Selasa, 22 Februari 2011

Motivasi Belajar; Pengertian dan Jenisnya


Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar peserta didik. Motivasilah yang mendorong peserta didik ingin melakukan kegiatan belajar. Oleh karena itu, dalam proses belajar, motivasi menduduki fase pertama dibandingkan fase-fase belajar yang lain.
Dalam fase motivasi ini, peserta didik “harus” bersedia melibatkan diri untuk mencapai tujuan belajar. Dan di lain pihak, seorang pendidik juga diharapkan mampu memberikan “pencerahan” kepada peserta didik akan tujuan yang ingin dicapai serta membantu peserta didik mencapai tujuan belajar secara efisien. Artinya, dengan usaha seminimal mungkin, tetapi mencapai tujuan semaksimal mungkin.
Menghadapi peserta didik dengan semangat belajar yang tinggi, tentunya tidak terlalu menjadi persoalan yang serius. Namun tidak demikian dengan peserta didik yang cenderung malas dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dari luar yang mampu memberi semangat atau motivasi kepada peserta didik untuk terus giat dalam belajar.
 Di sini, memotivasi peserta didik merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar. Jika guru telah berhasil membangun motivasi peserta didik, maka dapat dikatakan guru itu telah berhasil dalam mengajar. Namun pekerjaan ini tidaklah mudah. Memotivasi peserta didik tidak hanya menggerakkan peserta didik agar aktif dalam pelajaran, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan peserta didik terdorong untuk belajar secara terus menerus, walaupun dia berada di luar kelas ataupun setelah meninggalkan sekolah.

Pengertian Motivasi Belajar

Kata motivasi berasal dari akar kata “motive” atau “motiwum” yang berarti “sebab yang menggerakkan”. Kata “motive” atau “motif” ini bila berkembang menjadi motivasi, artinya menjadi “sedang digerakkan atau telah digerakkan oleh sesuatu, dan apa yang menggerakkan itu terwujud dalam tindakan”.
Dilihat dari segi etika, motif didefinisikan sebagai pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menjadi penyebab seseorang melakukan suatu tindakan. Adapun motivasi diartikan sebagai dorongan yang menggerakkan serta mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan apa yang dikehendakinya, yang tertuju kepada tujuan yang diinginkannya.[1]
Dari sudut pandang psikologi, istilah motif dan motivasi juga terdapat sedikit perbedaan, meskipun sebenarnya dua istilah itu merupakan dua hal dalam satu kesatuan. Motif berarti daya dorong untuk untuk bertingkah laku, sedangkan motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.[2]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut McDonald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.[3]
Dari pengertian yang dikemukakan oleh McDonald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan. Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Atas pandangan ini, maka tingkah laku yang digerakkan hampir pasti memiliki keterkaitan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai, baik yang bersifat pemuasan kebutuhan biologis, maupun dalam keterkaitannya dengan kebutuhan psikologis.[4]
Menurut al Ghazali, munculnya tingkah laku psikologis manusia –yang cenderung baik dan terpuji– disebabkan oleh tiga faktor pendorong, yaitu:
a.       Kebutuhan akan penghargaan berupa pahala dan surga dari Allah; kebutuhan ini merupakan peringkat paling dasar. Dorongan atau motivasi ini biasanya dimiliki oleh orang-orang awam dan mayoritas umat manusia.
b.      Kebutuhan akan sanjungan dari Allah; kebutuhan ini termasuk kategori perngkat sedang. Motivasi ini dimiliki oleh orang-orang saleh, meskipun jumlahnya tidak banyak.
c.       Kebutuhan akan keridloan Allah dan kedekatan dengan-Nya; motivasi ini menempati peringkat paling istimewa, seperti halnya motivasi para Nabi, shiddiqien, dan para ulama’.[5]
Berbeda dengan al Ghazali, Abraham Maslow menemukan beberapa jenis kebutuhan manusia yang bersifat hirarkhis, artinya suatu kebutuhan mulai difikirkan apabila kebutuhan yang mendahuluinya (dibawahnya) sudah terpenuhi. Secara hirarkhis, kebutuhan-kebutuhan tersebut dilukiskan sebagai berikut:

