dengan orang lain yang sama ketertarikannya dengan anda. Anda akan membutuhkan tenaga yang lebih dalam mengarungi perjalanan blog anda serta menjaganya sampai benar-benar mencapai hasil yang bagus secara finansial.

2.      Memulai blogging tentang bagaimana menghasilkan uang
Awalnya saya juga seperti itu, tapi saya mau berubah dan mulai belajar bagaimana blogging yang benar. Sangat lucu ketika anda, atau saya, berbicara bla bla bla tentang bagaimana menghasilkan uang dari blog. Padahal anda belum atau masih sedikit dalam mendapatkan uang dari blog. Bukankah diluar sana masih banyak yang “berhak” membicarakannya? So, Jangan mulai sebuah blog tentang menghasilkan uang dari blogging atau menghasilkan uang online kecuali anda sudah membuat uang yang bagus dari blog atau bisnis internet.
Tidak jadi masalah anda blogging tentang sebuah topik yang anda nikmati dan mungkin anda belum ahli disana, tapi jika ada ratusan blog yang mirip dengan milik anda hanya satu yang akan mendapatkan kredibilitas dengan baik. Kredibilitas ini bisa didapatkan dari pembuktian atau lewat kualitas dari informasi yang anda berikan. Jika kelihatannya sulit, jangan mempersulit hidup anda. Pindahlah dan temukan topik yang bisa anda dominasi.
3.      Memilih niche yang salah
Sekali lagi anda boleh memilih topik apa pun yang anda minati, anda kuasai, atau menurut anda menarik. Namun blogging tidak hanya tentang selera anda tapi juga selera calon audien anda. Saya katakan, anda tidak akan pernah tahu sampai anda mencoba, tapi jika topik anda tidak pernah disebutkan dimanapun – tidak ada forum, tidak ada website, alias kosong – jangan asumsikan ini adalah niche yang belum digarap. Mungkin saja tidak ada audien.

4.      Melompat dari blog ke blog
Saya heran dengan banyaknya blogger bagus disana yang belum digarap dengan baik kemudian tiba-tiba mulai blog lain dan membagi output dia ke dua blog tadi. Atau lebih buruk lagi, mereka menghentikan blog bagus mereka ketika membangun momentum demi memulai blog lain. Anda mungkin termasuk kategori blogger yang bagus karena bisa mengisi konten blog anda dengan bagus. Oleh karena itu, jika anda ingin blogging jangka panjang anda harus fokus pada satu blog untuk memberikan kesempatan untuk sukses.

5.      Berfikir blogging dapat menghasilkan Uang Dengan Mudah
Banyak orang yang baru masuk blogosphere berfikir bahwa dalan satu jam atau satu dua hari mereka akan menjadi terkenal dan mendapatkan beberapa ribu dolar sebulan atau lebih. Banyak yang memberi advokasi blogging paruh waktu untuk mendapatkan penghasilan full-time, tapi itu tidak terjadi dalam semalam. Jika anda berpikir hal itu akan terjadi pada anda dalam satu mingu, satu bulan atau bahkan enam bulan, anda akan kecewa. Itu membutuhkan kerja, khususnya pada permulaan, untuk membangun blog yang sukses, tapi ada balasan yang membuatnya patut diperjuangkan. Jika anda sibuk saat ini dan tidak menyiapkan ruang untuk regular, dan saya maksudkan pekerjaan rutin untuk blog anda, anda mungkin belum saatnya untuk masuk ke dalam permainan ini.

Udah dulu salam sukses untuk semua….

Sumber: Blog Profits Blueprint by Yaro Starak

Senin, 29 November 2010

Cowok Ganteng dan Cowok Jelek di Mata Cewek

Kalau cowok ganteng pendiam, cewek-cewek bilang: Woow, cool banget…
Kalau cowok jelek pendiam, cewek-cewek bilang: Ih kuper…

Kalau cowok ganteng jomblo, cewek-cewek bilang: Pasti dia perfeksionis
Kalau cowok jelek jomblo, cewek-cewek bilang: Sudah jelas…kagak laku…

Kalau cowok ganteng berbuat jahat, cewek-cewek bilang: Nobody’s perfect
Kalau cowok jelek berbuat jahat, cewek-cewek bilang: Pantes…tampangnya kriminal

