Rabu, 13 April 2011

Teori Belajar Menurut Aliran Kognitivisme


Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar.  Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner  dan teori kognitif Bandura.
1)        Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).
Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).

2)        Teori Medan (field theory)
Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai berikut:


Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).
Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori medan menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya, 2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam belajar adalah:
a)        Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh adalah sebagai berikut:
Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat sulit memecahkan persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah tarikan garis, maka harus mengubah struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan sebuah bujur sangkar.
b)        Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).

3)        Teori Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat tahapan itu adalah:
a)        Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
b)        Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c)        Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama dalam kondisi yang berbeda.
d)       Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).

4)        Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).

5)        Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga  berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap  simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).

6)        Teori Kognitif Bandura
Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007: 93).
Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b: 31).
Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan. Diperolehnya perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah (reciprocal determinism/ determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan timbul perasaan percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak melakukannya (Djaali, 2007: 94).

DAFTAR PUSTAKA
Baharudin & Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;  Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
-----------, 2007b, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
 “Mengenal Beberapa Tokoh Psikologi” dalam http://www.e-psikologi.com/lainlain /tokoh.htm#duabelas





Senin, 11 April 2011

Efisiensi Belajar: Pengertian dan Faktor Penunjangnya


Efisien, menurut Freemont E. Kast, adalah optimasi sumber daya, yaitu yang termudah cara mengerjakannya, termurah biayanya, tersingkat waktunya, teringan bebannya, dan terpendek jaraknya. Bila dalam suatu usaha mencapai tujuan tertentu dianggarkan 100 juta, tetapi dengan metode baru dapat dikerjakan dengan 80 juta, maka terdapat efisiensi sebesar 20 juta.[1]
Dari sini dapat dipahami bahwa efisiensi adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan terbaik antara usaha dengan hasilnya.[2] Efisiensi berarti pula melakukan segala sesuatu secara benar, tepat, akurat, dan mampu membandingkan antara besaran input dan output.[3]
Dalam konteks belajar, efisiensi mempunyai arti, meningkatkan kualitas belajar dan penguasaan materi belajar; mempersingkat waktu belajar; meningkatkan kemampuan guru, mengurangi biaya tanpa mengurangi kualitas belajar mengajar. Bagi suatu lembaga pendidikan, pengertian efisiensi tersebut tampaknya mengarah pada efisiensi yang memberikan arti peningkatan kemampuan guru dalam proses belajar-mengajar. Hal ini karena dalam proses belajar mengajar yang mementingkan hubungan peserta didik dan guru, guru menjadi pihak yang aktif.[4]
Namun bagi peserta didik, efisiensi dapat dimaknai menjadi dua macam efisiensi, yaitu efisiensi usaha belajar dan efisiensi hasil belajar.
1.      Efisiensi Usaha Belajar
Suatu kegiatan belajar dapat dikatakan efisien kalau prestasi yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha seminimal mungkin. Usaha dalam hal ini adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendapat hasil belajar yang memuaskan, seperti: tenaga dan pikiran, waktu, peralatan belajar, dan hal-hal lain yang relevan dengan kegiatan belajar. Efisiensi dari sudut usaha belajar ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar di atas memperlihatkan kepada kita bahwa C lebih efisien daripada A dan B, karena dengan usaha yang minim dapat mencapai hasil belajar yang sama tingginya dengan prestasi belajar A dan B. Padahal, A dan B telah berusaha lebih keras daripada C.
2.      Efisiensi Hasil Belajar
Sebuah kegiatan belajar dapat pula dikatakan efisien apabila dengan usaha belajar tertentu memberikan prestasi belajar tinggi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:
Gambar tersebut di atas memperlihatkan bahwa C adalah peserta didik yang paling efisien ditinjau dari prestasi yang dicapai, karena ia menunjukkan perbandingan yang terbaik dari sudut hasil. Dalam hal ini, meskipun usaha belajar C sama besarnya dengan A dan B (lihat kotak usaha belajar), ia telah memperoleh prestasi yang optimal atau lebih tinggi daripada prestasi A dan B.[5]
Pertanyaannya sekarang adalah faktor apa yang dapat menunjang efisiensi belajar? Mengenai faktor penunjang efisiensi belajar ini, paling tidak terdapat tiga faktor yang dapat menjadi penunjang efisiensi dalam proses pembelajaran, yaitu faktor internal, faktor eksternal, dan materi pelajaran serta pendekatan belajar.
1.         Faktor internal (faktor dari dalam), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani peserta didik; faktor-faktro internal ini meliputi faktor fisiologis dan psikologis.
a.       Faktor fisiologis, yakni yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor ini juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Keadaan tonus jasmani, yakni keadaan sakit tidaknya kondisi fisik.
b)      Keadaan fungsi jasmani. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologi pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama fungsi pancaindra, seperti:pendengaran, penglihatan dan sebagainya.
b.      Faktor psikologis, yakni yang berkaitan dengan keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan peserta didik, motivasi, minat, sikap, dan bakat.[6]
2.      Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi lingkungan di sekitar peserta didik;
Selain karakteristik peserta didik atau faktor-faktor internal, proses belajar juga dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non-sosial.
a)      Lingkungan Sosial, meliputi:
1)   Lingkungan sosial sekolah; seperti guru, administrasi, teman-teman sekelas. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi peserta didik untuk belajar lebih baik di sekolah.
2)   Lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan yang kumuh, banyak pengangguran, dan anak telantar tentunya sedikit banyak akan berpengaruh pada aktivitas belajar peserta didik.
3)   Lingkungan sosial keluarga. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orang tua, serta pengelolaan keluarga akan dapat memberi dampak pada aktivitas peserta didik.
b)      Lingkungan non-sosial masyarakat, meliputi:
1)   Lingkungan alamiah. Kondisi udara segar, tidak panas, dan suasana yang sejuk dan tenang tentunya akan berpengaruh pada aktivitas belajar peserta didik.
2)   Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar. Termasuk dalam kategori ini adalah gedung sekolah, fasilitas belajar, kurikulum sekolah, peraturan sekolah, buku panduan, silabi dan lain sebagainya.[7]
3.      Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke peserta didik). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan peserta didik, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan peserta didik. Karena itu, agar terjadi efisiensi dalam proses belajar, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi peserta didik.[8]


DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono, “Perspektif  Manajemen Pendidikan”, diktat, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, t.t.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Jakarta: Remaja Rosda Karya, Cet. IV, 1999
 “Percepatan Diri” dalam http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=837
Sophia Rahmi, “Hubungan Guru dan Murid” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/1005/03/1104.htm
Baharudin dan Wahyuni, Esa Nur, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007



[1] Sugiyono, “Perspektif  Manajemen Pendidikan”, diktat, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, t.t., hlm. 6
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Jakarta: Remaja Rosda Karya, Cet. IV, 1999, hlm. 125
[3] Lihat “Percepatan Diri” dalam http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=837
[4] Sophia Rahmi, “Hubungan Guru dan Murid” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/1005/03/1104.htm
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan............Op. Cit., hlm. 126
[6] Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007, hlm.  19-25
[7] Ibid., hlm. 26 et.seq.
[8] Ibid., hlm. 28

Jumat, 08 April 2011

Clifford Geertz dan Agama Jawa (Abangan, Santri dan Priyayi)

Clifford Geertz adalah penulis buku legendaris The Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi--abangan, santri dan priyayi--di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Biografi Clifford Geertz

Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950.[1] Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multiagama, multiras  yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.[2]
Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study, sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz  mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis.[3]
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsa-bangsa berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain –pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.[4]
Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang berkaitan dengan kajian Penulis, adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi).[5]
Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting seperti The Interpretation of Cultures, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, Available Light, Local Knowledge, Works and Lives: The Anthropologist as Author, After The Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, The Religion of Java,[6] Peddlers and Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship in Bali, Negara: The Theater State in 19th Century Bali, dan Agricultural Involution.[7]