Semua jenis kebutuhan yang terdapat dalam diri manusia tersebut oleh Maslow digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:
a.       Deficiency need, yaitu kebutuhan yang timbul karena kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan bantuan orang lain. Deficiency need ini meliputi: kebutuhan jasmaniah, keamanan, memiliki dan mencintai serta harga diri.
b.      Growth need, yaitu kebutuhan untuk tumbuh. Pemenuhan kebutuhan ini tidak tergantung pada orang karena peranan kemampuan diri sendiri yang akan menentukan berhasil tidaknya seseorang memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini antara lain; aktualisasi diri, mengetahui dan estetis.[6]
Berdasarkan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan tersebut itulah, menurut Maslow, setiap tingkah laku manusia dilakukan.
Kaitannya dengan kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Menyoroti istilah motivasi dari sumber yang memberikan dorongan, maka dapat ditemukan bahwa sumber dorongan itu bisa datang dari dalam atau dari sesuatu yang menggerakkan keinginan dari luar. Sumber penggerak motivasi yang berasal dari dalam cenderung beranjak dari kebiasaan individu (yang telah berkembang secara kompleks), sedangkan motivasi yang sumber penggeraknya datang dari luar selalu disertai oleh persetujuan, kemauan, dan kehendak individu.[7]
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan bahwa motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik.
1.      Motivasi Intrinsik
 Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri, untuk melakukan sesuatu. Seperti  seorang peserta didik yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tetapi bisa jadi telah menjadi kebutuhannya.
Dalam proses belajar, motivasi intrinsik ini memiliki pengaruh yang lebih efektif karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik). Meskipun demikian, ketika motif intrinsik tidak cukup potensial pada peserta didik, maka pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik.[8]
Menurut Arden N. Frandsen, yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:
a.       Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
b.      Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
c.       Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalnya orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya;
d.      Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.[9]
2.      Motivasi Ekstrinsik.
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Motivasi ekstrinsik ini mutlak diperlukan bagi peserta didik yang tidak ada motivasi di dalam dirinya. Di sini peran dari orang tua, guru, masyarakat serta lingkungan sekitar peserta didik harus memberi respons yang positif bagi peserta didik, sebab jika tidak akan mempengaruhi semangat belajar peserta didik menjadi lemah. Adapun yang termasuk ke dalam motivasi ekstrinsik adalah pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orang tua, dan lain sebagainya.[10]
Namun demikian, biasanya motivasi ekstrinsik ini tidak bertahan lama, sebab bila umpan-umpan untuk memotivasi masih menarik, maka kegiatan masih tetap berjalan, namun tidak selamanya seorang guru –dan juga orang tua maupun lingkunngan sekitarnya– mampu terus mengumpan peserta didik untuk dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itulah meskipun telah digunakan beberapa metode dalam mengajar masih ada anak yang belum mampu mengikuti proses belajar secara maksimal.[11]
Dari sini dapat dipahami bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam perspektif kognitif, dari kedua jenis motivasi tersebut di atas, motivasi yang lebih signifikan bagi peserta didik adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, misalnya, memberi pengaruh lebih kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan “keharusan” dari orang tua dan guru.[12]
Sedemikian pentingnya motivasi dalam proses belajar, maka seorang guru/pendidik semaksimal mungkin “harus” berusaha menumbuhkan motivasi belajar dalam diri peserta didik. Namun demikian, sebenarnya –dalam proses pembelajaran– meningkatkan motivasi belajar tidak hanya melibatkan guru/pendidik saja. Hal ini mengingat bahwa menumbuhkan/meningkatkan motivasi belajar harus melibatkan pihak-pihak sebagai berikut:
1.      Peserta didik
Peserta didik bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri untuk meningkatkan motivasi belajar pada dirinya agar memperoleh hasil belajar yang memuaskan.  Motivasi berupa tekad yang kuat dari dalam diri peserta didik untuk sukses secara akademis, akan membuat proses belajar semakin giat dan penuh semangat.
2.      Guru
Guru bertanggungjawab memperkuat motivasi belajar peserta didik lewat penyajian bahan pelajaran, sanksi-sanksi dan hubungan pribadi dengan siswanya. Dalam hal ini guru dapat melakukan apa yang disebut dengan reinforcement atau menggiatkan peserta didik dalam belajar. Usaha-usaha yang dapat digunakan dalam reinforcement adalah :
a.       Mengemukakan pertanyaan
b.      Memberikan perhatian
c.       Memberi hadiah
d.      Memberi hukuman/sanksi
Di sini, kreativitas serta aktivitas guru harus mampu menjadi inspirasi bagi para peserta didiknya. Sehingga peserta didik akan lebih terpacu motivasinya untuk belajar, berkarya, dan berkreasi. 
3.      Orang tua dan lingkungan
Tugas memotivasi belajar bukan hanya tanggungjawab guru semata, tetapi orang tua juga berkewajiban memotivasi anak untuk lebih giat belajar. Selain itu motivasi sosial dapat timbul dari orang-orang lain di sekitar peserta didik, seperti dari tetangga, sanak saudara, atau teman bermain.[13] 

DAFTAR PUSTAKA
Riyanti, Evi, “Motivasi” dalam file://///Tek3/D/STAF/eviriyanti/trash/lead/bahan%20baru/ motivs1. htm
Hadziq, Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL, 2005
M. Sobri Sutikno, “Peran Guru Dalam Membangkitkan Motivasi Siswa” dalam www.bruderfic. or.id/h-129/peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-siswa.html
Darsono, Max, et.al., Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press, Cet. II, 2001
Baharudin dan Wahyuni Esa Nur, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Lihat “Motivasi Belajar” dalam http://areev.blogdrive.com/comments?id=193
Lihat “Menemukan Motivasi Belajar Siswa” dalam http://alfurqon.or.id/index.php?option =com content&task=view&id=222&Itemid=110





[1] Evi Riyanti, “Motivasi” dalam file://///Tek3/D/STAF/eviriyanti/trash/lead/bahan%20baru/ motivs1. htm
[2] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL, 2005, hlm. 124
[3] M. Sobri Sutikno, “Peran Guru Dalam Membangkitkan Motivasi Siswa” dalam www.bruderfic. or.id/h-129/peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-siswa.html
[4] Abdullah Hadziq, Op. Cit., hlm. 125
[5] Ibid., hlm. 130 et.seq.
[6] Max Darsono, et.al., Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press, Cet. II, 2001, hlm. 20
[7] Evi Riyanti, Loc. Cit.
[8] Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007, hlm. 23
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat “Menemukan Motivasi Belajar Siswa” dalam http://alfurqon.or.id/index.php?option =com content&task=view&id=222&Itemid=110
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 137 et.seq.
[13] Lihat “Motivasi Belajar” dalam http://areev.blogdrive.com/comments?id=193

Minggu, 20 Februari 2011

Aliran Syi’ah: Kebangkitan dan Gerakan Politiknya


Aliran Syi’ah merupakan salah satu skisme (aliran yang terpisah) yang penting dalam Islam. Selain mengajarkan teologi, di kalangan kaum Syi’ah juga terdapat sekte-sekte yang bergerak di dunia politik, yang dalam hal ini disponsori oleh Hamdan bin Qarmath, yang para pengikutnya kemudian disebut faham Qaramithah, yang sejatinya merupakan salah satu sempalan dari aliran Syi’ah.
Lewat perjuangan yang tidak mudah, akhirnya aliran syi’ah berdiri di Tunisia (Afrika Utara), kemudian mengembangkan sayap di Mesir, dimana khalifah al Mu’izz  bersama panglima Jauhar al Khatib al Siqiliy mendirikan kota Kairo, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi pusat kegiatan ilmiah hingga sekarang. Hal demikian terlihat dengan munculnya Universitas al Azhar.

