Rabu, 06 Februari 2013

Polemik Nikah Sirri dan Itsbat Nikah

Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 Oktober  1975, namun sampai saat ini ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2)  tentang   pencatatan   perkawinan masih banyak dilanggar. Masih banyak umat Islam yang melakukan praktik kawin atau nikah sirri, yakni tidak mencatatkan perkawinannya pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama   sehingga tidak mempunyai kutipan akta nikah atau buku nikah yang menjadi bukti otentik terjadinya perkawinan.
Praktik kawin atau nikah sirri ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena faktor ketidaktahuan dan ketidaksadaran akan pentingnya dokumen perkawinan maupun karena adanya maksud untuk memanfaatkan celah hukum bagi mereka yang akan melangsungkan poligami, atau menjaga kelangsungan tunjangan suami bagi wanita yang telah bercerai, atau seorang istri takut tunjangannya sebagai istri Pegawai Negeri Sipil yang ditinggal mati oleh suaminya hilang, dan atau karena masalah biaya pencatatan perkawinan  bagi mereka yang tidak mampu.
Di samping faktor tersebut di atas, di kalangan umat Islam  masih ada yang berpegang teguh pada pemahaman bahwa perkawinan sudah sah apabila dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam, tidak perlu ada pencatatan dan tidak perlu ada surat  atau akta nikah,  sehingga perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri pun tumbuh subur, seiring dengan tidak adanya sikap  proaktif  Pegawai  Pencatat  Nikah  Kantor  Urusan  Agama    untuk  mengawasi  setiap peristiwa nikah yang ada di wilayahnya.
Pengertian Nikah Sirri
Kata “sirri”  dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab sirrun yang berarti secara diam- diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia, secara sembunyi-sembunyi, atau misterius. Jadi nikah sirri berarti nikah secara rahasia (secret marriage, pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak).
Menurut Prof. DR. Mahmud Syalthut,   mantan   Rektor Universitas al-Azhar di Kairo Mesir,  berpendapat  bahwa  nikah  sirri  merupakan  jenis  pernikahan di mana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan),  tidak  tercatat  secara  resmi,  dan  sepasang  suami  isteri  itu  hidup  secara  sembunyi- sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua yang mengetahuinya. Fuqaha berpendapat nikah sirri seperti ini tidak sah (batal), karena ada satu unsur syarat sah nikah yang tidak terpenuhi yakni kesaksian. Jika dalam transaksi akad dihadiri dua orang saksi dan dipublikasikan secara umum, maka nikahnya tidak disebut sirri dan sah menurut syariat. Namun jika kehadiran para saksi berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, fuqaha’ sepakat akan kemakruhannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan kawin sirri  atau nikah di bawah tangan adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perturan perundang-undangan.” Demikian pula pendapat Prof. H.A. Wasit Aulawi, menyebutkan bahwa “nikah  sirri” adalah  pernikahan  yang  belum  diresmikan,  belum  diumumkan secara terbuka kepada masyarakat atau pernikahan yang belum dicatatkan pada lembaga pencatatan. Ini bisa dua-duanya, belum diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, atau mungkin hanya salah satunya saja, yaitu sudah dicatat tapi belum diadakan resepsi pernikahan.
H. Wildan Suyuti Mustofa, Ketua PTA Semarang dalam Mimbar Hukum No. 28 Tahun 1996 menulis, nikah sirri dapat dibedakan kepada dua jenis. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh  seorang  laki-laki  dan  seorang  perempuan tanpa  hadirnya  orangtua/wali si perempuan. Dalam perkawinan bentuk pertama ini akad nikah hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang  akan  melakukan  akad  nikah,  dua  orang  saksi,  dan  guru  atau  ulama (kiyai) yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. Padahal guru atau ulama (kiyai) tersebut dalam pandangan hukum  Islam tidak  berwenang menjadi  wali nikah karena ia tidak termasuk dalam prioritas  wali nikah.