Kalau cowok ganteng nolongin cewe yang diganggu preman, cewek-cewek bilang: Wuih, jantan…kayak di filem-filem
Kalau cowok jelek nolongin cewe yang diganggu preman, cewek-cewek bilang: Pasti premannya temennya dia…

Kalau cowok ganteng dapet cewek cantik, cewek-cewek bilang: Klop….serasi banget…
Kalau cowok jelek dapet cewek cantik, cewek-cewek bilang: Pasti main dukun…

Kalau cowok ganteng diputusin cewek, cewek-cewek bilang: Jangan sedih, khan masih ada aku…
Kalau cowok jelek diputusin cewek, cewek-cewek bilang:…(Terdiam, tapi telunjuknya meliuk-liuk dari atas ke bawah)

Kalau cowok ganteng ngaku indo, cewek-cewek bilang: Emang mirip-mirip bule sih…
Kalau cowok jelek ngaku indo, cewek-cewek bilang: Pasti ibunya Jawa, bapaknya robot…

Kalau cowok ganteng penyayang binatang, cewek-cewek bilang: Perasaannya halus…penuh cinta kasih
Kalau cowok jelek penyayang binatang, cewek-cewek bilang: Sesama keluarga emang harus menyayangi…

Kalau cowok ganteng bawa BMW, cewek-cewek bilang: Matching…keren luar dalem
Kalau cowok jelek bawa BMW, cewek-cewek bilang: Mas, majikannya mana?…

Kalau cowok ganteng males difoto, cewek-cewek bilang: Pasti takut fotonya kesebar-sebar
Kalau cowok jelek males difoto, cewek-cewek bilang: Nggak tega ngeliat hasil cetakannya ya?…

Kalau cowok ganteng naek motor gede, cewek-cewek bilang: Wah, kayak lorenzo lamas…bikin lemas…
Kalau cowok jelek naek motor gede, cewek-cewek bilang: Awas!! mandragade lewat…

Kalau cowok ganteng nuangin air ke gelas cewek, cewek-cewek bilang: Ini baru cowok gentlemen
Kalau cowok jelek nuangin air ke gelas cewek, cewek-cewek bilang: Naluri pembantu emang gitu…

Kalau cowok ganteng bersedih hati, cewek-cewek bilang: Let me be your shoulder to cry on
Kalau cowok jelek bersedih hati, cewek-cewek bilang: Cengeng amat!!!…ini laki-laki apa bukan sih?!!


ref:http://gudanghumor.com/

Kamis, 25 November 2010

Psikologi Transpersonal

Selain aliran psikologi humanistik, aliran psikologi yang lain adalah psikologi transpersonal. Aliran ini dikembangkan oleh tokoh dari psikologi humanistik antara lain: Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistik.
Menurut Shapiro, “Psikologi Transpersonal” ini mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan “Psikologi Transpersonal” yang menganggap bahwa inti kemanusiaan adalah bukan fisik jasmaninya, melainkan psikis-rohaniah, manusia memiliki kesadaran spiritual yang bisa berubah dan meningkat melalui jalan-jalan tertentu diantaranya melalui latihan spiritual dengan tekhnik meditasi. Bahkan, untuk mencapai kesadaran tingkat tinggi, emosi dan intuisi memegang peranan yang lebih penting daripada peran rasio.
Pandangan “Psikologi Transpersonal” ini tampak sekali melakukan “gugatan” terhadap psikologi modern yang terlalu lama dibelenggu oleh rasionalitas-obyektifitas yang mereka bangun dan menganggap sepi sisi ruhani manusia. Dalam hal ini, psikologi transpersonal telah memperhitungkan agama-agama sebagai salah satu alternatif sumber pengetahuan yang layak dan absah tentang manusia dan telah merekomendasikan sebuah cara baru dalam menelaah fenomena pengalaman batiniah.
Rumusan di atas menunjukkan dua unsur penting yang menjadi telaah psikologi transpersonal yaitu potensi-potensi yang luhur (potensi tertinggi) dan fenomena kesadaran manusia. Psikologi transpersonal –seperti halnya psikologi humanistik– menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Perbedaannya dengan psikologi humanistik adalah bila psikologi humanistik menggali potensi manusia untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.
Kajian transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba mengkaji secara ilmiah terhadap dimensi yang selama ini dianggap sebagai bidang mistis, kebatinan, yang dialami oleh kaum agamawan (kyai, pastur, bikhu) atau orang yang mengolah dunia batinnya. Hasil dari beberapa penelitian tranpersonal menunjukkan bahwa bidang kebatinan bisa menjadi bidang ilmu dan dapat dikaji secara ilmiah sehingga hal tersebut penting untuk di kaji lebih dalam dan tidak dianggap sebagai suatu bid’ah, khurafat, ataupun syirik yang akhirnya membelenggu ilmuwan psikologi untuk mempelajari potensi yang tertinggi ini