Gerakan Politik Syi’ah Isma’iliyyah

Syi’ah Dua belas Imam, disebut demikian karena mereka mempercayai dua belas imam yang nampak (tidak ghaib), menempati tempat tengah-tengah di antara berbagai cabang-cabang aliran Shi’ah dan juga merupakan cabang yang paling besar. Imam mereka yang terakhir, Muhammad, lahir pada tahun 259 H / 873 M, dikatakan telah menghilang secara misterius, dan kedatangannya kembali selalu mereka tunggu-tunggu sampai sekarang.
Ide tentang imam yang “bersembunyi” ini merupakan ciri khas dari semua cabang alairan Shi’ah, walaupun tidak ada kesepakatan mengenai identitasnya. Perpecahan eksternal utama yang pertama di kalangan Shi’ah timbul berkenaan dengan pengganti imam yang keenam, Ja’far (w. 148 H / 764 M di Madinah). Mayoritas kaum Shi’ah menganggap puteranya, Musa, sebagai penggantinya karena putera yang tertua, Isma’il, dipandang telah berdosa karena meminum anggur. Akan tetapi, sebagian kaum Shi’ah menganggap Isma’il sebagai imam yang berhak, dan sesudah dia, puteranya, Muhammad. Golongan ini kemudian disebut sebagai kaum Isma’iliyyah karena dinisbatkan kepada Isma’il. Selain itu juga di sebut Syi’ah Tujuh Imam, karena mereka menutup rangkaian imam tersebut dengan “menghilangnya” Muhammad ini, yang “kembali”nya mereka tunggu-tunggu sebagai al Mahdi.[1]
Propaganda Isma’iliyyah dilakukan dengan gencar selama abad III – V H/IX XI M hingga aliran ini menjadi sangat kuat di seluruh dunia Islam sejak Afrika Utara hingga India.
Sebagai dasar dari program politiknya untuk mendudukkan di atas tahta seorang Imam-Khalifah, gerakan ini, pada tahap-tahap awalnya, berusaha untuk mengobarkan revolusi sosial dan melalui asimilasi ide-ide dari luar, khususnya ide-ide Neoplatonis dan Gnostik, mereka menyusun suatu sistem filsafat di atas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.
Awal mula propaganda Isma’iliyyah yang aktif dan agresif ini secara tradisional dihubungkan dengan nama seorang ‘Abdullah Ibnu Maymun al Qaddah, tetapi penyeledikan yang lebih akhir oleh W. Ivanov  telah meragukan ceritera-ceritera tersebut karena sumber-sumber Syi’ah sendiri berbicara tentang dia sebagai seorang tokoh dari masa yang lebih awal.[2]
Kalangan Isma’iliyyah abad kesembilan merupakan misionaris yang aktif dan ahli organisasi politik. Ketika Syi’ah di Baghdad berusaha mempertahankan posisi mereka di tengah pemerintahan dan masyarakat Abbasyiyyah, kalangan Isma’iliyyah berjuang untuk memasukkan unsur kesukuan dan masyarakat petani di Arabia, Syiria, Irak, Afrika Utara, dan di kota-kota besar Iran, mendakwahkan ajaran persamaan dan keadilan, keperluan akan upaya pembaharuan dan datangnya al Mahdi. Kalangan misionaris Isma’iliyyah memikat sejumlah warga baru kepada versi Islam mereka dan melancarkan pemberontakan di berbagai tempat melawan khilafah Abbasyiyyah. Beberapa dinasti Isma’iliyyah didirikan di Afrika Utara, wilayah Caspia, Bahrain, Multan, dan di berbagai tempat lainnya.[3]
Kaum Isma’iliyyah mengadakan suatu revolusi dan kampanye sosio-religius di bawah kepemimpinan Hamdan Qarmath, yang menyebabkan mereka kemudian disebut kaum Qarmathiyyah (Qaramithah).[4] Ia membangun sebuah benteng kuat dekat Kufah (kira-kira 277 H / 890 M) di Iraq dan mengenakan sumbangan wajib bagi pengikut-pengikutnya. Proses perpajakan ini segera digantikan oleh suatu masyarakat type komunis, yakni komunisme atas semua barang-barang yang menjadi sumber kemanfaatan umum, atas nama imam. Akan tetapi, kaum Qarmathiyyah melakukan terorisme dan kejahatan-kejahatan yang mengerikan sehingga membangkitkan kemarahan dan ketakutan. Mereka kemudian ditindas dan lama kelamaan hilang dari masyarakat. Namun propagandis-propagandis Isma’iliyyah untuk “keluarga Fathimah” telah memanfaatkan gerakan Qarmathiyyah ini, dan di atas puing-puing kehancurannya membangun dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara dan Mesir.[5]

