Selasa, 29 Maret 2011

Antonio Gramsci, Hegemoni dan Peradaban Barat


Istilah hegemoni berasal dari bahasa yunani, hegeisthai (“to lead”). Hegemoni ini dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa).[1]
Berbicara mengenai “hegemoni” tentu tidak bisa lepas dari nama Antonio Gramsci (1891-1937), yaitu salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20. Teori “hegemoni” ini dapat dikatakan merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial, dimana konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis melalui revolusi proletariat.[2]
Menurut Antonio Gramsci, hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai kehendaknya. Di sini “hegemoni” berlangsung secara smooth, tanpa terasa, tetapi masyarakat dengan sukarela mengikuti/menjalaninya.[3] Lebih lanjut Gramsci menyatakan bahwa “hegemoni” ini dapat terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum buruh.
Bagi Gramsci proses perubahan sosial tersebut tidak semata-mata diartikan sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideologi. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.[4]
Masih menurut Gramsci, sebagaimana dikutip Sayful Muzani, hegemoni juga merupakan kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dan pemikiran dominan digelar ke masyarakat dan mewujudkan diri dalam bentuk kelembagaan dan penghayatan pribadi, sehingga seluruh bidang kehidupan masyarakat kapitalis (sosial, politik, ekonomi, budaya, keagamaan, seni, pendidikan, dsb) selalu mengikuti dan menganggapnya paling benar.[5] Dengan kata lain, hegemoni berarti universalisasi kepentingan dominan tertentu (misalnya kelas borjuis), sehingga suatu definisi tentang realitas sosial dan teori sosial –yang menyebar dan berpengaruh luas dalam masyarakat, termasuk komunitas intelektual dan ilmuwan sosial– diterima secara taken for granted, seolah-olah memang sudah seharusnya begitu. Penerimaan ini dimungkinkan karena para intelektual terkait secara organis dan dialektis dengan kelas yang dominan. Dalam hal ini, hegemoni berlangsung pada tataran sipil, dimana ideologi kelas dominan dalam formasi sosial kapitalisme maju di Barat disebarkan ke masyarakat lewat konsensus demokratis.[6]
Secara strategis, untuk menciptakan hegemoni, Gramsci memberikan 2 cara, yaitu melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial.[7]
Melalui bahasa media massa, manusia –baik individu maupun kelompok– dibentuk seragam dalam menginterpretasikan bahasa. Sebab bahasa di Media memiliki potensi menghegemoni sebagian masyarakat sehingga mereka harus mengikutinya (membenarkan, melihat, mendengar dan mendiskusikan). Bahkan uniknya, penyeragaman penafsiran bahasa ini menjadi ciri khas tersendiri. Tidak heran jika ada “manusia latah” disekitar kita. Bahkan, hal ini “sudah menjadi tradisi”. Akhirnya, lahirlah manusia-manusia pasif secara sadar atau tidak.[8]
Dan melalui media massa, baik elektronik maupun cetak ini peradaban Barat mulai menancapkan hegemoninya kepada peradaban lain, termasuk Islam. Dalam hal ini Barat melakukan hegemoni budaya melalui jaringan komunikasi global. Mereka menggiring cara berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral, politik, dan budaya Barat. Misalnya, 88 dari 100 film yang beredar di seluruh dunia pada tahun 1993 adalah film-film Amerika (Hollywood). Dan pada tahun 1994, CNN Internasional menyatakan memiliki 55 juta pemirsa setia (1% dari seluruh penduduk dunia).[9]
Di AS, ada istilah Seven Deadly Sinners yang meliputi Time, Newsweek, CBS, NBC, ABC, New York Time, dan Washington Post. Dan tentunya masih banyak lagi jaringan komunikasi global lainnya yang berasal dari Barat. Jika Pol Pot membunuh jutaan manusia secara fisik, Seven Deadly Sinners telah menjadi mesin propaganda dan agitasi pemerintahan AS yang membunuh jutaan (pikiran) manusia.[10] Kita dapat menyaksikan betapa setiap hari masyarakat –khususnya Indonesia– disuguhi dengan tayangan-tayangan yang berkiblat pada life style ala Barat, baik melalui sinetron, film, infotainment, maupun reality show yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dalam ranah politik, peradaban Barat juga berusaha menghegemoni peradaban lainnya, dimana pasca Perang Dingin (Cold war) antara Blok Barat (yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat) dan Blok Timur (yang dikomandoi oleh Uni Soviet), ternyata memunculkan anggapan di kalangan masyarakat Barat bahwa ideologi liberalisme demokratik telah memenangkan perang melawan sosialisme serta menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa “misionaris” yang memaksa bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan negara. Padahal, nilai-nilai tersebut acapkali tak bergaung dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks.[11]
