Sejauh ini, model keberagamaan masyarakat Muslim dalam ranah hukum, paling tidak dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok orang yang bermadzhab. Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang anti madzhab.
Kelompok orang yang bermadzhab biasanya memandang bahwa hanya madzhabnyalah yang benar, sedangkan madzhab yang lain adalah salah. Bahkan sampai ada yang berpandangan bahwa talfiq hukumnya adalah haram. Contoh misalnya di kalangan masyarakat NU. Meskipun secara organisasi NU mengakui bahwa dalam bidang hukum, mereka mengikuti salah satu madzhab empat. Namun kenyataannya, kitab-kitab yang “beredar” di kalangan pesantren, yang nota benenya adalah basis keilmuan masyarakat NU, adalah kitab-kitab yang berfaham salah satu madzhab saja. Bahkan, ketika seseorang yang 100 % NU pun ketika mengamalkan pendapat dari madzhab lain, maka akan dianggap “nganeh-nganehi” dan bisa saja dituduh mengikuti faham lain yang bukan NU!
Kelompok yang kedua, yaitu yang anti madzhab, menganggap bahwa taqlid kepada madzhab hukumnya haram. Mereka berpandangan bahwa taqlid kepada madzhab sama artinya dengan meninggalkan al Qur’an dan Sunnah. Mereka menyerukan agar semua kaum Muslimin langsung merujuk kepada al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam mengambil hukum syariah walaupun mereka tidak memiliki perangkat-perangkat ilmu untuk sampai kepada derajat mujtahid, sehingga seringkali hukum-hukum yang mereka simpulkan terasa “aneh”. Mereka berani menentang pendapat para Imam madzhab dan mengemukakan pendapat yang sama sekali baru. Ketika ditanya alasannya, mengapa mereka berani bersikap seperti itu, maka dengan bangga mereka berkata, “Mereka (para Imam madzhab) adalah laki-laki dan kami pun laki-laki.”(al Buthi,2001:vii)
Potret keberagamaan masyarakat Muslim dari masa Rasulullah masih hidup hingga munculnya aliran-aliran hukum (madzhab) serta fenomena bermadzhab yang terjadi di masyarakat serta hal-hal yang bersinggungan dengan “permadzhaban” insya Allah akan dikaji dalam makalah ini.
PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB HUKUM
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya dasar dari seluruh struktur hukum Islam adalah religius, yakni ide bahwa Tuhan adalah penguasa yang berdaulat, yang “Perintah dan Kehendak-Nya adalah Hukum.” Manusia harus menemukan, merumuskan dan melaksanakan Kehendak tersebut dengan menjadikan al Qur’an sebagai indeks finalnya serta Muhammad sebagai penafsir sempurnanya.
Sesuai dengan pemikiran tersebut, maka hukum Islam lebih merupakan sebuah sistem “kewajiban-kewajiban” dan “larangan-larangan”. Itulah sebabnya setiap buku tentang hukum Islam selalu diawali dengan pembahasan tentang kewajiban-kewajiban agama. Demikian itu juga yang menyebabkan mengapa secara etika tindakan-tindakan manusia diklasifikasikan dalam lima kategori: (1) Wajib, (2) Sunnah (dipuji), (3) Mubah (diizinkan atau netral), (4) Makruh (sebaiknya dicegah), dan (5) Haram (terlarang).(Rahman, 1997: 114)
Sebenarnya, sewaktu Rasulullah masih hidup, tidak terdapat ilmu yang secara spesifik membahas tentang fiqh dengan segala permasalahannya (yurisprudensi). Rasulullah pun tidak pernah menggolong-golongkan perintah ke dalam wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah sebagaimana dikemukakan teori hukum yang muncul terkemudian. Penggolongan ini merupakan karya para ahli hukum sendiri yang mempelajari berbagai ayat al Qur’an, Hadits dan praktek-praktek yang dilakukan oleh para sahabat dan kaum Muslimin terdahulu.
