Selasa, 06 Desember 2011

Macam-macam Hadis dan Kriterianya


Hadis telah ditulis sejak masa-masa awal Islam oleh para sahabat. Para sahabat inilah yang kemudian meriwayatkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik mengenai apa yang telah diucapkan, dilakukan, ditetapkan, ataupun himmah Nabi Muhammad SAW.
Dan untuk menjamin bahwa sebuah hadis adalah benar berasal dari Nabi, muhaditsun kemudian mengembangkan disiplin ilmu yang disebut ulum al hadits. Dari disiplin ilmu ini, kemudian diperoleh status apakah sebuah hadits dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud).
Sebuah hadis yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak dapat dijadikan hujah.[1]
Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits hasan, dan hadits hasan.[2]
  1. Hadits Shahih
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad, yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,  dlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.[3]
Dari pengertian di atas, maka suatu hadits dinilai shahih apabila memenuhi syarat:
1.      Rawi-nya bersifat ‘adil, yakni rawi sebuah hadits harus selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan mubah yang dapat menodai muru’ah.[4]
2.      Rawi-nya dlabith, yakni orang yang terpelihara, kuat ingatannya, dan ingatnya lebih banyak daripada kesalahannya. Dlabith ini sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, Dlabith al Shadri, yakni seorang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan pada orang lain. Dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki. Kedua, Dlabith al Kitab, yakni seseorang yang dlabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.[5]
3.      Musnad, yakni muttashil-nya sanad dan marfu’-nya matan. Yang dimaksud dengan muttashil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran pada tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya disandarkan kepada Nabi SAW.[6]
4.      Tanpa ‘illat. ‘illat hadits yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai ke-shahih-an hadits, misalnya; meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap hadits mursal atau hadits munqathi’, atau berupa sisipan yang terdapat pada matan hadits.[7]
5.      Tidak ada kejanggalan. Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad dalam ke-dlabith-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[8]
  1. Hadits Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan.[9]
Dari definisi di atas berarti hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith­-nya (qalil dlabith).
  1. Hadits Dlaif
Hadits Dlaif adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.[10]
Hadits dlaif ini bermacam-macam, dan ke-dlaif-an juga bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi-nya, sanad, atau matan-nya.
Dari segi rawi, sebuah hadits dlaif terdapat didalamnya kecacatan para rawi, baik mengenai ke-‘adil­-an maupun mengenai ke-dlabith­-annya. Misalnya dia pendusta, tertuduh dusta, fasiq, lengah dalam hafalan, atau menyalahi riwayat orang kepercayaan.[11] Yang termasuk dalam kategori hadits dlaif cacat rawi adalah hadits mawdlu’, matruk, munkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudltharib, muharraf, mushahhaf, mubham, mardud, syadz, mukhalith.[12]
Dari segi sanad, sebuah hadits dikatakan dlaif bila sanad-nya tidak bersambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terjadi inqitha’ (gugur rawi) pada sanad. Kecacatan pada sanad ini kemudian muncul istilah hadits mu’allaq, hadits mursal, dan hadits mu’dlal serta hadits munqathi’.[13]
Dari segi matan, sebuah hadits dikatakan dlaif bila bertentangan dengan petunjuk al Qur’an, bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat, bertentangan dengan akal sehat, serta susunannya tidak mencerminkan sabda Nabi.[14]

Jawaban Atas Ikhtilaf Al Hadits

Uraian di atas kiranya dapat menjawab ihktilaf al hadits yang berkaitan dengan keotentikan hadits, sebab sistem periwayatan hadits, baik yang melalui tulisan ataupun lisan sudah berlangsung sejak masa Nabi. Ditambah lagi, sebuah hadits harus melalui seleksi yang begitu ketat, baik yang berkaitan dengan sanad, matan, atau pun sifat para pe-rawi hadits, kiranya sudah sedemikian meyakinkan. Apabila dibandingkan dengan sebuah karya ilmiah kontemporer, hadits juga tidak kalah ilmiahnya, malah bisa dikatakan lebih ilmiah dan lebih dapat dipercaya.
Sebuah karya tulis dikatakan ilmiah bila mampu menunjukkan rujukan atau referensinya, hadits malah lebih dari sekedar menunjukkan referensi. Sebuah hadits dapat dikatakan shahih bila rawi murid dan rawi guru bertemu langsung. Itu pun masih ditambah si rawi harus ‘adil dan dlabith, sebab bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hadits yang diriwayatkannya akan tertolak.
Ketika sebuah hadits sudah memiliki kualifikasi shahih sehingga dapat dipercaya sebagai otentik berasal dari Nabi, haruskah berdebat mengenai pengamalannya? Kaitannya dengan pengamalan hadits kiranya perlu ditelaah firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imron ayat 132:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (آل عمران:       )

Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat (Q.S. Ali ‘Imron: 132).[15]

Menaati Rasul berarti mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan terhadap larangannya, dengan kata lain mengikuti sunnah-nya. Karena itu, segala hadits yang diakui shahih wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat Islam, sama halnya dengan keharusan mengikuti al Qur’an, sebab hadits merupakan interpretasi (bayan) dari al Qur’an.
Kemudian, bahwa hadits merupakan pedoman hidup yang harus diikuti, hal ini berdasarkan Nabi sendiri, yaitu:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتى (رواه الحاكم عن ابى هريرة)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat sesudahnya, yakni: Kitabullah dan Sunnahku(H.R. al Hakim dari Abu Hurairah)

Selanjutnya, seandainya kita menolak secara keseluruhan, niscaya kita tidak tahu cara mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, dan lain sebagainya. Dengan argumen demikian, maka dengan sendirinya ikhtilaf tentang penerimaan hadits dapat terjawab.
Masalah lain adalah ikhtilaf tentang pengamalan hadits maqbul, yaitu apabila ada dua hadits maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah:
  1. Men-jama’-kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
  2. Dicari rajih-marjuh­-nya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan. Dari segi ini ada tiga pandangan:
1)      Dari segi sanad (’itibar sanad);
a)      Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b)      Rawi sahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi sahabat kecil.
c)      Rawi yang tsiqah lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqah.
2)      Dari segi matan (‘itibar matan);
a)      Hadits yang mempunyai arti hakikat me-rajih-kan hadits yang mempunyai arti majazi.
b)      Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi me-rajih-kan hadits  yang hanya mempunyai petunjuk maksud arti satu segi.
c)      Matan hadits qauli me-rajih yang fi’li.
3)      Dari segi hasil penunjukan (madlul). Madlul yang mutsbit (positif) me-rajih-kan yang naïf (negatif).
  1. Dicari nasikh-mansukh-nya, yang nasikh diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan. Adapun cara nasakh adalah sebagai berikut:
1)      Penjelasan Syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi).
2)      Penjelasan dari sahabat, mereka menyaksikan wurud-nya hadits.
3)      Diketahui masa wurud-nya hadits:
a)      Terdapat kata-kata ibtida’ atau awal.
b)      Terdapat kata-kata qabliyah.
c)      Terdapat kata-kata ba’diyah.
d)     Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu ; sebulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
  1. Di-tawaquf-kan bila tidak bisa di-jama’, di-tarjih, dan di-nasakh. Hadits-nya tidak diamalkan.[16]  
Adapun ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits ahad sebagai dasar tasyri’ Jumhur ulama’ berpendapat Hadits ahad walaupun bersifat dzan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi pegangan sejak masa Nabi dan sahabat. Maka dengan ijma’-nya bersifat qath’i.[17]
Ikhtilaf yang lain adalah meriwayatkan (untuk ber-hujjah) terhadap hadits dlaif gharib (tidak ada syahid dan mutabi’) dan tidak mawdlu’. Dalam hal ini Abu Bakar Ibn ‘Arabi melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk ber-hujjah dengan hadits dlaif, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal.
Sedangkan Ahmad Ibn Hanbal, Abdurrahman Ibn Mahdi, dan Abdullah Ibn al Mubarrak membolehkan periwayatan dan penggunaan hadits dla’if untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum syari’at dan aqidah. Namun, Imam Nawawi menambahkan, bila hendak menukilkan hadits dla’if tanpa menyebutkan sanad-nya dan juga hendaknya jangan memakai sighat jazm, seperti qala, fa’ala, ataupun amara Rasulullah kadza wa kadza.[18]  