Latar Belakang Pemikiran

Untuk memahami buku The Religion of Java tampaknya tidak akan lengkap tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakang antropologi Geertz. Dan semua itu akan tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar belakang pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama dan budaya Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi antroplogi Amerika yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai saat belajar di Harvard dibawah teoritisi terkemuka, Talcott Parsons.[8]
Dalam tradisi antropologi Amerika,[9] ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi Amerika juga memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu sistem ide, adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz telah menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam perspektif antropologinya.[10]
Adapun terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard- telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber kepada Geertz.[11] Parson ini merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang telah menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber serta menjelaskan ide-ide pokoknya.
Dari Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan ide-ide Weber, terutama tentang pandangan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jejaring (web) makna yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari pandangan ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.[12]  Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya.[13] Bertolak dari pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian analisis Geertz tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna (meaning).
Dibawah pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi Amerika ini, Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Namun begitu, tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima teori-teori dari para pendahulunya secara taken for granted, dimana dia ternyata mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang.[14] Sebaliknya, Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.[15]
Kaitannya dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya, menurut Geertz itu hanya sebuah kebetulan belaka.[16] Namun begitu, menurut Nono Makarim –salah seorang murid Geertz di Harvard dan juga pernah napak tilas Geertz di Pare- pemilihan Indonesia adalah karena Indonesia pada tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan[17] dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya. Kemudian, “Mojokuto” dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tradisi antropologi Amerika, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang.[18]
Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di Jawa Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto” merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan.[19] “Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.[20]
Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota).[21] Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas.[22]
Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan.[23]
Dengan kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka pikir ala Weberian, tampaknya Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. Oleh karena itu, masalah-masalah yang perlu dirumuskan dalam penelitian di Mojokuto ini adalah sebagai berikut:
  1. Sejauhmana realitas kemajuan, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual masyarakat  Jawa –yang notabenenya lebih dulu mengalami peradaban daripada Inggris?[24]
  2. Bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol?
  3. Bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu?[25]

Metode Penelitian Geertz

Secara tersurat –sebagaimana ditulis Parsudi Suparlan- Geertz memang tidak mengatakan kerangka teori apa yang dipakai. Namun demikian, penelitian lapangan yang dilakukan dalam rangka penyusunan laporan untuk disertasi doktoralnya di Departemen Hubungan Sosial Universitas Harvard ini, tampaknya Geertz menggunakan penelitian kualitatif,[26] dengan pendekatan yang berorientasi hermeneutik, yang belakangan dikenal dengan pendekatan interpretif.[27] Dengan pendekatan interpretif ini, Geertz melihat kebudayaan sebagai sistem pemaknaan yang harus dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol sehingga analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk menelusuri makna,[28] dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang, signifikansi ritual, struktur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan pemikiran.[29]
Adapun untuk mengurai jejaring makna tersebut, Geertz menggunakan teori “Skismatik dan Aliran”. Namun begitu, Teori Skismatik Geertz ini sedikit berbeda dengan teori skismatik-nya Robert Jay, dimana menurut Teori Skismatik Jay, akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.[30]
Clifford Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dan santri dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.[31]
Adapun mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz sendiri, meliputi tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan intensif dalam Bahasa Indonesia di Universitas Harvard, yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam, pada bulan Juli sampai Oktober 1952.
Tahap Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari bahasa Jawa di Yogyakarta dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media untuk memperoleh pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan politik di Jakarta, sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang merupakan masa penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Dalam tahap ini, Geertz beserta istrinya tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota.[32]
Selama berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa pengumpulan data dalam penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan informan khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan kegiatan observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang sering mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan sebagainya.[33]
Dengan demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan ini adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif.

Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz

Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1.      Agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi  --meskipun hal-hal ini juga diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga.  Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global.[34]
Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.[35]
2.      Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
3.      Hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.[36]

Apresiasi untuk Geertz

 Tidak bisa disangkal, Clifford   Geertz sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann:
a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c. Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah.[37]
Kaitannya dengan “trikotomi yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java,[38] karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.
Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.
Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.[39] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.[40]
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula,  kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, dimana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.
Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.”