Menurut para ahli hukum, setiap tindakan harus masuk ke dalam salah satu dari kelima kategori tersebut. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan para sahabat ketika Rasulullah masih hidup. Satu-satunya “ideal” bagi mereka hanyalah perilaku Rasulullah. Mereka belajar wudlu’, menjalankan shalat, menjalankan puasa, zakat, dan haji serta yang lainnya dengan cara mengamati tindakan normatif Rasulullah, dibawah petunjuk langsung Beliau. Tetapi mereka tidak membagi-bagi bagian mana dari tindakan Nabi yang termasuk arkan (rukun-rukun) dan apa yang termasuk adab (sunnah).(Hasan, 1994: 11)
Pada masa Rasulullah, hukum tidaklah kaku dan diterapkan sedemikian kakunya sebagaimana diterapkan pada masa-masa yang terkemudian. Beliau memberikan ruang lingkup yang cukup luas bagi perbedaan pendapat, dengan memberikan perintah-perintah yang bersifat umum, atau dengan mengabsahkan dua tindakan yang berbeda dalam situasi yang sama. Jelasnya, Rasulullah memberikan kesempatan digunakannya nalar dan pikiran sehat dalam berbagai situasi dan kondisi.
Hal demikian terlihat jelas pada peristiwa Bani Quraydlah, dimana Rasulullah mengirimkan sejumlah sahabatnya ke daerah musuh dan memerintahkan mereka untuk melakukan shalat Ashar apabila mereka telah sampai pada tempat yang dituju. Tetapi ternyata shalat sudah masuk waktunya ketika mereka masih dalam perjalanan. Karena itu, sejumlah sahabat melaksanakan shalat dalam perjalanan dan berargumentasi bahwa tentu bukan maksud Rasulullah untuk menangguhkan shalat Ashar, sedangkan sahabat yang lain melaksanakan shalat setibanya di tempat tujuan ketika hari telah menjelang malam, karena mematuhi perintah Rasulullah secara harfiah. Ketika kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah, beliau diam saja. Para sahabat menganggap hal ini sebagai satu persetujuan diam-diam terhadap tindakan kedua kelompok itu. Sebab, seandainya salah satu kelompok dipandang salah, tentu Rasulullah akan menunjukkan dan meluruskannya.(Ibid.: 12)
Demikian itu kondisi ketika Rasulullah masih hidup, dimana mereka dapat langsung bertanya kepada Rasulullah dan mendapatkan jawaban yang tidak perlu diperbantahkan lagi karena Rasulullah merupakan manusia paling otoritatif dikolong jagat ini. Meskipun begitu, satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa dalam menyelesaikan problem-problem hukum, Rasulullah tidak selamanya mendasarkan diri pada wahyu yang diterima karena sekali waktu Rasulullah juga melakukan ijtihad. Ketika ijtihad tersebut tidak sesuai dengan Kehendak Allah, maka segera diluruskan dengan turunnya wahyu.
Sementara itu, dikalangan sahabat juga telah terjadi upaya ijtihad, dimana bila ijtihad mereka benar akan dijustifikasi oleh Rasulullah. Sebaliknya jika ijtihad mereka tidak benar akan mendapatkan koreksi dari Rasulullah.(Musahadi, 2000: 63) Persoalan kemudian muncul ketika Rasulullah sebagai referensi para sahabat telah wafat. Banyak peristiwa hukum muncul sehubungan dengan perkembangan waktu dan bertambahnya problema umat Islam, akibat dari persentuhan budaya lokal yang muncul akibat meluasnya wilayah kekuasaan Islam akibat ekspansi dakwah dan dalam batas-batas tertentu politik.
Akibat dari problema ini muncul kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, yaitu inovasi dan solusi hukum, yang kelak dikenal dengan term ijtihad. Kendati ijtihad sebenarnya bukanlah term teknis yang muncul setelah wafatnya Rasulullah, namun ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad muncul secara spekatukuler pada masa-masa sahabat Umar Ibn Khaththab.(Rofiq, 2001: 37)
Namun begitu persoalannya tidaklah semudah yang dibayangkan, karena di kalangan sahabat mulai timbul beberapa perbedaan paham dalam menetapkan hukum bagi suatu peristiwa, terutama ketika muncul masalah-masalah baru yang tidak mereka temukan pada masa Rasulullah dan tidak ditunjukkan hukumnya secara spesifik oleh nash al Qur’an dan Sunnah Nabi.(Musahadi, 2000: 65)
Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu disinyalir karena perbedaan pemahaman dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka. Sebab perbedaan yang lain adalah pengetahuan mereka dalam soal hadits tidak selalu sama dan juga perbedaan pandangan mengenai mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum. Disamping itu juga karena perbedaan daerah yang mereka tinggali.(Ash Shiddieqy, 1997: 66) Hal demikian terlihat jelas dengan munculnya tiga pembagian bagi aktifitas pemikiran hukum secara bebas di Irak, Hijaz, dan Syiria. Bahkan di Irak sendiri memiliki dua madzhab, yaitu Bashrah dan Kufah. Di Hijaz sendiri juga memiliki dua madzhab, yakni Makkah dan Madinah.(Ibid.: 66)
Munculnya madzhab-madzhab, yang dinisbatkan kepada kota-kota di mana aliran hukum itu berkembang, semakin mencapai puncaknya ketika memasuki periode tabi’in, dimana hukum Islam mengalami periode tadwin dan imam-imam Mujtahid. Pada periode inilah gerakan sistematisasi dan pen-tadwin-an berbagai disiplin ilmu keislaman mengalami kemajuan yang pesat.