Berangkat dari kenyataan tersebut di atas, dalam latar global masa kini, nampaknya hegemoni juga dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan imperialisme dengan berbagai bentuknya yang baru. Bangsa-bangsa Asia, Amerika Latin, dan Afrika kontemporer secara politis memang merdeka tetapi dalam banyak hal “terkuasai” dan mengalami “ketergantungan” dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari peradaban Barat.[12] Hal ini berarti bangsa-bangsa tersebut, disadari ataupun tidak telah terhegemoni oleh peradaban Barat.
Hegemoni dapat juga berwujud truth claim yang universal dan mutlak atas segala ilmu yang berkembang yang bukan berasal dari tradisi Barat. Hal ini dapat dilihat sejak abad pencerahan, di mana sejak saat itu representasi kebudayaan Barat yang dominan cenderung menyubordinasikan apa yang bisa disebut sebagai aspek-aspek kebudayaan dan tradisi “Dionysian” (lawan Appolonian), yakni suatu kecenderungan yang dipahami sebagai puitis, mistis, irasional, tidak beradab, dan feminin. Hegemoni seperti itu telah memberi karakteristik stereotip tentang Barat versus Timur dalam berbagai ranah kehidupan, khususnya dalam bidang otoritas kebenaran atas klaim saintis, dimana mereka tidak mengakui atau meragukan kesahihan sains yang berkembang dari teks agama. Pandangan ini masih dipegang teguh oleh para penganutnya sehingga dengan klaim sains yang ilmiah dan obyektif serta rasional telah menimbulkan sikap dominasi kebenaran “obyektif” atas bidang keilmuan yang berkembang di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini.[13]
Dari semua hal tersebut di atas, sebenarnya kepentingan global Barat adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Dan untuk melancarkan kepentingannya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus yang dilakukan Barat untuk mengukuhkan hegemoninya antara lain melalui “rezim pengetahuan”. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.
Ancaman hegemoni dalam dunia pendidikan juga datang dari hegemoni neoliberalisme. Neoliberalisme menampilkan wajah hegemoniknya lewat simulacra (pembangunan citra, image) yang dikemas dalam bentuk iklan-iklan, icon (lambang), merek, termasuk secara sistemik membangun kekuatan antar negara/kawasan dalam perekonomian liberal.
Dalam dunia pendidikan neoliberalisme melancarkan hegemoni dengan melakukan kapitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan, tanpa melihat lagi misi mulia pendidikan yang manusiawi. Implikasi dari sekian lamanya neoliberalisme menghegemoni dunia pendidikan, dengan gampang ditemukan lewat kesadaran palsu, yaitu pandangan bahwa kesuksesan dan derajat kemuliaan seseoarang diukur dari kuliah, lulus secepatnya dengan nilai tinggi, kerja pada tempat yang paling banyak menghasilkan uang.
Implikasinya, masyarakat pun cenderung menilai orang dari mobil yang dipakai, seberapa besar rumahnya, dll. Jiwa dan sikap intelektualitas, suka mengkaji suatu fenomena, memiliki rasa keingintahuan dan naluri penyelidikan yang tinggi, memegang prinsip kebenaran ilmiah dan rasa keadilan, justru merupakan "musuh" bagi neoliberalisme.[14]
Jika hegemoni berarti kemampuan untuk mendikte, mendominasi, mengatur, dan merancang konstelasi dan geopolitik internasional, maka AS bisa dikatakan telah menghegemoni. Coba perhatikan laporan New York Times (08/03/1992) yang melaporkan paradigma kebijakan luar negeri AS. Ketika itu, pada bulan Maret, sekumpulan pejabat penting pada masa pemerintahan Bush senior dimotori Dick Cheney dan Paul Wolfowitz mengeluarkan Draf Pedoman dan Rencana Pertahanan (Defence Planning Guidance Draft) yang mengharuskan dominasi militer dalam kebijakan AS di masa depan. Dokumen itu, yang di kemudian hari dinamai “Pentagon Paper” menganjurkan pre-emptive force untuk melindungi AS dari senjata pemusnah massal (WMD) serta melakukannya sendirian jika perlu. “Strategi kita (pascajatuhnya Uni Sovyet) harus difokuskan pada pemusnahan segala potensi timbulnya kompetitor global di masa depan”.[15]
Dan untuk melanggengkan hegemoni itu, George W. Bush secara tegas menyampaikan hal ini ketika ia berpidato pada pelepasan kadet baru West Point 1 Juni 2002: “Amerika harus bisa memastikan kekuatan militernya mampu mengatasi berbagai tantangan, meskipun harus merusak stabilitas perlombaan senjata dunia. AS juga harus membatasi kekuatan negara lain meskipun kekuatan itu ditujukan untuk perdamaian.”[16]

DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, Cet. VIII, 2004
Muzani, Sayful, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”, dalam Edy A. Effendy (ed), Dekontruksi Islam Madzhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1999
Said, Edward W., Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, Cet. II, 1996

Huda, Nurul, “Perihal Hegemoni dan Perang Posisi” dalam http://nurulhuda.wordpress.com

           /2006/11/21/perihal-hegemoni-dan-perang-posisi
Harahap, Oky Syeiful R., “Pengaruh Hegemoni dalam Dunia Pendidikan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/02/1106.htm
Bilfagih, Muhammad Taufiq, “Media dan Hegemoni” dalam http://billfagih.blogspot.com/
           2007/09/media-dan-hegemoni.html
Hasan, Misbahul, “Membincang Benturan Antar Peradaban” dalam http://www.lakpesdam.or. id/index.php?id=105
Kurniawan, Wawan, “Amerika Serikat, Hegemoni Global dan Dominasi Militer” dalam http://kainsa.wordpress.com/amerika-serikat-hegemoni-global-dan-dominasi-militer
Duija, I Nengah, “Hegemoni Orientalis dan Pengembangan Ilmu Kemanusiaan” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/opini/288298.htm
“Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni




[1] “Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni

[2]  Nurul Huda, “Perihal Hegemoni dan Perang Posisi” dalam http://nurulhuda.wordpress.com

/2006/11/21/perihal-hegemoni-dan-perang-posisi
[3] Oky Syeiful R. Harahap, “Pengaruh Hegemoni dalam Dunia Pendidikan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/02/1106.htm
[4] Nurul Huda, Loc. Cit.
[5] Sayful Muzani, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”, dalam Edy A. Effendy (ed), Dekontruksi Islam Madzhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1999, hlm. 276
[6] Ibid., hlm. 277
[7] “Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni
[8] Muhammad Taufiq Bilfagih, “Media dan Hegemoni” dalam http://billfagih.blogspot.com/
2007/09/media-dan-hegemoni.html
[9] Misbahul Hasan, “Membincang Benturan Antar Peradaban” dalam http://www.lakpesdam.or. id/index.php?id=105
[10] Wawan Kurniawan, “Amerika Serikat, Hegemoni Global dan Dominasi Militer” dalam http://kainsa.wordpress.com/amerika-serikat-hegemoni-global-dan-dominasi-militer
[11] Samuel P. Huntington, Op. Cit., hlm. 336
[12] Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, Cet. II, 1996, hlm. 52
[13] I Nengah Duija, “Hegemoni Orientalis dan Pengembangan Ilmu Kemanusiaan” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/opini/288298.htm
[14] Oky Syeiful R. Harahap, Loc. Cit.
[15] Wawan Kurniawan, Loc. Cit.
[16] Ibid.