Penutup

Kedudukan hadits sebagai dasar ajaran Islam, mengalami persepsi dan pandangan bervariasi, baik dikalangan umat Islam sendiri maupun pandangan dari luar umat Islam. Problematika ini bersumber dari aspek sejarah periwayatan hadits dan karena kondisi kualitas hadits itu sendiri. Disinilah letak pentingnya memahami kaidah atau kriteria yang digunakan Muhaditsun dalam menyeleksi hadits.
Meskipun tidak sempurna, Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjawab problematika-problematika hadits, mulai dari masalah keotentikan hadits yang Penulis paparkan melalui sistem periwayatan hadits serta ketatnya standard mengenai hadits agar dapat dikategorikan hadits yang dapat diterima. Selain itu, Penulis juga berusaha memaparkan ikhtilaf mengenai pengamalan hadits ahad, hadits dla’if, dan juga tentang dua hadits maqbul yang saling berlawanan.  Untuk itu, saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Wallahu a’lam bi shawab……… !!


DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997
Shalih, Subhi, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004


[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 139
[2] Subhi Shalih, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965, hlm. 141
[3] Ibid., hlm. 145
[4] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 140
[5] Ibid., hlm. 141
[6] Ibid., hlm. 142
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Subhi Shalih, Op. Cit., hlm. 156
[10] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 143
[11] Ibid., hlm. 145-146
[12] Ibid., hlm. 177
[13] Ibid., hlm. 149 et.seq.
[14] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996, hlm. 9
[15] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 84
[16] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 161 et.seq
[17] Ibid., hlm. 106
[18] Ibid., hlm. 163

Minggu, 04 Desember 2011

Imam Tirmidzi; Perannya Dalam Pengembangan Hadits


Kitab hadits Imam Tirmidzi yang dikenal dengan Sunan al Tirmidzi merupakan salah satu dari kitab standard hadits (kutub al hadits al sittah). Kitab ini disusun dengan sistematika pembahasan fiqh, disamping juga memuat berbagai aspek ilmu agama yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat Islam, yaitu aq’id, ahkam, riqaq, ‘adah, tafsir, tawarikh wa al siyar, fitan, manaqib, dan masalib.
Dengan demikian, kajian terhadap Imam Tirmidzi ini dapat dikatakan merupakan kajian terhadap salah satu Ulama’ hadits terbesar dalam sejarah Islam, bagaimana ia menghadapi perkembangan ilmu keislaman yang pada masanya sedang mengalami kemajuan pesat, untuk dapat diteladani generasi masa kini.
Imam Tirmidzi telah mengintegrasikan dengan baik sekali dalam kitabnya, antara kajian hadits dan fiqh. Dalam kitabnya itu, Imam Tirmidzi menjelaskan derajat-derajat hadits yang dimuat, seperti hadits-hadits shahih, hasan, dan dla’if. Dalam kitabnya itu pula, yang di dalamnya terkandung hukum fiqh, Imam Tirmidzi menyertakan pula pendapat-pendapat para ulama’ dri berbagai madzhab, baik yang telah disepakati ataupun yang masih diperselisihkan.

