Selasa, 06 Desember 2011

Macam-macam Hadis dan Kriterianya


Hadis telah ditulis sejak masa-masa awal Islam oleh para sahabat. Para sahabat inilah yang kemudian meriwayatkan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik mengenai apa yang telah diucapkan, dilakukan, ditetapkan, ataupun himmah Nabi Muhammad SAW.
Dan untuk menjamin bahwa sebuah hadis adalah benar berasal dari Nabi, muhaditsun kemudian mengembangkan disiplin ilmu yang disebut ulum al hadits. Dari disiplin ilmu ini, kemudian diperoleh status apakah sebuah hadits dapat diterima (maqbul) ataupun ditolak (mardud).
Sebuah hadis yang dinyatakan  maqbul  dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengalaman syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al Qur’an, sedangkan hadits mardud merupakan hadits yang ditolak sehingga tidak dapat dijadikan hujah.[1]
Ditinjau dari segi maqbul dan mardud diatas, hadits dapat dibagi menjadi hadits shahih, hadits hasan, dan hadits hasan.[2]
  1. Hadits Shahih
Hadits Shahih adalah hadits yang musnad, yakni muttashil-nya sanad, yang dinukil oleh rawi-rawi yang ‘adil,  dlabith, sehingga sampai kepada Rasulullah atau orang yang bertemu Rasulullah (sahabat atau bukan sahabat), serta tidak ber-‘illat dan tidak janggal.[3]
Dari pengertian di atas, maka suatu hadits dinilai shahih apabila memenuhi syarat:
1.      Rawi-nya bersifat ‘adil, yakni rawi sebuah hadits harus selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan mubah yang dapat menodai muru’ah.[4]
2.      Rawi-nya dlabith, yakni orang yang terpelihara, kuat ingatannya, dan ingatnya lebih banyak daripada kesalahannya. Dlabith ini sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, Dlabith al Shadri, yakni seorang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan pada orang lain. Dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki. Kedua, Dlabith al Kitab, yakni seseorang yang dlabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.[5]
3.      Musnad, yakni muttashil-nya sanad dan marfu’-nya matan. Yang dimaksud dengan muttashil atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat dari keguguran pada tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’, artinya disandarkan kepada Nabi SAW.[6]
4.      Tanpa ‘illat. ‘illat hadits yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai ke-shahih-an hadits, misalnya; meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap hadits mursal atau hadits munqathi’, atau berupa sisipan yang terdapat pada matan hadits.[7]
5.      Tidak ada kejanggalan. Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad dalam ke-dlabith-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[8]
  1. Hadits Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang dinukil oleh rawi yang kurang sempurna ke-dlabith-annya, tetapi selamat dari ‘illat dan kejanggalan.[9]
Dari definisi di atas berarti hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya dalam soal ke-dlabith-an rawi. Hadits shahih rawi-nya sempurna dlabith-nya (tam dlabith), sedangkan hadits hasan rawi-nya kurang sempurna dlabith­-nya (qalil dlabith).
  1. Hadits Dlaif
Hadits Dlaif adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadits hasan. Pengertian yang lain menyebutkan bahwa hadits dlaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.[10]
Hadits dlaif ini bermacam-macam, dan ke-dlaif-an juga bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi-nya, sanad, atau matan-nya.
Dari segi rawi, sebuah hadits dlaif terdapat didalamnya kecacatan para rawi, baik mengenai ke-‘adil­-an maupun mengenai ke-dlabith­-annya. Misalnya dia pendusta, tertuduh dusta, fasiq, lengah dalam hafalan, atau menyalahi riwayat orang kepercayaan.[11] Yang termasuk dalam kategori hadits dlaif cacat rawi adalah hadits mawdlu’, matruk, munkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudltharib, muharraf, mushahhaf, mubham, mardud, syadz, mukhalith.[12]
Dari segi sanad, sebuah hadits dikatakan dlaif bila sanad-nya tidak bersambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru, sehingga terjadi inqitha’ (gugur rawi) pada sanad. Kecacatan pada sanad ini kemudian muncul istilah hadits mu’allaq, hadits mursal, dan hadits mu’dlal serta hadits munqathi’.[13]
Dari segi matan, sebuah hadits dikatakan dlaif bila bertentangan dengan petunjuk al Qur’an, bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat, bertentangan dengan akal sehat, serta susunannya tidak mencerminkan sabda Nabi.[14]