Senin, 28 Maret 2011

Auguste Comte dan Aliran Positivisme


Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.
Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte  yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[1]
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.

Riwayat Hidup Auguste Comte

Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.[2]
Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung  oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu.[3]
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon,[4]Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.
Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang.[5] 
Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai “hukum perkembangan” juga mempengaruhi pemikirannya. Kata “rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah “Induktif-verifikatif”.[6]
Setelah tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh Eropa bahkan melebihi ketenaran “sang majikan” Henry de’Saint Simon. Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari Fiosof Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan.[7]
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.[8]

Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).[9] Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.[10] Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[11]
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[12]
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[13]
  1. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.[14]
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[15] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.[16]

Positivisme Auguste Comte

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[17]
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.[18]
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.[19] Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.[20]
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban.[21] Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud.[22] Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.[23]
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.[24]
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).[25]
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.[26]
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.

Kritik Pemikiran

Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.
DAFTAR PUSTAKA


Maksum, Ali, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996
Azis, Ichwan Supandi, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003,
Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Deltgauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I,  Jakarta: Gramedia 1981
Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983
Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001
Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam  http://veggy.wetpaint. com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivisme


[1] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 77
[2] Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996, hlm 5
[3] Ichwan Supandi Azis, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hlm. 254
[4] Henry de’Saint Simon adalah seorang bangsawan sekaligus salah seorang filosof  termasyhur di Perancis waktu itu dan Auguste Comte pernah menjadi sekretaisnya.
[5] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 443
[6] Ichwan Supandi Azis, Loc. Cit.
[7] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 9
[8] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. Hlm. 79
[9] Ibid.
[10] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 27
[11] Ali Maksum, Loc. Cit.
[12] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001, hlm. 117
[13] Koento Wiisono, Loc. Cit.
[14] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 80
[15] Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67
[17] Asmoro Akhmadi, Op. Cit., hlm. 116
[18] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 82
[19] Sebagai catatan, pada akhir hidupnya, Auguste Comte bahkan berupaya membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. “Agama” baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan sumboyan “cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, dan kemajuan sebagai tujuan.” Dan sebagai istilah ciptaannya yang terkenal adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. Lihat Asmoro Akhmadi, Loc. Cit.
[20] Lihat Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
[21] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 38
[22] K. Bertens,  , Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I,  Jakarta: Gramedia 1981, hlm. 171
[23] Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 3 et.seq.
[24] Kunto Wibisono, Op. Cit. Hlm. 48
[25] Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam  http://veggy.wetpaint.com/page
/Fenomenologi, +Hermeneutika+dan+Positivisme
[26] Ibid.