Logoterapi

Logoterapi adalah salah satu kelompok aliran psikologi humanistik. Logoterapi ini dikembangkan oleh Viktor Frankl. Menurut kelompok aliran logoterapi, manusia terdiri dari 2 komponen dasar yaitu dimensi raga (somatis), dan dimensi kejiwaan (psikis) atau dimensi neotic atau sering disebut dengan dimensi keruhanian (spiritual). Menurut Frankl bahwa arti keruhanian ini tidak mengacu pada agama tetapi dimensi ini dianggap inti kemanusiaan dan merupakan sumber dari makna hidup, serta potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang selama ini terabaikan oleh telaah psikologi sebelumnya. Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai satu kesatuan dari raga-jiwa-ruhani.
Frankl menyebut dimensi spiritual ini sebagai “noos” yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang phisik-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita.
Di dalamnya juga terkandung pembebasan diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia spiritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita.

Psikologi Humanistik

Psikologi humanistik merupakan salah satu istilah dalam kajian psikologi modern. Psikologi humanistik adalah sebuah aliran psikologi yang berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya. Aliran ini memfokuskan telaah kualitas-kualitas insani. Yakni kemampuan khusus manusia yang ada pada manusia, seperti kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, dan rasa estetika.

Minggu, 21 November 2010

Cristiano Ronaldo Vs Einstein: Siapa Lebih Cerdas?



Pada posting "apa itu kecerdasan??" disebutkan bahwa kecerdasan menurut Howard Gardner merupakan kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Menurutnya, kecerdasan itu meliputi kecerdasan linguistik, logika/matematika, interpersonal, intrapersonal, musik, naturalis, spasial dan kinestetik
Kecerdasan versi Gardner, yang sering disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) ini juga seringkali membawa kepada pertanyaan-pertanyaan yang terdengar konyol, namun pada hakekatnya perlu mendapatkan perenungan, seperti misalnya: lebih cerdas mana Isaac Newton  bila dibandingkan dengan Valentino Rossi? Lebih cerdas mana Cristiano Ronaldo dengan Albert Einstein? Lebih cerdas mana Roman Abramovic dibandingkan Jalaluddin Rumi? Atau siapa yang lebih cerdas antara Barack Obama dan Kahlil Gibran?
Berdasarkan teori multiple intelligences-nya Gardner, tentu tidak dapat diperbandingkan mana yang lebih cerdas karena pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi kecerdasan yang bermacam-macam. Bahkan, sejatinya setiap manusia memiliki beberapa jenis kecerdasan sekaligus, meskipun sebagian jauh lebih berkembang dibanding yang lainnya. Ada orang yang lebih menonjol kecerdasan interpersonalnya dibandingkan kecerdasan intrapersonal yang dimiliki. Ada juga yang lebih menonjol kecerdasan musikalnya daripada kecerdasan logis-matematis yang dimiliki. Satu hal yang penting adalah pemahaman terhadap diri sendiri: potensi kecerdasan apa yang lebih menonjol dan layak untuk terus dikembangkan. Jelasnya, teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) merupakan validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting (Jasmine, 2007: 11).
Berbagai pendapat para ahli tersebut di atas menampakkan adanya pergeseran arah, namun selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi atau kecerdasan adalah kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Masyarakat umum mengenal istilah inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Pada umumnya, para ahli menerima pengertian akan inteligensi sebagaimana istilah tersebut digunakan oleh orang awam. Kekaburan ruang lingkup konsep mengenai inteligensi (kecerdasan) menyebabkan sebagian ahli bahkan tidak merasa perlu untuk berusaha memberikan batasan yang pasti. Bagi mereka ini banyak diantara definisi yang telah dirumuskan ternyata terlalu luas untuk dapat disalahkan dan terlalu kabur untuk dapat dimanfaatkan. Definisi para ahli dan pengikutnya memang tidak selalu mengandung perbedaan arti yang tajam walaupun memperlihatkan adanya sudut pandang yang berbeda (Azwar, 2002: 2), maka tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai konsep tentang kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan-kecerdasan yang lain.
Dan yang paling penting adalah bertanya pada diri sendiri kecerdasan apa yang kita miliki? sudahkah  "mendidik kecerdasan" kita untuk terus kita lejitkan setinggi mungkin....??