Berdirinya Dinasti Fathimiyyah

Dinasti Fathimiyyah berdiri berdiri tahun 297 – 567 H / 909 – 1171 M. semula di Afrika Utara, kemudian di Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Shi’ah Ismailiyah, dan pendirinya, yakni Ubaidillah al Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara menisbahkan nasabnya hingga Fatimah binti Rasulullah SAW, istri Ali Ibn Abi Thalib. Oleh karenanya dinamakan dinasti Fathimiyah, walaupun kalangan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakan “al ‘Ubaidiyyun” sebagai ganti dari “Fathimiyyun”.[6]
Berdirinya Dinasti Fathimiyyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, dimana kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad mulai melemah dan daerahnya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur atau sultannya memiliki tentara sendiri.
Kondisi ‘Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta membuka kesempatan bagi kelompok syi’ah, khawarij, dan kaum mawali untuk melakukan kegiatan politik.[7]
Di Afrika Utara, kelompok syiah Isma’iliyyah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 H ‘Ubaidillah al Mahdi memproklamasikan berdirinya Khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan ‘Abbasiyyah. Ia mulai memperkuat dan mengkonsolidasikan khilafah-nya di Tunisia dengan bantuan Abdullah al Syi’i, seorang da’i Isma’iliyyah yang sangat berperan dalam mendirikan dawlah Fathimiyyah di Tunisia.
Sebenarnya, pendirian Khilafah Fathimiyyah ini tidak semulus yang dibayangkan, karena pada waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung ‘Abbasiyyah. Selain itu juga terdapat perlawanan dari kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia serta dari kelompok Khawarij dan Barbar.[8]Meski begitu, ‘Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara, yakni Aghlabiyyah di Aljazair, Rustamiyyah yang khawarij di Tahart, dan Idrisiyah di Fez. Adapun yang menjadi pusat pemerintahan khilafah ini pertama kali adalah di al Mahdiyah, sekitar Qairawan.[9]
Setelah basis kekuasaan di Tunisia kuat, Khilafah Fathimiyyah kemudian mengembangkan sayapnya di samping ke barat juga ke timur. Di bawah al Mu’izz (khalifah keempat) dengan panglima Jauhar al Khatib al Siqiliy, Khilafah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang di beri nama Kairo, al Qahiroh, berarti yang berjaya atau kota kemenangan.[10]
Kota Kairo ini dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H / 969 M, atas perintah Khalifah[11] Fathimiyyah, al Mu’izz li Dinillah (953 – 975 M), dan digunakan sebagai ibukota kerajaan dinasti itu. Bentuk kota ini hampir merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih dapat ditemui peninggalannya.
Berdirinya kota Kairo ini membuat Baghdad mendapat saingan. Setelah pembangunan kota Kairo rampung dam lengkap dengan istananya, al Siqily mendirikan Masjid al Azhar, 17 ramadhan 359 H / 970 M. Masjid ini kemudian berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama al Azhar ini diambil dari kata al Zahara’, julukan Fathimah binti Rasulullah, isteri Ali Ibn Abu Thalib, Imam pertama Shi’ah.
Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah mengalami masa-masa keemasan pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al Mu’izz, al ‘Aziz, dan al Hakim. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa kebijakan mereka dalam menjalankan pemerintahan serta kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa-masa pemerintahan mereka.
Dalam menjalankan pemerintahan, khalifah al Mu’izz li Dinillah melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga pengadilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua lagi untuk madzhab Sunni.[12]
Penerus al Mu’izz, yakni al ‘Aziz, kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru. Istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan tehnologi waktu itu.[13]
Dan pada masa khalifah setelahnya, yakni Hakim Biamrillah (996 – 1021 M) Dinasti Fathimiyyah mendirikan Baitul Hikmah. Pendirian ini terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al Makmun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah.[14]
Dinasti Fathimiyyah dapat maju antara lain karena militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun Fathimiyyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok Nasrani dan Suni yang sudah lebih dulu mapan di Mesir.
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan al Aziz, pamor Dinasti Fathimiyyah menurun karena banyak khlaifah-khalifahnya yang diangkat pada usia yang masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan pejabat istana dan dikalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan, terlebih-lebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada rakyat yang mayoritas Sunni.[15]
Pada masa-masa selanjutnya, Dinasti Fathimiyyah mulai mendapat gangguan-gangguan politik, dan akhirnya ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Shalah al Din, seorang pahlawan Islam terkenal dalam Perang Salib.[16]


DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, bagian satu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Engineer, Asghar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baehaqy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VII, 1998
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, Jilid VI, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002



[1] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 256 et.seq.
[2] Ibid., hlm. 257
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, bagian satu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 183
[4] Qarmathiyyah ini merupakan sub-aliran Shi’ah Isma’iliyyah.
[5] Fazlur Rahman, Loc. Cit., Lihat juga Asghar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baehaqy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 309-315
[6] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 116 et.seq.
[7] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, Jilid VI, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 5
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ali Mufrodi, Op. Cit., hlm.117
[11] Istilah khalifah ini dipakai untuk menandingi khilafah Abbasyiyah di Baghdad.
[12] Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VII, 1998, hlm. 281-283
[13] John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 6
[14] Badri Yatim,  Op. Cit., hlm. 284
[15] John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 7
[16] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 285

Jumat, 11 Februari 2011

Hakekat Belajar dan Pembelajaran di Era Teknologi Informasi


Revolusi di bidang teknologi komunikasi dan informasi ternyata telah mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia modern, termasuk dalam dunia pendidikan dengan munculnya istilah-istilah seperti e-learning, e-book sampai e-education. Revolusi ini juga berpengaruh pada paradigma pendidikan akan “tempat” belajar, dimana gedung sekolah yang berdiri tegak dengan atap dan dinding akan semakin tak populer karena manusia bisa belajar di mana saja dengan bantuan teknologi. Di sini yang terpenting adalah interaksi manusia itu dengan materi pelajaran dan proses terusannya, pemahaman dan penguasaan ilmu. Di mana (sekolah?) atau kapan (pagi atau siang?) tidak lagi menjadi pertanyaan penting sebab otak manusia sekarang sudah terbiasa dengan konsep ruang dan waktu yang bersifat relatif.