Rabu, 16 Maret 2011

Pengertian Kecerdasan Emosional


Istilah kecerdasan emosional pada mulanya diperkenalkan oleh dua ahli psikologi, yaitu Peter Salovey dari Universitas Harvard, dan John Mayer dari Universitas New Hampshire. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman, penulis buku laris Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ, yang dalam edisi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia dengan judul “Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional); Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ.”
Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk menggambarkan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein & Book, 2004: 30).
Daniel Goleman (2003: 45) mencirikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Pengertian yang lain disampaikan oleh Pamugari Widyastuti, dosen psikologi Universitas Indonesia. Namun dalam hal ini ia membedakan antara istilah Emotional Intelligence (EI) dengan Emotional Quotient (EQ). Menurutnya, emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan-perasaan yang positif (menyenangkan) dan negatif (tidak menyenangkan), serta kemampuan mengubah suatu perasaan negatif menjadi positif. Sedangkan emotional quotient adalah kesadaran emosi dan kemampuan mengelola emosi, yang memungkinkan seseorang mampu menyelaraskan emosi dan nalarnya sehingga kebahagiaan dapat tercapai secara optimal (Anwar & Mohammad, http://www.gatra.com).
Seorang pakar psikologi, Robert K. Cooper –sebagaimana dikutip oleh Wijaya (2007: 4)– mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Hal ini berarti kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, pengaruh untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa pengertian tersebut di atas memberikan suatu pemahaman bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah hati. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen (Wijaya, 2007: 5).
Menurut konsep kecerdasan emosional, yang di-manage adalah emosi. Term emosi ini bukanlah emosi yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena term emosi ini sangat berbeda dengan pengertian emosi dalam psikologi. Emosi dalam pemakaian sehari-hari sering mengacu kepada ketegangan yang terjadi pada individu akibat dari tingkat kemarahan yang tinggi. Singkatnya, kata emosi lazim dipahami oleh masyarakat sebagai ekspresi marah. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dimaksud dalam kajian tentang kecerdasan emosional.
Secara etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin movere yang berarti menggerakkan atau bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e’ untuk memberi arti bergerak menjauh. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Hude, 2006: 16). Menurut makna paling harfiah, Oxford English Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Daniel Goleman (2003: 411), mendefiniskan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Menurut Crow & Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment  (penyesuaian dalam diri) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu (Hartati, dkk, 2004: 90). Definisi yang lebih jelas mengartikan bahwa emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (Hude, 2006: 23).
Di dunia Islam, kajian atas emosi bukanlah barang baru. Al Qur’an juga hadits banyak sekali menyinggung tentangnya. Di dalam al Qur’an, menurut Nasaruddin Umar, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalb (kalbu). Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam al Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci qalb (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (nafs), intuisi (hadas), dan beberapa istilah lainnya (Hude, 2006: ix). Lebih lanjut, Nasarudin Umar mengelompokkan jenis-jenis dan sifat kalbu (qalb) dalam al Qur’an ke dalam dua kelompok, yaitu kalbu yang positif dan kalbu yang negatif.
a.      Kalbu yang positif:
1)      Kalbu yang damai (qalb salim) (Q.S. al Syuara’: 89)
2)      Kalbu yang bertaubat (qalb munib) (Q.S. Qaaf: 33)
3)      Kalbu yang tenang (qalb muthmainah) (Q.S. al Nahl: 6)
4)      Kalbu yang berfikir (qulub ya’qilun) (Q.S. al Haj: 46)
5)      Kalbu yang mukmin (qulub al mu’min) (Q.S. al Fath: 4)
b.      Kalbu yang negatif:
1)      Kalbu yang sewenang-wenang (qalb mutakabbir) (Q.S. al Mu’min: 35)
2)      Kalbu yang sakit (qalb maridh) (Q.S. al Ahzab: 32)
3)      Kalbu yang melampaui batas (qulub al mu’tadin) (Q.S. Yunus: 74)
4)      Kalbu yang berdosa (qulub mujrimin) (Q.S. al Hijr: 12)