Biografi Imam Tirmidzi

Nama lengkap Imam Tirmidzi adalah Abu ‘Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Tsawrah Ibn Musa Ibn al Dhahak al Sulami al Bughi al Tirmidzi. Ia di bangsakan dengan al Sulami karena berasal dari Bani Sulaim, dari Qabilah ‘Aylan, sedangkan al Bughi adalah nama desa tempat Imam Tirmidzi wafat, yakni di Bugh.
Imam Tirmidzi terkenal dengan sebutan Abu ‘Isa, yang ternyata sebagian ulama’ tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang di-takhrij-kan Ibn Abi Syayban bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama Abu ‘Isa yang berarti ayah dari ‘Isa. Dalam hal ini al Qari memberi penjelasan, bahwa yang dilarang itu apabila nama Abu ‘Isa sebagai nama pertama atau nama asli, tetapi apabila hanya sebagai sebutan atau julukan, maka tidak menjadi masalah.[1]
Beberapa Penulis tidak menyebutkan secara pasti kapan Imam Tirmidzi dilahirkan. Tetapi menurut Ahmad Muhammad Syakir sebagaimana yang telah dikutip dari Syaikh Muhammad ‘Abd al Hadi al Sindi, bahwa Imam Tirmidzi lahir pada tahun 207 H. Ini terjadi mungkin akibat dikutip dari Penulis terdahulu. Masalahnya pada zaman dahulu memang sering kali ulama’ sebagai orang yang terkenal, orang besar, dicatat saat wafatnya, tetapi jarang diketahui dan dicatat hari kelahirannya, karena budaya mencatat tanggal lahir bagi seseorang belum memasyarakat.[2]
Imam Tirmidzi dikenal sebagai salah seorang dari para ulama’ yang mendapat asuhan dan didikan khusus dari Imam Bukhari. Dari beliaulah Imam Tirmidzi mempelajari ilmu hadits, mendalami fiqh, serta mengadaklan muadharah sebagaimana kebiasaan para ulama’ pada masa itu.[3]
Dalam memperdalam ilmu dan memperluas pandangan keilmuannya, Imam Tirmidzi juga melakukan pendekatan danbelajar kepada ulama’ hadits terkemuka yang lain, seperti Imam Muslim, bu Dawud Sulayman Ibn al ‘Ash al Sijistani. Dalam hal menyempurnakan kitab ‘Ilal, al Rijal dan Fann (seni) hadits, ia mendapatkan banyak masukan dari Imam ‘Abdullah Ibn Abd al Rahman dan Ibn Zur’ah al Razi.[4]
Berkat kecerdasan dan kepintarannya dalam bidang hadits, Imam Bukhari merasa kagum kepadanya sekaligus mengakui kelebihannya tersebut. Sebagai bukti adanya kekaguman tersebut, ada pernyataan bahwa Imam Tirmidzi memenuhi syarat sebagai yang dapat dijadikan anutan dalam bidang hadits.
Selain Imam Bukhari, Ibnu Hibban al Busti juga mengakui kemapuan Imam Tirmidzi dalam hal menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti hadits, sehingga ia menjadi sumber pengambilan hadits para ulama’ terkenal, termasuk Imam Bukhari ketika menyusun haditsnya. Namun menurut Ibnu Hazm, Imam Tirmidzi adalah sosok yang tidak dikenal oleh para ulama’ (majhul). Meskipun begitu, ulama’ lain berpendapat bahwa anggapan Ibnu Hazm itu tidak mempengaruhi ketokohan Imam Tirmidzi dalam bidang hadits.[5] Bukti yang monumental, yang diakui dan dapat menjadi khazanah Islam ialah kitabnya Jami al Shahih, yang berisikan 3. 956 buah hadits yang meliputi delapan pokok materi, yaitu hukum, sirah Nabi Muhammad, kitab tafsir, akhlaq dan lain-lain.
Imam Tirmidzi juga menulis kitab al Syama’il, yang dikhususkan menjelaskan sifat-sifat  Nabi Muhammad. Kalau kitab Jami’ al Shahih dibahas yang menyangkut unsur pertama, perkataan, kedua, perbuatan dan ketiga, ketetapan Nabi Muhammad SAW, maka kitab al Syama’il ini membahas unsur yang keempat, yaitu sifat-sifat Nabi SAW.[6]
Mengenai karya Imam Tirmidzi, yaitu kitab al Jami’ al Shahih, Ibnu Muhammad Ali Anshari, yang menyatakan bahwa kitab ini memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kedua kitab ini hanya dapat dipahami dan dapat diambil manfaatnya oleh orang-orang yang berilmu luas. Tapi berbeda dengan kedua kitab tersebut, Kitab Shahih Imam Tirmidzi dapat dengan mudah dapat memahami isinya.[7]