Pengertian Kecerdasan


Dewasa ini, kemapanan kecerdasan intelektual (IQ) sebagai tolok ukur tingkat kecerdasan seseorang tampaknya mulai “terusik” dengan munculnya berbagai macam konsep kecerdasan seperti EQ, SQ, ESQ, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi logisnya, maka seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi belum tentu dapat dikatakan sebagai cerdas apabila belum memenuhi “kualifikasi” mengenai kecerdasan yang lain.
Pertanyaannya sekarang adalah apa sesungguhnya kecerdasan itu? Istilah kecerdasan (inteligensi) pertama kali diperkenalkan oleh Charles Spearman pada tahun 1904. Spearman mengungkapkan bahwa istilah inteligensi digunakan untuk mempermudah dalam mempelajari kemampuan individu, dan inteligensi ini merupakan apa yang diukur oleh tes inteligensi (kecerdasan) (Mangkunegara, 1993: 9).
Robert Sternberg, penulis buku “Successfull Intelligence” mengartikan  inteligensi sebagai kapasitas belajar dari pengalaman dan kemampuan mengadaptasi lingkungan sekeliling (Atmosoeprapto, 2004: 147).
Menurut H.H. Goddard –sebagaimana dikutip oleh Azwar (2002: 5)–  kecerdasan atau inteligensi adalah tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
Wechsler memberikan definisi kecerdasan/inteligensi sebagai suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan seseorang untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien (Mönks & Knoers, Haditono, 2006: 237).
C.P. Chaplin memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya (http://akhmadsudrajat.wordpress.com).
Pengertian yang lain dikemukakan oleh Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, AS, yang mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 146).
Pengertian yang diberikan Gardner ini berbeda dengan pengertian yang dipahami sebelumnya, dimana sebelum Gardner, pengukuran tingkat kecerdasan seseorang didasarkan pada tes IQ saja, yang menurutnya hanya menonjolkan kecerdasan matematis-logis dan linguistik.
Pemahaman Gardner tentang kecerdasan seseorang ini telah mengubah konsep kecerdasan. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang diukur bukan dengan tes tertulis, tetapi bagaimana seseorang dapat memecahkan problem nyata dalam kehidupan (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 146). Bahkan ia juga berpendapat bahwa kecerdasan seseorang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan jumlahnya banyak, yaitu kecerdasan linguistik, logika/matematika, interpersonal, intrapersonal, musik, naturalis, spasial dan kinestetik (Gunawan, 2003:142).

Qadim-nya Alam Semesta


Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan terdapat dua fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktu dijadikan sebagai patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang azali dan abadi. Gerak itu haruslah melingkar dan bersambung dalam tempat, sehingga gerak  ini pun tidak berawal dan berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.[1]
Dari pola pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh sejumlah “sebab” di luar dirinya.[2] Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.[3]  Dalam hal ini,  al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh” yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al.
‘Aql fa’al inilah yang melakukan aktifitas di dunia karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan  pemberi bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut siap menerimanya. Jadi, ‘aql fa’al juga merupakan sumber eksistensi jiwa manusia.[4] Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.[5]
Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam “materi pertama” (hayula), yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan “bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada “keabadian” waktu.[6]   
Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.[7] Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodim berarti tidak bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam (dunia) ini harus diasumsikan dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.[8] Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta” dalam paham teologi adalah “penciptaan sesuatu dari tiada” (creation ex nihilo). Masih menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”, padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya.[9]
Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja.[10]
Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:
وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه علىالماءليبلوكم ايكم احسن عملا (هود:   )
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)[11]

Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi:
اولم يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي افلا يوءمنون (الانبياء :     )
Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)[12]

Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.[13]
Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir.[14]  Selanjutnya,  Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa itu qadim dan hadits. Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.[15]


[1] Lihat Amirah Hilmy Mathr, al Falsafah al Yunaniyah; Tarikhuha wa Musykilatuha, Kairo: Daar Quba’, 1998, hlm. 273. lihat juga Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004, hlm. 226
[2] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 59
[3] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm.  144 et.seq.
[4] Ibid., hlm. 61
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978 , hlm. 45
[6] M. Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 62
[7] Ibid.
[8] Lihat Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 379
[9] Harun Nasution, Filsafat dan……..Loc. Cit.
[10] Ibid., hlm. 50
[11] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 298
[12] Ibid., hlm. 451
[13] Harun Nasution, Filsafat dan…….Op. Cit., hlm. 52
[14] Ibid., hlm. 54
[15] Ibid.


elfilany.com

Rabu, 10 November 2010

Pendidikan Multikultural

Secara etimologis, istilah “multikulturalisme” marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural.” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural” dan “multi-lingual.” [1] Kata “multikulturalisme” dibentuk dari kata “multi” (banyak), “kultur” (budaya), dan “isme” (aliran/paham).[2] 
Secara eksplisit, konsep tentang pendidikan multikultural tertuang dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan. Dalam pasal 4: 1 UU Sisdiknas/2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Hal ini masih ditambah dengan pasal 4: 3 UU tersebut yang menyebutkan pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.[3]
Munculnya pasal tersebut tentunya bukan tanpa dasar, melainkan dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk atau plural. Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat dilihat dari dua sisi; horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budaya materialnya. Sementara secara vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat diamati dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan lain sebagainya.[4]
Kondisi demikian ini kemudian memunculkan wacana tentang pendidikan multikultural, yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.[5]
Definisi yang lain menyebutkan bahwa pendidikan multikultural  adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.[6]
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[7]
Pendidikan multikultural (multicultural education) juga merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh peserta didik tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Secara umum dapat dipahami bahwa digulirkannya wacana tentang pendidikan multikultural dimaksudkan untuk merespon fenomena konflik etnis dan sosial-budaya, yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural, seperti Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.[8]
Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.
Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.
Dengan digulirkannya isu pendidikan multikultural ini diharapkan mampu berperan banyak dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan multikultural ini mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan.
Harapan-harpan seperti itu memang layak dialamatkan mengingat pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, gagasan multikulturalisme dinilai dapat mengakomodir kesetaraan dalam perbedaan tersebut merupakan sebuah konsep yang mampu meredam konflik vertikal maupun horisontal dalam masyarakat yang heterogen, dimana tuntunan akan pengetahuan atas eksistensi dan keunikan budaya kelompok etnis sangat lumrah terjadi. Masyarakat multikultural dicitakan mampu memberikan ruang yang luas bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupan secara otonom. Dengan demikian akan tercipta suatu sistem budaya (cultural system) dan tatanan sosialyang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa.
Dengan gagasan di atas, budaya akan dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreativitas masyarakat yang dibangun oleh prinsip-prinsip yang berbeda kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat. Dalam artian budaya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya.
Adapun model pembelajaran dari pendidikan berbasis multikultural didasarkan pada lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.[9]
Ketika lima pendekatan tersebut di atas dihayati, maka tampaknya pendidikan multikultural dapat diharapkan sebagai jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Hal demikian disebabkan oleh prinsip pendidikan multikultural yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural juga senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi.