Pengertian Belajar dan Pembelajaran

Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat (W. Gulö, 2002: 23). Menurut James O. Whittaker –sebagaimana dikutip oleh Max Darsono (2000: 4)– belajar dapat diartikan sebagai proses yang menimbulkan atau merubah perilaku melalui latihan atau pengalaman. Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik  yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan (Roziqin, 2007: 62).
Beberapa pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa belajar bukan hanya sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktifitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Selain itu, Proses belajar pada hakekatnya juga merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat disaksikan. Manusia hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak. Oleh karena itu, George R. Knight (1982: 82) menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta didik dan lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat mengerahkan energinya dengan cara yang efektif. Lebih lanjut, peserta didik harus dianggap sebagai makhluk yang dinamis, sehingga harus diberi kesempatan untuk menentukan harapan dan tujuan mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat, penunjuk jalan, dan rekan seperjalanan. Guru bukanlah satu-satunya orang yang paling tahu. Oleh karena itu, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (child centered), tidak tergantung pada text book atau metode pengajaran tekstual.
Beberapa definisi tentang belajar tersebut di atas adalah definisi belajar dalam arti yang luas. Adapun pengertian belajar yang secara khusus adalah pengertian belajar yang dikemukakan oleh ahli-ahli yang menganut aliran psikologis tertentu, dimana para penganut aliran psikologi ini setuju bahwa hakekat belajar adalah perubahan (Darsono, 2000: 5).
Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan proses pembelajaran adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128).
Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses pembelajaran oleh peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching) (Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus pembelajaran yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik. Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).

Makna Pembelajaran Era Digital
Ketika ilmu pengetahuan masih relatif terbatas dan penemuan hasil-hasil teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini, peran utama guru di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan. Kondisi demikian ini menjadikan guru lebih berperan sebagai sumber belajar (learning resources) bagi peserta didik dan mereka akan belajar apa yang keluar dari mulut guru.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kondisi demikian itu masih tetap dapat dipertahankan? Apakah ilmu pengetahuan sebagai warisan masa lalu itu hanya dapat dipelajari dari mulut guru? Tentu saja tidak. Hal ini dikarenakan dalam abad teknologi dan informasi seperti sekarang ini peserta didik dapat belajar dimana saja dan kapan saja serta dari berbagai sumber, sehingga sudah bukan saatnya lagi model banking concept of education, dimana peserta didik dianggap sebagai bejana kosong yang lantas diisi dengan ilmu pengetahuan oleh guru (Freire, 2002: x).
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memang sangat pesat dan telah merambah banyak aspek kehidupan manusia, namun bukan berarti peran guru dapat digantikan oleh hebatnya kemajuan teknologi. Bahkan sebaliknya, peran guru dalam proses pembelajaran menjadi jauh lebih penting, apalagi ketika manusia begitu memuja teknologi dan sering mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu (Naisbitt, 2001: 23).
Peran guru tetap menjadi penting karena seorang guru tidak hanya bertanggung jawab mengajarkan saja tetapi dalam proses pembelajaran ini seorang guru juga harus memiliki pengetahuan tentang psikologi peserta didiknya guna membantu peserta didik dalam menjalani proses belajar. Bukan hanya dalam mengasah kemampuan peserta didiknya, tetapi juga dalam menelaah pelajaran, menganalisa, memahami dan memberikan keputusan atas setiap persoalan. Kondisi demikian ini berarti guru berperan sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang dianggap sebagai sumber ilmu yang mengerti segalanya sebab peserta didik dapat belajar dari berbagai sumber yang tersebar tanpa batas, baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia maya (internet).
Melihat kenyataan tersebut di atas –meskipun zaman telah berubah dan teknologi informasi juga berkembang pesat– tampaknya secara prinsip tidak ada yang berubah dari proses pembelajaran kontemporer –seperti misalnya e-learning (pembelajaran elektronik) bila dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional. Memang ada perbedaan antara praktek e-learning dengan proses pembelajaran konvensional, tetapi itu hanya sebatas pada media yang digunakan saja dan bukan pada hal-hal yang prinsip. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih terdapatnya komponen pembelajaran diantara kedua model pembelajaran tersebut, seperti masih adanya pembelajar, instruktur/guru/dosen, materi pembelajaran, dan media pembelajaran. Bahkan kalau dikaji secara mendalam, praktek e-learning yang dilakukan dengan “saling tukar informasi” antara instruktur/dosen dengan pembelajar dan antar pembelajar hanya mampu memintarkan (visi pengajaran) dan membuat orang menjadi lebih terampil (visi pelatihan). E-learning sama sekali tidak membuat manusia menjadi lebih bermoral dan berkarakter atau berbudi pekerti luhur. E-learning hanya menyentuh dimensi intelektual (kognitif) dari pembelajar serta sedikit aspek psikomotor, dan belum sampai menyentuh dimensi emosional (afektif) apalagi dimensi spiritual.
Sebagai sebuah alat, e-learning –karena didukung oleh jaringan internet– merupakan alat yang ampuh dan (telah dan akan) mengubah sikap hidup[1] banyak orang, terutama karena kemampuannya mempercepat proses-proses pengajaran (transfer pengetahuan) dan pelatihan. Akan tetapi agaknya tidak ada fakta dan data yang dapat meyakinkan bahwa hal itu akan berdampak pada proses pembelajaran yang mengubah hidup[2] manusia secara keseluruhan (Harefa, 2004: 102). Hal demikian ini mengingat tujuan dari pembelajaran adalah membantu para peserta didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku peserta didik dapat bertambah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tingkah laku yang dimaksud adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku peserta didik (Darsono, 2000: 26).
Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki model e-learning, harus pula diakui bahwa e-learning memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan model belajar konvensional (sekolah/madrasah/pesantren), diantaranya keleluasaan waktu, kebebasan tempat dan pemilihan bahan yang dipelajari. Pengembangan e-learning sangat diperlukan untuk menunjang pembelajaran konvensional serta menyiapkan media untuk menciptakan lingkungan belajar yang fleksibel, mudah untuk diakses darimana saja dan kapan saja. Sistem e-learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas.
E-learning sangat tepat sebagai sarana belajar orang dewasa, bagi peningkatan kemampuan dan pengetahuan para karyawan dan eksekutif. Bagi anak-anak dan pemuda, yang membutuhkan dasar-dasar yang kuat bagi belajar selanjutnya, belajar di sekolah sangat cocok dan sangat diperlukan.
Menurut Sukmadinata (2007: 208), belajar di sekolah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan e-learning, antara lain:
a.       Proses pendidikan hanya bisa terjadi dalam interaksi langsung, segi-segi afektif seperti: sikap, nilai, apresiasi, kehalusan perasaan tidak cukup hanya diberitahukan atau diinformasikan, tetapai harus dihayati dan ditularkan melalui interaksi langsung.
b.      Pengembangan kemampuan-kemampuan dasar tidak dapat dipelajari sendiri, tetapi membutuhkan bimbingan, latihan dan pendampingan guru secara langsung.
c.       Program pembelajaran sekolah merupakan bagian dari program pendidikan yang cukup panjang dan membentuk satu keutuhan pembinaan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
d.      Program pembelajaran dirancang dalam sebuah kurikulum yang lengkap, komprehensif dan sistematis mencakup semua tujuan, bahan dan proses pembelajaran yang harus diberikan atau ditempuh.
Lebih lanjut, Sukmadinata (2007: 209) menawarkan solusi untuk memadukan keduanya karena masing-masing memiliki kelebihan dan juga kelemahan. E-learning dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran dalam pendidikan di sekolah. Para peserta didik dapat diberi tugas atau mencari sendiri bahan-bahan pelajaran di internet. Guru sebaiknya telah menyusun program pembelajaran dengan memasukkan kegiatan e-learning, sebagai pelengkap, pengayaan, atau program terpadu. E-learning dapat dimasukkan dalam program sekolah, apakah hanya untuk kelompok peserta didik tertentu sebagai program pengayaan, atau bagi semua peserta didik sebagai program penunjang atau program terpadu dengan pembelajaran utama.
Mengacu pada pandangan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa belajar dapat dilakukan di kelas dan di luar kelas serta dapat memanfaatkan setiap sumber belajar yang ada guna mengembangkan segala potensi yang dimiliki dan mencapai perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Hal demikian karena hakekat dari belajar adalah pengembangan segala potensi yang dimiliki melalui segala aktifitas, praktik, dan pengalaman untuk mencapai perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik.
Adapun dalam penggunaan istilah, menurut para ahli pendidikan, kata pembelajaran lebih tepat digunakan dibandingkan dengan kata pengajaran disebabkan pembelajaran menggambarkan tentang upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar peserta didik. Pembangkitan prakarsa ini memiliki makna yang signifikan dalam proses pendidikan, sebab disinilah substansi dan hakekat pendidikan dalam proses transformasi –dalam makna yang luas– terhadap peserta didik. Pembelajaran tidak hanya memperhatikan pada “apa yang dipelajari”, tetapi lebih pada “bagaimana membelajarkan pembelajaran.” (Naim & Patoni, 2007: 67).