Jawaban Atas Ikhtilaf Al Hadits

Uraian di atas kiranya dapat menjawab ihktilaf al hadits yang berkaitan dengan keotentikan hadits, sebab sistem periwayatan hadits, baik yang melalui tulisan ataupun lisan sudah berlangsung sejak masa Nabi. Ditambah lagi, sebuah hadits harus melalui seleksi yang begitu ketat, baik yang berkaitan dengan sanad, matan, atau pun sifat para pe-rawi hadits, kiranya sudah sedemikian meyakinkan. Apabila dibandingkan dengan sebuah karya ilmiah kontemporer, hadits juga tidak kalah ilmiahnya, malah bisa dikatakan lebih ilmiah dan lebih dapat dipercaya.
Sebuah karya tulis dikatakan ilmiah bila mampu menunjukkan rujukan atau referensinya, hadits malah lebih dari sekedar menunjukkan referensi. Sebuah hadits dapat dikatakan shahih bila rawi murid dan rawi guru bertemu langsung. Itu pun masih ditambah si rawi harus ‘adil dan dlabith, sebab bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hadits yang diriwayatkannya akan tertolak.
Ketika sebuah hadits sudah memiliki kualifikasi shahih sehingga dapat dipercaya sebagai otentik berasal dari Nabi, haruskah berdebat mengenai pengamalannya? Kaitannya dengan pengamalan hadits kiranya perlu ditelaah firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imron ayat 132:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (آل عمران:       )

Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat (Q.S. Ali ‘Imron: 132).[15]

Menaati Rasul berarti mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan terhadap larangannya, dengan kata lain mengikuti sunnah-nya. Karena itu, segala hadits yang diakui shahih wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat Islam, sama halnya dengan keharusan mengikuti al Qur’an, sebab hadits merupakan interpretasi (bayan) dari al Qur’an.
Kemudian, bahwa hadits merupakan pedoman hidup yang harus diikuti, hal ini berdasarkan Nabi sendiri, yaitu:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتى (رواه الحاكم عن ابى هريرة)
Artinya: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat sesudahnya, yakni: Kitabullah dan Sunnahku(H.R. al Hakim dari Abu Hurairah)