[1] Lihat artikel Muhaemin el Ma’hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural; Sebuah Kajian Awal” dalam www.pendidikan.net
[2] Lihat dalam http://www.grasindo.co.id/detail.asp?ID=50104457
[3] Lihat UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No. 20 th. 2003), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II, 2005, hlm. 6
[4] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 189 et.seq.
[5] Muhaemin el Ma’hady, Loc. Cit.
[6] Lihat artikel Musya Asy’arie, Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, dalam www.kompas.co.id tanggal 03 September 2004
[7] Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hlm. 36-38
[8] Ibid.
[9] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 46

Selasa, 09 November 2010

Eksistensi Madrasah dalam Sejarah (Review)


Dalam perspektif historis, Indonesia merupakan sebuah negeri Muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahirnya Islam (Mekkah). Islam pun baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Namun, dunia internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini oleh beberapa ahli dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di Indonesia. Termasuk di antaranya adalah madrasah.
Ironisnya, sejak zaman penjajahan sampai saat ini posisi madrasah selalu berada dalam posisi marginal. Meskipun saat ini pemerintah mulai memperhatikan eksistensi madrasah melalui UU No. 20 Tahun 2003, namun “penganaktirian” terhadap madrasah tetap saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya aliran dana pemerintah ke madrasah. Juga masih minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan dan masa depan guru. 
Meskipun demikian, stakeholders madrasah tidak pernah putus asa. Hal ini dapat terlihat dari eksistensi madrasah yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa terus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa berkembang, karena eksistensi madrasah dalam menjawab tantangan zaman dan memberi kontribusi pada setiap perkembangan peradaban manusia. Sudah bukan saatnya lagi madrasah terlambat menjawab tantangan zaman, dan tertinggal dalam pengembangan peradaban manusianya.
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional . Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Eksistensi Madrasah di Era Global

Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar kata tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.[1]
Menurut sejarahnya, madrasah sebagai lembaga pendidikan tidaklah berasal dari ruang hampa, tetapi kemunculannya merupakan “sambungan” dari sejarah-sejarah awal munculnya Islam yang benih-benihnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan adanya kuttab, , halaqah, suffah atau al zilla. Namun demikian, istilah madrasah muncul pertama kali ketika Nidhamul Mulk dari Bani Saljuk mendirikan Madrasah Nidhamiyah pada tahun 1064 M. Dengan munculnya madrasah nidzamiyah tersebut kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain.[2]  
Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa madrasah nidzamiyyah ini hanyalah kemunculan istilah madrasah dalam sejarah pendidikan Islam lebih menunjukkan pengakuan secara resmi (legalitas) dari pemerintahan Islam sebagai penguasa. Pengakuan tersebut disertai dengan mendirikan madrasah  sebagai lembaga pendidikan resmi (state institutions).
Jika ditelusuri sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan islam, nama madrasah itu sendiri munculnya agak belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dulu digunakan masyarakat Islam di Nusantara, diantaranya masjid yang berfungsi ganda sebagai tempat ibadah, dan aktivitas sosial keagamaan lain, termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan.[3]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda bila dibandingkan dengan  pesantren. Ia lahir pada abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Manba’ul ‘Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan sekolah Adabiyyah yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. madrasah ini berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karel Steenbrink, meliputi tiga hal, yaitu:
a.       Usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,
b.      Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
c.       Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dengan sistem pendidikan Barat.[4]
Meskipun usaha pembaharuan sudah diupayakan, namun permasalahan di dalam tubuh madrasah bukannya semakin ringan dan sedikit. Hal ini bisa dilihat pada model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara yang memunculkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dualisme ini telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikotomi keilmuan ini justeru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.[5]
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana dan prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan madrasah sebagai “sapi perah”, madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpukan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit demi sedikit juga semakin terkikis.[6]
Satu lagi yang menarik dari madrasah adalah pengembangan madrasah tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga dengan peningkatan kualitas yang cukup signifikan. Manajemen profesional telah menjadi andalan. Pembagian kewenangan antara spritualis (kyai) dan manajer administratif mendukung terciptanya suasana kerja yang harmonis. Keberadaan madrasah di pusat-pusat kota juga banyak yang tampil dengan inovasi baru. Hal ini bukan saja telah membuat masyarakat tidak alergi lagi dengan menyebut nama madrasah, tetapi juga dapat diartikan sebagai naiknya prestise madrasah.[7]





[1] Nurul Huda, “Madrasah; Sebuah Perjalanan untuk Eksis” dalam Ismail SM, et.al. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 211
[2] Ibid., hlm. 212
[3] Ibid., hlm. 213
[4] Raharjo “Madrasah Sebagai The Centre of Excellence” dalam Ibid., hlm. 226
[5] Ibid., hlm. 128
[6] Ibid., hlm. 130
[7] Ibid., hlm. 132

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design