DAFTAR PUSTAKA
Darsono, Max, dkk., 2000, Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press
Gulö, W. , 2002, Strategi Belajar-Mengajar, Jakarta: Grasindo
Roziqin,  Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press
Knight, George R., 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosphy, Cet. XII, Michigan: Andrews University Press
Suryosubroto, B., 1997, Proses Belajar  Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta
Tilaar, H.A.R., 2002, Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya
Fathurrohman, Pupuh & Sutikno, Sobry, 2007, Strategi Belajar Mengajar melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami, Cet. II, Bandung: Refika Aditama
Freire, Paulo, 2002, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, et.al., Cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harefa, Andrias, 2004, Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming a Learner); Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, Cet. VII, Jakarta: Kompas
Naisbitt, John, dkk.., 2001, High Tech-High Touch; Pencarian makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, terj. Dian R. Basuki, Bandung: Mizan
Naim, Ngainun & Patoni, Achmad, 2007, Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (MPDP-PAI), Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya






[1] Sikap hidup adalah sikap terhadap hidup dan bukan hidup itu sendiri. Sikap hidup hanyalah bagian dari hidup, yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat seperti “saya belajar untuk hidup”, “saya bekerja untuk hidup”, “saya membaca/menulis untuk hidup” dan sebagainya (Harefa, 2004: 90).
[2] Hidup sendiri dinyatakan dalam kalimat seperti “saya hidup untuk belajar”, “saya hidup untuk bekerja”, “saya hidup untuk membaca/menulis.”

Rabu, 09 Februari 2011

Pengertian Total Quality Management (TQM)