Kedua, adalah akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak Undang-Undang Perkawinan di Indonesia.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal. Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat diidentifikasi sebagai perkawinan sirri. Tiga indikator itu adalah : Pertama,  subyek hukum akad nikah, yang terdiri calon suami, calon istri, dan wali nikah yaitu orang yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat nikah dilangsungkan. Ketiga, walimatulursy, yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat diklasifikasi   sebagai kawin atau nikah sirri apabila  unsur kedua dan ketiga tidak   terpenuhi, yaitu perkawinan tidak dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Kawin atau nikah sirri tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah, baik dari aspek hukum Islam maupun hukum positif. Jika dikatakan bahwa  perkawinan yang sah adalah perkawinan  yang  telah  memenuhi  syarat  dan  rukun  perkawinan  sebagaimana  diatur  dalam hukum Islam maupun hukum positif. Hal itu karena Pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan perkawinan itu. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan apabila telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam maupun hukum positif adalah sah menurut hukum Islam dan hukum positif. Tapi karena perkawinan itu tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah sehingga dikatakan sebagai nikah atau kawin sirri.
Nikah sirri kategori pertama yang dikatakan oleh Wildan Suyuti Mustofa di atas, yaitu perkawinan yang tidak dihadiri oleh wali nikah, sulit untuk dilegalkan dan tidak mempunyai landasan hukum.
Di masyarakat seringkali terjadi kawin sirri dilakukan di hadapan kiyai, guru atau modin. Pada saat perkawinan dilangsungkan yang menjadi wali nikah adalah kiyai, guru atau modin, sementara orangtua/wali nikah dari perempuan tidak memberikan delegasi untuk menikahkan anak perempuannya. Perkawinan semacam ini jelas tidak sah karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu tidak ada wali nikah.
Mengenai masalah pencatatan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah menentukan keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam karena pencatatan perkawinan hanya menyangkut masalah administratif. Namun demikian, suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatatan Nikah, suami istri tersebut tidak akan memiliki buku nikah sebagai bukti otentik terjadinya perkawinan sehingga perkawinannya secara yuridis tidak diakui pemerintah, tidak mempunyai kepastian hukum dan perlindungan hukum dari Negara.
Itsbat Nikah
Untuk memberikan legitimasi nikah  sirri atau perkawinan yang tidak dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang sering disebut  dengan  pengesahan nikah  adalah kewenangan Pengadilan Agama yang  merupakan perkara voluntair. Perkara voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon saja. Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena tidak ada pihak lawan atau tidak obyek hukum yang disengketakan.
Dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah dirubah  dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi absolute Pengadilan Agama di antaranya adalah Itsbat Nikah, yaitu pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis dari itsbat nikah  terdapat di dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Dari ketentuan tersebut, dapat  dirumuskan bahwa kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang itsbat nikah adalah perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama sekarang ini pada umumnya  sekitar 95%  adalah  perkawinan  yang  dilangsungkan pasca  berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak dicatatkan/nikah sirri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diitsbatkan hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karenanya ketentuan tersebut, tidak memberi sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam (terpenuhi syarat dan dan rukunnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan itu tidak boleh diitsbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a.     Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan;
b.     Hilangnya akta nikah;
c.     Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.     Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
e.     Perkawinan  yang  dilakukan  oleh  mereka  yang  tidak  mempunyai  halangan  perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dalam praktik beracara di Pengadilan Agama, hakim pada umumnya langsung menerapkan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tanpa menguji kekuatan keberlakukan KHI di hadapan undang-undang. Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 7 Ayat  (3) huruf a di atas sulit dipahami, tetapi mayoritas hakim Pengadilan Agama dengan penafsiran yang kabur memahami ketentuan Ayat (3) huruf a tersebut, seolah-olah merupakan keharusan untuk menerima permohonan itsbat nikah jika diajukan dengan dikumulasi gugatan perceraian,  walaupun  perkawinan  itu dilakukan setelah berlakunnya Undang-Undang No. 1 Tahun  1974.  Demikian juga ketika hakim memahami ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam jika ditinjau dari hierarki peraturan perundang- undangan seperti yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan, Kompilasi  Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dan kedudukannya jauh di bawah undang-undang. Ketentuan Inpres tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.  Apabila Inpres (KHI) bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang lebih tinggi, maka Inpres tidak dapat dijalankan. Hal ini sesuai dengan asas “Lex Superior Dragot lex Inferior” (ketentuan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum di bawahnya).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan di atas, bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan organiknya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku secara efektif sejak 1 Oktober 1975, maka sejak tanggal tersebut semua perkawinan harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang perkawinan tersebut. Perkawinan yang dilakukan setelah tanggal tersebut, tetapi tidak mengikuti ketentuan undang-undang tersebut, maka perkawinan itu tidak mendapatkan kepastian hukum dan diakui oleh  pemerintah.