Peran Imam Tirmidzi Dalam Pengembangan Hadits

A.    Merumuskan Hadits Hasan
Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam kajian hadits dikenal istilah mardud  dan maqbul. Sebuah hadits yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak dapat dijadikan hujah.[8]
Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits dlaif, dan hadits hasan.[9]
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad, yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adildlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.[10]
Hadits Dlaif adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.[11] Dengan perkataan lain dapat dirumuskan, bahwa hadits dlaif adalah hadits yang diketahui perawi yang menukil hadits itu tertuduh kurang amanah, hafalannya lemah dan diriwayatkan oleh orang yang tidak dikenal.[12]
Dalam hal ditemukan hadits perawinya adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sedangkan hadits-nya masyhur serta tidak ada cacat atau ditemukan hadits­ yang sanad-nya banyak, hanya saja perawinya tidak dikenal, tetapi perawi itu tidak terdapat dalam daftar perawi lemah dan berbohong, maka hadits itudi bawah derajat shahih, tetapi di atas derajat dlaif. Terhadap hadits seperti inilah kemudian Imam Tirmidzi memberi nama hadits tersebut dengan sebutan hadits hasan.[13]
Dengan demikian yang disebut dengan hadits hasan adalah hadits yang dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan.[14]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa istilah hadits hasan muncul dikarenakan adanya husn al dzan (prasangka baik) terhadap perawi hadits, sehingga hadits yang diriwayatkan menjadi hasan, hanya saja tidak sampai pada derajat shahih. Dengan kata lain, hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith­-nya (qalil dlabith).
Dengan demikian Penulis sepakat dengan keterangan yang menyatakan bahwa al Tirmidzi adalah orang pertama yang mempopulerkan pembagian hadits menjadi tiga macam tingkatan, yakni shahih, hasan , dan dlaif.

B.     Isnad dalam Kitab Jami’ al Tirmidzi
Para ulama’ hadits sependapat bahwa yang namanya isnad merupakan sesuatu yang sangat penting dan ilmu yang demikian itu hanya dimiliki oleh umat Islam, agama lain tidak memiliki. Isnad ini merupakan suatu cara pemindahan berita dari orang yang terpercaya kepada orang terpercaya lagi sampai kepada Nabi SAW.[15]
Istilah isnad sendiri baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[16]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.[17]
Ketika isnad dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits, secara tidak langsung, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa pentingnya sistem periwayatan hadits, walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Namun begitu, sistem periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan.
Melihat manfaat isnad yang sangat penting ini,  Imam Tirmidzi kemudian menerapkan ilmu isnad dalam kitab Jami’ al Shahih al Tirmidzi karena manfaat dari ilmu isnad ini antara lain:
a.       Untuk mengetahui rawi masing-masing hadits;
b.      Untuk mengetahui jumlah rawi yang diperselisihkan dan yang disepakati;
c.       Untuk mengetahui rawi yang diperselisihkan, karena adanya penambahan dan pengurangan;
d.      Untuk mengetahui periwayatan karena adanya tambahan penjelasan.
Adapun sistematika yang digunakan oleh Imam Tirmidzi adalah sebagai berikut:
1.      Pengumpulan riwayat hadits dengan cara-cara.
a)      Mengumpulkan beberapa isnad dalam satu matan hadits.
b)      Memperbanyak isnad dalam dalam satu matan.
c)      Masing-masing isnad disebutkan pada masing-masing matan.
d)     Menunjuk kepada isnad hadits, karena sudah terkenal dan tel;ah dimaklumi para ulama’.
2.      Meriwayatkan hadits dengan sistem bab per bab secara terperinci.[18]
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa cara yang dilakukan oleh Imam Tirmidzi ini merupakan pembahasan yang mendalam tentang pemikiran lama yang terpadu dengan pola pikir modern, sebab dengan usaha itu pembahasan yang pendek dalam kitab Jami’ al Shahih al Tirmidzi berarti telah membahas ribuan hadits yang terkumpul berjilid-jilid, dalam waktu yang relatif pendek dari kitab-kitab hadits lain.[19]