Secara bahasa, TQM terdiri dari tiga unsur, yaitu total, quality, dan management. Kata “total” dalam konsep TQM diartikan sebagai pengintegrasian seluruh staf, penyalur, pelanggan dan stakeholder lainnya (total is the integration of the staff, suppliers, customers and other stakeholders).[1] Hal ini berarti semua orang yang ada di dalam organisasi dilibatkan dalam menyelesaikan produk atau melayani pelanggan. Dengan kata lain, “total” dalam konsep TQM ini diartikan bahwa setiap orang berperan dalam menyukseskan seluruh proses pekerjaan atau aktivitas.[2]
Unsur yang kedua dari TQM adalah “Quality”. Quality ini memiliki banyak definisi, baik yang konvensional maupun yang strategik. Secara konvensional, quality biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti kinerja (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Definisi lain dari quality yang lebih strategik adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).[3] Dalam konsep TQM, sebuah produk/jasa dapat dikatakan bermutu apabila mampu memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan.
Secara operasional, mutu/kualitas ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan dan kebutuhan pelanggan. Mutu yang pertama disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu persepsi).[4]
Dalam quality in fact, para produsen menunjukkan bahwa mutu memiliki sebuah sistem, yang biasa disebut sistem jaminan mutu (quality assurance system), yang memungkinkan roda produksi menghasilkan produk-produk yang –secara konsisten– sesuai dengan standard atau spesifikasi tertentu. Dengan demikian sebuah produk dikatakan bermutu selama produk tersebut –secara konsisten– sesuai dengan tuntutan pembuatnya.[5]
Adapun dalam quality in perception, mutu didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan atau melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Dalam hal ini yang menentukan atau menilai sebuah produk atau jasa bermutu ataupun tidak adalah para pelanggan. Dengan demikian mutu dalam persepsi diukur dari kepuasan pelanggan atau pengguna serta meningkatnya minat pelanggan terhadap produk atau jasa.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian quality di atas, tampak bahwa quality hampir selalu berfokus pada pelanggan (customer focused quality) sehingga produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Persoalannya adalah bahwa konsep tentang kualitas/mutu ini dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang sangat subyektif dan nisbi. Antara satu orang dengan yang lain akan berbeda standard mutunya. Bahkan seseorang mungkin akan menerapkan standard mutu yang berbeda pada saat yang lain. Hal ini dikarenakan untuk menetapkan kualitas suatu produk atau jasa pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang subyektif seperti pengalaman, keperluan, harapan, rasa, dan lain sebagainya.[7]
Namun demikian, bukan berarti mutu/kualitas produksi dan pelayanan tidak ada standardnya, melainkan dapat diukur dengan kriteria sesuai dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan pembuatan dan penggunaan, tanpa cacat (zero defects) dan selalu baik sejak awal (right first time and everytime).[8] Oleh karena itu –dalam produksi atau pelayanan– perhatian tidak hanya sebatas perbaikan mutu (quality improvement), tetapi yang juga penting adalah mengusahakan adanya mekanisme yang tepat untuk menjamin mutu (quality assurance) dan juga mengendalikan mutu (quality control).
Unsur yang terakhir adalah management yang berarti sistem mengelola dengan menggunakan langkah-langkah seperti merencanakan, mengorganisir, mengendalikan, memimpin, dan lain lain.[9] Pengertian yang lain menyebutkan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengontrolan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain guna mencapai tujuan secara efektif dan efisien.[10] Namun begitu, ada perbedaan antara manajemen konvensional dengan manajemen dalam konsep TQM. Kalau dalam manajemen konvensional yang dikelola adalah 7 M, yakni man, money, materials, methods, machine, markets, minute, maka dalam konsep TQM yang dimanaj adalah quality atau mutu dari barang dan/atau jasa yang dihasilkan.[11] Selain itu, yang perlu juga dipahami bahwa kata “manajemen” dalam konsep TQM ini berlaku untuk setiap orang yang berada dalam organisasi. Dengan kata lain, setiap orang dalam sebuah institusi, apapun status, posisi atau perananannya, adalah “manajer” bagi tanggung jawabnya masing-masing.[12]
Dari definisi-definisi tersebut di atas, kiranya Total Quality Management atau Manajemen Mutu Terpadu dapat didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen yang melibatkan semua unsur kepegawaian di lingkungan suatu perusahaan baik sektor barang (good product) maupun sektor jasa (services) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi dan efektivitas produksi baik di lingkungan industri maupun institusi lainnya.[13]
Definisi yang lain menyebutkan bahwa TQM merupakan satu himpunan prinsip-prinsip, alat-alat, dan prosedur-prosedur yang memberikan tuntunan dalam praktek penyelenggaraan organisasi yang melibatkan seluruh anggota organisasi dalam mengendalikan dan secara kontinyu meningkatkan bagaimana kerja harus dilakukan dalam upaya mencapai harapan pengguna atau pelanggan (customer) mengenai mutu atau kualitas produk atau jasa yang dihasilkan organisasi, dimana penerapannya menuntut pemberlakuan di seluruh organisasi, baik vertikal maupun horisontal.[14]
Menurut Patricia Kovel-Jarboe, TQM adalah suatu filosofi yang menekankan perbaikan berkelanjutan sebagai tujuan fundamental untuk meningkatkan mutu, produktivitas, dan mengurangi pembiayaan.[15] Pengertian yang lain menyebutkan bahwa TQM merupakan salah satu cara meningkatkan kinerja terus menerus (continously performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.[16]
Dengan beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa TQM adalah sebuah pendekatan praktis –namun juga strategis– dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada terpenuhinya ekspektasi pelanggan dan klien dengan melakukan perbaikan terus menerus serta melibatkan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
Meskipun TQM senantiasa meningkatkan kinerja secara terus menerus, namun bukan berarti TQM merupakan beban.  TQM juga bukanlah inspeksi. TQM adalah suatu keinginan untuk selalu mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan “selalu baik sejak awal”. TQM tidaklah menyediakan kesempatan untuk memeriksa kalau-kalau ada yang salah. Pembicaraan TQM juga bukan mengenai bagaimana cara mengerjakan agenda orang lain, melainkan agenda yang telah ditetapkan oleh pelanggan dan klien. TQM juga bukan sebuah tugas yang hanya dikerjakan manajer senior yang selanjutnya memberikan arahan kepada para bawahannya.[17] Hal ini karena kata “Total” menegaskan bahwa setiap orang yang berada dalam organisasi harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan terus menerus dalam upaya mencapai harapan pengguna atau pelanggan (customer) mengenai mutu atau kualitas produk atau jasa yang dihasilkan organisasi. Dalam penerapannya, TQM menuntut pemberlakuan di seluruh organisasi, baik vertikal maupun horisontal.[18]
 Sepintas lalu, konsep TQM ini tampak utopis. Namun sejatinya TQM ini merupakan suatu pendekatan sistematis dan hati-hati untuk mencapai tingkatan kualitas yang tepat dengan cara yang konsisten dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. TQM ini dapat dipahami sebagai filosofi perbaikan tanpa henti hingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan melibatkan segenap komponen dalam organisasi tersebut guna terpenuhinya ekspektasi pelanggan atau klien.
Sebagai sebuah pendekatan, TQM berusaha mencari sebuah perubahan permanen dalam tujuan sebuah organisasi, dari tujuan “kelayakan” jangka pendek menuju tujuan “perbaikan mutu” jangka panjang. Institusi yang melakukan inovasi secara konstan, melakukan perbaikan dan perubahan secara terarah, dan mempraktekkan TQM akan mengalami siklus perbaikan secara terus menerus. Semangat tersebut akan menciptakan sebuah upaya sadar untuk menganalisa apa yang sedang dikerjakan dan merencanakan perbaikannya. Untuk menciptakan kultur perbaikan terus menerus (continuous improvement), seorang manajer harus mempercayai staffnya dan mendelegasikan keputusan pada tingkatan-tingkatan yang tepat. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan staf sebuah tanggung jawab untuk menyampaikan mutu dalam lingkungan mereka. Staf membutuhkan kebebasan kerja dalam kerangka kerja yang sudah jelas dan tujuan organisasi yang sudah diketahui.[19]