5)      Kalbu yang terkunci, tertutup (khatama Allah ‘ala qulubihim) (Q.S. al Baqarah: 7)
6)      Kalbu yang terpecah-pecah (qulubuhum syatta) (Q.S. al Hasyr: 14) (Hude, 2006: xi).
Senada dengan Hude adalah Agustian (2006: 112) yang membagi emosi ke dalam kategori emosi yang tercipta ketika manusia menjauh atau keluar dari garis orbit (off line) dan emosi yang masuk dalam garis orbit (in line). Yang masuk dalam kategori off line adalah emosi yang keluar dari tuntutan hati nurani, sedangkan in line adalah yang sesuai dengan hati nurani. Emosi-emosi tersebut antara lain:
1.      Marah, ketika harga diri terguncang (off line)
2.      Kecewa, ketika suara hati tidak sesuai dengan kenyataan (off line)
3.      Sedih, pada saat merasa kehilangan (off line)
4.      Menangis, ketika God Spot tergetar (off line atau in line)
5.      Bahagia, ketika suara hati tersentuh (in line)
6.      Merasa damai, ketika suara hati menjadi kenyataan (in line)
7.      Termotivasi, ketika bersemangat untuk merealisasikan suara hati (in line)
8.      Antusias, saat diri merasa mampu untuk merealisasikan suara hati (off line)
9.      Merasa aman, ketika suara hati terpenuhi (in line)
10.  Kesal, ketika sebuah kenyataan jauh dari suara hati (off line)
11.  Menyesal, ketika kesempatan untuk mengaplikasikan suara hati terlewatkan (off line)
Adapun pembagian emosi menurut Daniel Goleman (2003: 412) adalah sebagai berikut:
1)      Amarah; seperti beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan tindak kekerasan.
2)      Kesedihan; seperti pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, depresi berat.
3)      Rasa takut; seperti cemas, takut, gugup, khawatir, waspada, tidak tenang, was was, fobia, dan panik.
4)      Kenikmatan; seperti bahagia, gembira, riang, puas, terhibur, bangga, takjub, senang sekali, dsb.
5)      Cinta; seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
6)      Terkejut; takjub, terkesiap, terpana dsb.
7)      Jengkel; jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah dsb.
8)      Malu; rasa salah, malu hati, kesal hati, hina, aib, hati hancur lebur.
Uraian tersebut di atas jelas memperlihatkan bahwa qalb (kalbu) secara psikologis memiliki daya-daya emosi yang menimbulkan daya rasa (al syu’ur) yang positif atau yang negatif. Jika daya rasa positif diupayakan untuk selalu diberdayakan, maka potensi ini sangat mungkin untuk dapat dijadikan sebagai media pengembangan tingkah laku salih yang berbasis rasa cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus (ikhlas) dan rasa persaudaraan. Namun jika daya rasa negatif yang dibiarkan, tanpa ada upaya pengendaliannya, maka perilaku yang nampak dipermukaan cenderung selalu menolak terhadap kebenaran, sekalipun datangnya dari Tuhan. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan keadaan psikologis sudah didominasi oleh daya rasa kebencian, ketidaksenangan, kekufuran, keingkaran dan kemunafikan, yang dalam bahasa al Ghazali disebut al Ghadlab (Hadziq, 2005: 107). Oleh karena itu, daya-daya emosi tersebut harus dikelola dan diatur sedemikian rupa agar lebih cerdas secara emosional.
Secara medis –menurut Dr. Mark George, seorang ahli saraf dari International of Mental Health– di dalam otak manusia terdapat dua komponen yang disebut dengan sistem limbik  dan amigdala.  Di dalam kedua komponen otak inilah emosi manusia diatur. Kecerdasan emosi yang sekarang diketahui sebagai salah satu kunci sukses kehidupan, merupakan fungsi dari kedua komponen otak ini (Pasiak, 2003: 99).
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya memaksimalkan kedua komponen otak tersebut agar emosi menjadi lebih cerdas? Menurut Peter Salovey terdapat 5 (lima) dimensi EQ. Apabila seorang individu menguasai kompetensi yang menyebar pada kelima dimensi EQ tersebut, akan membuat seseorang menjadi lebih paham terhadap pribadinya atau memiliki kecerdasan emosional (Goleman, 2003: 58). Kelima dimensi itu adalah mengenali emosi diri (self awareness), mengelola emosi (self regulation), memotivasi diri sendiri (motivation), mengenali emosi orang lain (empathy), dan membina hubungan atau keterampilan sosial (social skill).
1.      Mengenali emosi diri (self awareness).
Kompetensi dalam dimensi pertama ini adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri. Hal ini penting mengingat ketidakmampuan untuk mencermati perasaan sesungguhnya akan membuat seorng individu dikuasai oleh perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaan adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka (Goleman, 2003: 58).