C.    Ilmu Mukhtalif Hadits dalam Jami’ Shahih al Tirmidzi
Pembahasan mukhtalif hadits merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dan strategis dalam mempertahankan sunnah dari tanggapan negatif. Oleh karena itu telah ditulis oleh para ulama’ untuk menangkis tanggapan negatif tersebut.
Ilmu mukhtalif hadits adalah pengetahuan yang membahas hadits-hadits yang pada lahirnya tampak adanya pertentangan, baik yang dapat dikompromikan maupun yang yang tidak dapat.[20]
Imam Tirmidzi juga telah membahas dengan bagus sekali dengan dasar ilmunya yang mendalam, yang merupakan seni yang menyempurnakan ilmu ulama’ dalam memadukan ilmu riwayah, dirayah, dan akal. Dalam hal menghadapi hadits  yang muhkatalif, Imam Tirmidzi telah menggunakan dua pendekatan.
1.      Melakukan penelitian terhadap permasalahan yang menjadi dasar ikhtilaf pada kedua hadits,
2.      Mengadakan kompromi terhadap dua hadits yang pada lahirnya terdapat pertentangan.[21]
Langkah yang diambil Imam Tirmidzi, memang belumlah sempurna. Namun begitu, kalau kita melihatnya dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh ulama’ pada masa itu, tampak bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Tirmidzi ini cukup brilian, dimana Imam Tirmidzi ini lebih menitik beratkan pada kebenaran material dari hadits yang dibahas. Hal ini berbeda dengan apa yang dibuat oleh Imam Syafi’i yang lebih menitik beratkan pada suatu tolok ukur baik al Qur’an, hadits, maupun pendapat ulama’.[22]
Secara umum langkah yang diambil apabila ada dua hadits maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah:
  1. Men-jama’-kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
  2. Dicari rajih-marjuh­-nya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan. Dari segi ini ada tiga pandangan:
1)      Dari segi sanad (’itibar sanad);
a)      Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b)      Rawi sahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi sahabat kecil.
c)      Rawi yang tsiqah lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqah.
2)      Dari segi matan (‘itibar matan);
a)      Hadits yang mempunyai arti hakikat me-rajih-kan hadits yang mempunyai arti majazi.
b)      Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi me-rajih-kan hadits  yang hanya mempunyai petunjuk maksud arti satu segi.
c)      Matan hadits qauli me-rajih yang fi’li.
3)      Dari segi hasil penunjukan (madlul). Madlul yang mutsbit (positif) me-rajih-kan yang naïf (negatif).
  1. Dicari nasikh-mansukh-nya, yang nasikh diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan. Adapun cara nasakh adalah sebagai berikut:
1)      Penjelasan Syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi).
2)      Penjelasan dari sahabat, mereka menyaksikan wurud-nya hadits.
3)      Diketahui masa wurud-nya hadits:
a)      Terdapat kata-kata ibtida’ atau awal.
b)      Terdapat kata-kata qabliyah.
c)      Terdapat kata-kata ba’diyah.
d)     Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu ; sebulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
  1. Di-tawaquf-kan bila tidak bisa di-jama’, di-tarjih, dan di-nasakh. Hadits-nya tidak diamalkan.[23] 

D.    Ilmu Periwayatan Hadits dalam Jami’ Shahih al Tirmidzi
Sebagaimana diketahui ilmu periwayatan hadits merupakan pengetahuan yang menerangkan sifat-sifat perawi hadits, yakni mengenai ketaatan dan ketaqwaan mereka terhadap perintah Allah, yang disebut dengan al ‘adalah, termasuk di dalamnya menghafal dan mengingat hafalannya, yang disebut dengan al dlabith. Sifat-sifat itu disebut ta’dil, sedangkan perawi yang tidak masuk kategori ‘adil dan dlabith, maka perawi tersebut diangap jarh. Dan ddalam sejarah ilmu hadits, ilmu periwayatan ini kemudian tumbuh menjadi ilmu al jarh wa al ta’dil.
Imam Tirmidzi mengembangkan ilmu al jarh wa al ta’dil dengan menulis kitab ‘Ilal sebagai “saka guru” dari ilmu itu, yang menjadi dasar ikutan tentang kriteria di atas. Imam Tirmidzi ini terkenal dengan pendapatnya yang keras, yang tersebut dalam ‘Ilal-nya itu bahwa mencela kepada orang itu diperbolehkan. Dan ia juga menolak orang yang tidak setuju. Ia juga mencela beberapa ulama’ hadits.
Berdasarkan sumber-sumber dari ahli hadits dan hasil penelitiannya, Imam tirmidzi menyimpulkan empat hal kaitannya dengan al jarh wa al ta’dil, yaitu:
1.      Beberapa ulama’ salaf yang termasuk ta’dil, seperti Hasan al Bashri, Syu’bah Ibn al Hajaj, Malik, Waqi’, Abd al Rahma Ibn Mahdi. Mereka ini disebut Imam Tirmidzi sebagai orang-orang yang taqwa, yang selalu menghidari perbuatan yang haram, sehingga periwayatannya dapat dijadikan hujjah.
2.      Mencela dan memuji yang dilakukan ulama’ merupakan nasehat bagi kaum muslimin. Menurut Imam Tirmidzi, hal ini bukan untuk merongrong kewibawaan, dan menyebar aib manusia, namun karena adanya hadits al din al nashihah. Oleh karenanya dibenarkan membicarakan pelaku isnad hadits.
3.      Kesaksian dalam masalah agama, menurut Imam Tirmidzi lebih berhak untuk dikuatkan daripada kesaksian harta.
4.      Menurut Imam Tirmidzi, ahli bid’ah tidak disebut sebagai perawi, bahkan wajib dicegah dan tidak diakui sebagai saksi.[24]
Demikianlah beberapa peranan yang dimainkan oleh Imam Tirmidzi dalam pengembangan studi hadits, yang manfaatnya masih tetap bisa kita rasakan sampai saat ini, dan juga pada masa-masa yang akan datang.