DAFTAR PUSTAKA
Ardiani, “Information Resources Guide on Total Quality Management” dalam http://edu-articles.com/?pilih=lihat&id=55
Oliver, Paul (Ed.), The Management of Educational Change; a Case-Study Approach, England: Arena, 1996
Gaspersz, Vincent, Total Quality Management, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
----------, TQM untuk Praktisi Bisnis dan Industri, Jakarta : Gramedia, 2006
Sallis, Edward, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, terj. Ahmad Ali Riyadi, et.al., Yogyakarta: IRCiSoD, Cet. IV, 2006
Sugito, Ari Tri, “Total Quality Management (TQM) dan Kepemimpinan Transformasional untuk Pendidikan Berkualitas”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam mata kuliah/bidang ilmu Manajemen Pendidikan pada  Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006
http://en.wikipedia.org/wiki/Total_Quality_Management
Sugiyono, “Perspektif  Manajemen Pendidikan”, diktat, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, t.t.
Slamet, Margono, “Filosofi Mutu Kinerja dan Pengertian tentang Manajemen Mutu Terpadu” dalam     http://eng.unri.ac.id/download/qualitymanagement/Filosofi%20Mutu%20Kinerja%20dan%20Arti%20MMT.pdf.
Benny, “Keuntungan Menerapkan Total Quality Management (TQM) DI UKM/IKM” dalam http://www.bsn.or.id/NEWS/detail_news.cfm?News_id=15
Poerwowidagdo, Sapto. J., “Upaya Implementasi Total Quality Leadership di TNI-Angkatan Laut”, dalam http://www.hangtuah.ac.id/Sapto/total-quali.htm
Ardiani, “Pengertian Manajemen Mutu Terpadu” dalam http://edu-articles.com/?pilih=lihat &id=45
Hendayana, Rachmat, “Implementasi Gugus Kendali Mutu dalam Kegiatan Pengkajian” dalam http://bp2tp.litbang.deptan.go.id/file/wp04_15_gkm.pdf. 


[1] Ardiani, “Information Resources Guide on Total Quality Management” dalam http://edu-articles.com/?pilih=lihat&id=55
[2] Paul Oliver (Ed.), The Management of Educational Change; a Case-Study Approach, England: Arena, 1996, hlm. 142
[3] Vincent Gaspersz, Total Quality Management, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 4
[4] Edward Sallis, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan, terj. Ahmad Ali Riyadi, et.al., Yogyakarta: IRCiSoD, Cet. IV, 2006, hlm. 7
[5] Ibid., hlm. 54
[6] Ibid., hlm. 56
[7] Ari Tri Sugito, “Total Quality Management (TQM) dan Kepemimpinan Transformasional untuk Pendidikan Berkualitas”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam mata kuliah/bidang ilmu Manajemen Pendidikan pada  Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006, hlm. 5
[8] Edward Sallis, Op. Cit., hlm. 7
[9] Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Total_Quality_Management
[10] Sugiyono, “Perspektif  Manajemen Pendidikan”, diktat, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, t.t., hlm. 6
[11] Margono Slamet, “Filosofi Mutu Kinerja dan Pengertian tentang Manajemen Mutu Terpadu” dalam     http://eng.unri.ac.id/download/qualitymanagement/Filosofi%20Mutu%20Kinerja%20dan%20
Arti%20MMT.pdf.
[12] Edward Sallis, Op. Cit., hlm. 74
[13] Benny, “Keuntungan Menerapkan Total Quality Management (TQM) DI UKM/IKM” dalam http://www.bsn.or.id/NEWS/detail_news.cfm?News_id=15
[14] Sapto. J. Poerwowidagdo, “Upaya Implementasi Total Quality Leadership di TNI-Angkatan Laut”, dalam http://www.hangtuah.ac.id/Sapto/total-quali.htm
[15] Ardiani, “Pengertian Manajemen Mutu Terpadu” dalam http://edu-articles.com/?pilih=lihat &id=45
[16] Vincent Gaspersz, TQM untuk Praktisi Bisnis dan Industri, Jakarta : Gramedia, 2006, hlm. 2
[17] Edward Sallis, Loc. Cit.
[18] Rachmat Hendayana, “Implementasi Gugus Kendali Mutu dalam Kegiatan Pengkajian” dalam http://bp2tp.litbang.deptan.go.id/file/wp04_15_gkm.pdf. 
[19] Edward Sallis, Op. Cit., hlm. 76 et.seq.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design