Ajaran Socrates “kenalilah dirimu” serta hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia benar-benar mengenali Tuhannya”, jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional (Sukidi, 2004: 44).
2.      Mengelola emosi (self regulation)
Emosi tentu saja tidak cukup hanya dikenali saja, tetapi lebih dari itu harus pula disadari eksistensinya dan dikelola agar dapat memberi pengaruh yang positif dalam kehidupan. Oleh karena itu, kompetensi dimensi kedua ini adalah mengelola emosi. Perasaan perlu ditangani dan dikendalikan agar dapat terungkap dengan pas. Ketika perasaan sedang senang tidak perlu terlalu berlebihan dan ketika sedang down, murung, cemas, atau tersinggung, juga tidak terlalu berlebihan.
3.      Memotivasi diri sendiri (motivation)
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, serta untuk berkreasi. Goleman (2003: 58) menyatakan bahwa kendali diri emosional –menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati– adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
4.      Mengenali emosi orang lain (empathy)
Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain (Goleman, 2003: 59). Mengasah kemampuan untuk mengenal emosi orang lain sangat diperlukan dalam berhubungan dengan siapapun karena hal ini akan menentukan cara kita mensikapi keadaan sekitar. Selain itu, kemampuan mengenal emosi orang lain dan mensikapinya secara tepat akan berpengaruh besar pada “kesuksesan” dalam berhubungan dengan orang lain.
5.      Membina hubungan atau keterampilan sosial (social skills)
Maksudnya adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasif (mempengaruhi), mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan silang pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building (Sadili, http://groups.google.com).
Uraian tersebut diatas memberi sebuah pemahaman bahwa dalam mengarungi kehidupan seseorang tidak hanya cukup memiliki IQ yang tinggi saja, apalagi ketika berinteraksi interpersonal maupun intrapersonal. Oleh karena itu perlu di dukung pula jenis kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan emosional. Keberhasilan seseorang dalam kehidupan sangat ditentukan oleh keduanya. Kecerdasan intelektual (IQ) tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. Apabila keduanya dapat berinteraksi dengan baik, maka akan semakin bertambah kualitas kehidupan seseorang.
Menurut Wipperman (2007: 5) emosi dan akal bagaikan dua sisi mata uang. EQ adalah penjelmaan dari suatu tolok ukur kekuatan otak (IQ). Jadi, IQ dan EQ adalah dua sumber yang sinergis: tanpa yang satu maka yang lainnya menjadi tidak lengkap dan tidak efektif. Berbekal IQ yang tinggi, seseorang dapat mendapatkan nilai yang tinggi dalam tes, tetapi tidak akan menjamin dapat menjadi yang terdepan dalam hidup. Hal ini karena domain EQ adalah hubungan-hubungan personal dan interpersonal; daerah ini bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, sensitifitas sosial, dan adaptabilitas sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Stein, Steven J. & Book, Howard E., 2004, Ledakan EQ; 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, Cet. V, Bandung: Kaifa

Goleman, Daniel, 2003, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, Cet. XIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anwar, Mauluddin dan Mohammad, Herry, “Kecerdasan Beragama”, Jakarta: Gatra, Nomor 6/IV, 27 Desember 1997. Lihat dalam http://www.gatra. com/IV/6/aga-6.html

Wijaya, Diana, 2007, Peluang Meningkatkan Karir dengan Inteligensi (Kecerdasan), Jakarta: Restu Agung

Hude, M. Darwis, 2006, Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al Qur’an, Jakarta: Erlangga

Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan Psikologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Agustian, Ari Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey melalui al Ihsan, Cet. X, Jakarta: Arga

Hadziq, Abdullah, 2005, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL

Pasiak, Taufik, 2003, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al Qur’an, Bandung: Mizan

Sukidi, 2004, Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting daripada IQ dan EQ, Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sadili, Muhtar, “Kecerdasan Paripurna Anak Didik” dalam http://groups.google.com

Wipperman, Jean, 2007, Meningkatkan Kecerdasan Emosional; Program Praktis untuk Merangsang Kecerdasan Emosional Anda, terj. Winianto, Jakarta: Prestasi Pustakaraya




 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design