Kesimpulan

Dari uraian tentang Peran Imam Tirmidzi dalam pengembangan studi hadits di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Imam Tirmidzi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah hadits hasan, yakni hadits yang dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan. Dengan demikian istilah hadits hasan ini hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith­-nya (qalil dlabith).
  2. Sistematika isnad yang  digunakan oleh Imam Tirmidzi ini merupakan pemikiran lama yang terpadu dengan pola pikir modern, sebab dengan usaha itu pembahasan yang pendek dalam kitab Jami’ al Shahih al Tirmidzi telah membahas ribuan hadits yang terkumpul berjilid-jilid, dalam waktu yang relatif pendek dari kitab-kitab hadits lain.
  3. Dalam menghadapi ikhtilaf al hadits, Imam Tirmidzi menggunakan dua macam pendekatan, yaitu melakukan penelitian terhadap permasalahan yang menjadi dasar ikhtilaf pada kedua hadits serta mengadakan kompromi terhadap dua hadits yang pada lahirnya terdapat pertentangan.
  4. Imam Tirmidzi mengembangkan ilmu al jarh wa al ta’dil dengan menulis kitab ‘Ilal sebagai “saka guru” dari ilmu itu. Imam Tirmidzi juga terkenal dengan pendapatnya yang keras, bahwa mencela kepada orang itu diperbolehkan. Dan ia juga menolak orang yang tidak setuju. Selain itu dia juga mencela beberapa ulama’ hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Sutarmadi, Ahmad, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997
‘Itr, Nur al Din, al Imam al Tirmidzi, Mesir: Lajnah Ta’lif wa Tarjamah wa al Nasyr, 1970
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002
Shalih, Subhi, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965
Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000
Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003


[1] Ahmad Sutarmadi, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998, hlm. 49 et. Seq.
[2] Ibid., hlm. 52
[3] Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 312
[4] Nur al Din ‘Itr, al Imam al Tirmidzi, Mesir: Lajnah Ta’lif wa Tarjamah wa al Nasyr, 1970, hlm. 64
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hlm. 105
[6] Ahmad Sutarmadi, Op. Cit., hlm. 64
[7] Endang SOetari, Op. Cit., hlm. 313
[8] Ibid., hlm. 139
[9] Subhi Shalih, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965, hlm. 141
[10] Ibid., hlm. 145
[11] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 143
[12] Ahmad Sutarmadi, Op. Cit., hlm. 94
[13] Ibid.
[14] Subhi Shalih, Op. Cit., hlm. 156
[15] Nur al Din ‘Itr, Op. Cit., hlm. 71
[16] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 120
[17] Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah menyeleksi tidak kurang 600.000 hadits, kemudian disaringnya menjadi sekitar 4.000 hadits yang dianggap shahih. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 164 et.seq.
[18] Ahmad Sutarmadi, Op. Cit., hlm. 110
[19] Ibid., hlm. 122
[20] Ibid.
[21] Ibid., hlm. 125
[22] Ibid.
[23] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 161 et.seq
[24] Ibid., hlm. 133 et. Seq.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design