Secara yuridis, jika perkawinan tersebut diajukan permohonan itsbat  nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan tersebut harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim, berarti pengadilan agama telah meligitimasi dan mengakui perkawinan yang melawan hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika diajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, hakim yang memeriksa permohonan   tersebut, harus cermat meneliti apakah perkawinan yang dimohonkan untuk di-itsbat-kan itu dilaksanakan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang ditentukan dalam hukum Islam atau tidak. Jika dalam pemeriksaan di persidangan tidak terbukti bahwa perkawinan itu dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, hakim wajib menolak permohonan itsbat nikah itu, walaupun diajukan dalam rangka menyelesaikan perceraian. Sebab bagaimana mungkin hakim menyatakan sahnya suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, seharusnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf (e) KHI tersebut memberi kriteria yang jelas dan tegas, bahwa perkawinan yang dapat dimohonkan itsbat-nya ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Perkawinan yang dilakukan setelah Undang-undang No.1 Tahun 1974 diundangkan yang tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah, dapatkah  di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama?
Jawabnya: tidak dengan argumentasi: Secara yuridis ketentuan Pasal 49  huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, hanya memberi izin kepada Pengadilan Agama untuk meng-itsbat-kan perkawinan yang dilakukan sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diundangkan. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan tapi perkawinan mereka tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, hal itu menjadi indikator bahwa mereka tidak patuh dan tidak taat hukum untuk mencatatkan perkawinannya. Terhadap perkawinan yang demikian, hukum tidak melindungi dan tidak diakui oleh pemerintah. Oleh karena itu, apabila mereka mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka hakim harus menolaknya karena tidak ada landasan yang logis  secara hukum untuk mengabulkannya.
Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, berarti melegitimasi dan mengakui perkawinan yang melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) itu dapat di-itsbat-kan oleh Pengadilan Agama.
Kesimpulan
Dari paparan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan :
1.    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 Ayat (2) hurup a angka 22 dan penjelasannya, hanya mengizinkan kepada Pengadilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang ditentukan dalam Hukum Islam.
2.    Ketentuan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan landasan hukum oleh hakim dalam melakukan Itsbat Nikah   terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sangatlah lemah karena KHI tidak termasuk  dalam  hierarki  peraturan  perundang-undangan  sebagaimana  diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan.
3.    Nikah sirri setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974, sebagai sebagai indikator ketidakpatuhan  dan ketidaktaatan terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) undang-Undang 1974, mengitsbatkannya akan menumbuhsuburkan praktik nikah sirri di masyarakat.
4.    Bila itsbat nikah dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada para pencari keadilan, maka diperlukan payung hukum yang kuat bagi Pengadilan Agama untuk melakukannya dengan mengamandemen ketentuan Pasal 49  Ayat (2) huruf a angkat 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA :
Abdul Hayyi, Muhammad, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Al-Azhar, Makatabah Nashir.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, Dar-Alfikr.
Halim, Abd., Studi Hukum Perkawinan Islam Kontemporer,  Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008.
Shomad, Abd., Hukum Islam : Penerapan Prinsip Syari’ah dan Hukum Islam,   Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-masalah Krusial), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995.
Zien, Satria Egendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mimbar Hukum No. 23 Tahun 1996 dan No.. 28 Tahun 1996.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
UU No. 3 Tahun 2006
UU No. 50 Tahun 2009
Penulis: Drs. H. Abd. Rasyid As’ad, MH. (Hakim Pengadilan Agama Mojokerto)

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design