                                           DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Thufail, Fadjar I., “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam http://fithufail. wordpress.com
Kleden, Ignas, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam http://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
Ma’ruf Jamhari, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”  http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp
Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam www.pdf4free.com
Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam http://www.kompas. com/kompas-cetak/0611/05/seni/3071699.htm
Budiman, Kris, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.ac.idkaryadetail.phpid=12
Thohir, Ajid, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam http://forum.uinsgd.ac.id/showthread.php?t=315
Syam, Nur, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah /20Nursyam.doc.
Veen, Corrie van der, ”Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/forlog/lintas1corrie.htm
Azra, Azyumardi, ”Asia Muslim” dalam http://www.republika.co.id/koran_detail. asp?id=189590
Topan, Moh. Ali, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/news/jurlemlit/9Ali00
www.researchover.com/biographies/Clifford_Geertz-28238.html
Artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam http://www.republika.co.id






[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397
[3] Fadjar I. Thufail, “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam http://fithufail.wordpress.com
[4] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 396
[5] Lihat Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam http://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
[6] Ibid.
[7] Lihat artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam http://www.republika.co.id
[8] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 401
[9] Tradisi ini dirintis oleh Imigran asal Jerman, Franz Boas yang melaksanakan ekspedisi tunggal ke daerah suku-suku bangsa eskimo di pantai Pulau Baffinland pada tahun 1883-1884. Aktifitas-aktifitas ilmiah F. Boas ini, kemudian diikuti oleh Alfred Louis Kroeber, Robert H. Lowie dan masih banyak antropolog lain, sehingga ilmu antropologi Amerika mengalami kemajuan yang pesat dengan penelitian-penelitian yang luas terhadap kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987, hlm. 122-137
[10] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 402 et. seq.
[11] Tampaknya konsep-konsep weber, yang diperkenalkan Parson, mendapatkan tempat di dalam pendekatan interpretatif Geertz terhadap kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari esai-esai dan buku-buku Geertz, dimana tidak ada seorang pun teoritisi sosial yang lebih sering dirujuk Geertz dibandingkan Weber. Lihat Ibid., hlm. 404 et. seq.
[12] Lihat Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”  http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp
[13] Moh. Ali Topan, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/news/jurlemlit/9Ali00  
[14] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[15] Danile L. Pals, Op. Cit., hlm. 398
[16] Geertz mempercayai bahwa sebagian besar kehidupannya ditentukan oleh faktor “kebetulan”.
[17] Lihat Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam www.pdf4free.com
[18] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[19] Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/05/seni/3071699.htm  
[20] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 399
[21] Lihat kata pengantar Parsudi Suparlan dalam  Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, Cet. I, hlm. vii
[22] Ibid., hlm. 6
[23] Ibid., hlm. 5
[24] Ibid., hlm. 9
[25] Ibid., hlm. vii
[26] Penelitian Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, serta tentang fungsionalisasi organisai, pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. Lihat Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997, hlm. 11
[27] Terobosan pendekatan interpretif Geertz dapat disarikan dalam dua hal. Pertama, interpretasi haruslah berdasarkan “deskripsi tebal” (thick description) gejala atau peristiwa sosial. Kedua, tujuan akhir interpretasi adalah menemukan dan memahami pandangan, keyakinan, dan penjelasan aktor sosial dari perspektif aktor itu sendiri. Tujuan ini hanya bisa dicapai apabila peneliti dapat menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat yang ditelitinya. Lihat Fadjar I. Thufail, Loc. Cit.
[28] Kris Budiman, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.ac.idkaryadetail.phpid=12
[29] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 408 et.seq.
[30] Ajid Thohir, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam http://forum.uinsgd. ac.id/showthread.php?t=315     
[31] Ibid.
[32] hlm. 511
[33] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 513
[34] Degung Santikarma, Loc. Cit.
[35] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 475-477
[36] Lihat Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Nursyam.doc.
[37] Lihat Corrie van der Veen, Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/forlog/lintas1corrie.htm  
[38] Istilah The Religion of Java sendiri  pertama kali bukan dari Geertz, tapi konon dari penerbit. Tetapi, Geertz tidak pernah mengoreksi istilah itu menjadi lebih benar, karena apa yang disebut sebagai “agama Jawa” tersebut jelas dalam banyak hal bersumber dari tradisi Islam dan Muslim lokal, yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari “tradisi besar” Islam. Lihat Azyumardi Azra, “Asia Muslim” dalam http://www.republika.co.id/koran-detail. asp?id=189590 
[39] Lihat Harsja W. Bachtiar, “The Religion of Java; Sebuah Komentar”, dalam Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 525 et.seq.
[40] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 16 et.seq.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design