Selanjutnya, seandainya kita menolak secara keseluruhan, niscaya kita tidak tahu cara mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan haji, dan lain sebagainya. Dengan argumen demikian, maka dengan sendirinya ikhtilaf tentang penerimaan hadits dapat terjawab.
Masalah lain adalah ikhtilaf tentang pengamalan hadits maqbul, yaitu apabila ada dua hadits maqbul nilainya, namun saling berlawanan lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah:
  1. Men-jama’-kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
  2. Dicari rajih-marjuh­-nya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang marjuh ditinggalkan. Dari segi ini ada tiga pandangan:
1)      Dari segi sanad (’itibar sanad);
a)      Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b)      Rawi sahabat besar lebih kuat (rajih) daripada rawi sahabat kecil.
c)      Rawi yang tsiqah lebih kuat (rajih) daripada rawi yang kurang tsiqah.
2)      Dari segi matan (‘itibar matan);
a)      Hadits yang mempunyai arti hakikat me-rajih-kan hadits yang mempunyai arti majazi.
b)      Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi me-rajih-kan hadits  yang hanya mempunyai petunjuk maksud arti satu segi.
c)      Matan hadits qauli me-rajih yang fi’li.
3)      Dari segi hasil penunjukan (madlul). Madlul yang mutsbit (positif) me-rajih-kan yang naïf (negatif).
  1. Dicari nasikh-mansukh-nya, yang nasikh diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan. Adapun cara nasakh adalah sebagai berikut:
1)      Penjelasan Syar’i sendiri (melalui pernyataan Nabi).
2)      Penjelasan dari sahabat, mereka menyaksikan wurud-nya hadits.
3)      Diketahui masa wurud-nya hadits:
a)      Terdapat kata-kata ibtida’ atau awal.
b)      Terdapat kata-kata qabliyah.
c)      Terdapat kata-kata ba’diyah.
d)     Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu ; sebulan sebelum, sebulan sesudah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.
  1. Di-tawaquf-kan bila tidak bisa di-jama’, di-tarjih, dan di-nasakh. Hadits-nya tidak diamalkan.[16]  
Adapun ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits ahad sebagai dasar tasyri’ Jumhur ulama’ berpendapat Hadits ahad walaupun bersifat dzan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi pegangan sejak masa Nabi dan sahabat. Maka dengan ijma’-nya bersifat qath’i.[17]
Ikhtilaf yang lain adalah meriwayatkan (untuk ber-hujjah) terhadap hadits dlaif gharib (tidak ada syahid dan mutabi’) dan tidak mawdlu’. Dalam hal ini Abu Bakar Ibn ‘Arabi melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk ber-hujjah dengan hadits dlaif, baik untuk menetapkan hukum maupun tentang keutamaan amal.
Sedangkan Ahmad Ibn Hanbal, Abdurrahman Ibn Mahdi, dan Abdullah Ibn al Mubarrak membolehkan periwayatan dan penggunaan hadits dla’if untuk memberi dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum syari’at dan aqidah. Namun, Imam Nawawi menambahkan, bila hendak menukilkan hadits dla’if tanpa menyebutkan sanad-nya dan juga hendaknya jangan memakai sighat jazm, seperti qala, fa’ala, ataupun amara Rasulullah kadza wa kadza.[18]  

Penutup

Kedudukan hadits sebagai dasar ajaran Islam, mengalami persepsi dan pandangan bervariasi, baik dikalangan umat Islam sendiri maupun pandangan dari luar umat Islam. Problematika ini bersumber dari aspek sejarah periwayatan hadits dan karena kondisi kualitas hadits itu sendiri. Disinilah letak pentingnya memahami kaidah atau kriteria yang digunakan Muhaditsun dalam menyeleksi hadits.
Meskipun tidak sempurna, Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjawab problematika-problematika hadits, mulai dari masalah keotentikan hadits yang Penulis paparkan melalui sistem periwayatan hadits serta ketatnya standard mengenai hadits agar dapat dikategorikan hadits yang dapat diterima. Selain itu, Penulis juga berusaha memaparkan ikhtilaf mengenai pengamalan hadits ahad, hadits dla’if, dan juga tentang dua hadits maqbul yang saling berlawanan.  Untuk itu, saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Wallahu a’lam bi shawab……… !!


DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997
Shalih, Subhi, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004


[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 139
[2] Subhi Shalih, ‘Ulum al Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al ‘Ilm li al Malayin, 1965, hlm. 141
[3] Ibid., hlm. 145
[4] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 140
[5] Ibid., hlm. 141
[6] Ibid., hlm. 142
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Subhi Shalih, Op. Cit., hlm. 156
[10] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 143
[11] Ibid., hlm. 145-146
[12] Ibid., hlm. 177
[13] Ibid., hlm. 149 et.seq.
[14] Lihat M. Syuhudi Ismail, Kriteria Hadits Shahih; Kritik Sanad dan Matan, Yogyakarta: LPPI, 1996, hlm. 9
[15] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 84
[16] Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 161 et.seq
[17] Ibid., hlm. 106
[18] Ibid., hlm. 163

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design