Dalam sistem periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai pertama dan paling kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan Nabi SAW. Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara literatur hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu apakah proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk menjamin tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi SAW? Pertanyaan ini membawa kita pada banyak subtopik. Kapankah hadits pertama ditulis? Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis? Apakah penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na) dan bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal untuk melestarikan sunnah?
Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).[1]
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat.
Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
a. Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
b. Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang dinamainya al Shadiqah.
c. Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.[2]
Melihat keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Mungkin lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.[3]
Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[4]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.[5]
Ketika isnad dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits, secara tidak langsung, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa pentingnya sistem periwayatan hadits,[6] walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Namun begitu, sistem periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan.
Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
1. “Sama’ min lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu.
2. “al Qira’ah ‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
3. “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
4. “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
5. “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
6. “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
7. “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kiotab atau tulisan supaya diriwayatkan.
8. “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.[7]
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi, keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup.[8]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.”[9]
Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.[10]
Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa, namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya hadits Nabi:
أ. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا مِنْ مَاءٍ
ب. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
ت. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا
Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil ma’na, dan hal demikian memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah.
Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.[11]
Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin ilmu hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih, hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang hadits shahih, yaitu rawi-nya harus ‘adl, dlabith, sanad-nya bersambung, matan-nya marfu’, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal.[12]
Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan.
Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Soebahar, HM. Erfan, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005
-----------, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997
Ilyas, Yunahar, et. al.(Ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta : LPPI, 1996
[1] Lihat pidato pengukuhan guru besar Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 25 et.seq.
[2] H.M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 164 et.seq.
[3] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 120. bandingkan dengan Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997, hlm. 87
[4] Ibid., hlm. 122
[5] Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah menyeleksi tidak kurang 600.000 hadits, kemudian disaringnya menjadi sekitar 4.000 hadits yang dianggap shahih. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta….Op. Cit., hlm. 146 et.seq.
[6] Sistem ini berkaitan dengan proses penerimaan hadits oleh seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis atau di-tadwin dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 185
[7] Ibid., hlm. 186-189
[8] Daniel W. Brown, Op. Cit., hlm. 118
[9] Yunahar Ilyas, et. al.(Ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta : LPPI, 1996, hlm. 158
[10] Daniel W. Brown, Op. Cit., hlm. 117
[11] Yunahar Ilyas, Op. Cit., hlm. 159-163
[12] Lihat Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 140
[13] Yunahar Ilyas, Op. Cit., hlm. 164
1 komentar:
makasih sudah dijelaskan sistemnya kak
www.axis.co.id
Posting Komentar