Pada masa ini pula madzhab-madzhab hukum semakin memperoleh bentuknya yang lebih mapan dengan karakteristik metodologi dan produk-produk hukumnya masing-masing. Namun secara umum madzhab-madzhab tersebut terbagi menjadi dua, yaitu madzhab Sunny dan madzhab Syi’iy. Dikalangan Sunny terdapat madzhab-madzhab hukum yaitu Hanafiy, Malikiy, Syafi’iy, Hanbaliy, Dzahiriy, Awza’iy, Tabariy, dan Lays. Empat yang pertama berkembang dan masih mempunyai pengikut hingga sekarang sementara empat madzhab yang terakhir sudah tidak berkembang lagi.(Ibid.: 67)
Keempat imam madzhab atau yang biasa disebut dengan madzahib al arba’ah merupakan pemikir Islam yang melakukan proses reinterpretasi dari berbagai sudut pandang tentang makna dan pesan al Qur’an dan hadits. Mereka selalu menggagas pemikirannya dalam pelbagai bidang kehidupan secara terbuka. Mereka berani dan bebas melaksanakan kreasi intelektual melalui proses reinterpretasi terhadap kedua sumber tersebut secara dinamis untuk mengaktualisasikan prinsip-prisip Islam dengan tanpa terjebak dalam pemahaman doktrinal setempat atau kekuasaan politik tertentu.(Irwandar, 2003: 80)
Munculnya aliran hukum yang kemudian terkristalisasi dalam madzhab-madzhab hukum merupakan suatu kewajaran. Sebab sifat hukum Islam yang pada umumnya membuka peluang yang amat luas untuk menerima berbagai kesimpulan, perbedaan metodologi dalam memahami wahyu, tingkat kemampuan yang berbeda dalam meng-istinbath-kan hukum, ketidak sepakatan dalam menilai otentisitas suatu hadits ditambah dengan latar belakang situasi dan kondisi tempat mujtahid berada, merupakan alasan yang mendasar bagi munculnya kesimpulan hukum yang bervariasi.(Ibid.: 67)
MENGIKUTI SALAH SATU MADZHAB
Secara bahasa, madzhab dapat berarti pendapat, kepercayaan, ideologi, doktrin, ajaran, paham, ataupun aliran. Adapun secara istilah madzhab diartikan sebagai pendapat dan metode seseorang yang berkembang menjadi sebuah metode dalam berpendapat yang dianggap baku.(Azizy, 2004: 38)
Sebagaimana disebut di muka, diantara sekian banyak madzhab, yang paling populer ada empat madzhab. Dari keempat madzhab itulah kemudian hukum Islam berkembang ke seluruh dunia. Maka, di masing-masing negara dapat dilihat madzhab apa yang paling dominan. Di saudi Arabia, yang dominan adalah madzhab Hanbali; di India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah madzhab Hanafi; di Afrika Utara yang paling dominan adalah madzhab Maliki; sedangkan di Indonesia dan Malaysia yang dominan adalah madzhab Syafi’i.
Perlu diketahui bahwa dalam masa berabad-abad, madzhab telah mendominasi perkembangan hukum Islam dan pemikirannya. Bahkan, tidak jarang pemikiran hukum Islam di dalam masing-masing madzhab itu dipahami secara doktrinal dan dogmatik. Artinya, pendapat Imam madzhab dan beberapa ulama’ besar yang mengikatkan dirinya pada madzhab tertentu menjadi sebuah doktrin. Inilah yang kemudian disebut dengan madzhab fi al aqwal (mengikuti madzhab dari pendapat yang sudah matang, tanpa mempelajari metodologinya).(Ibid.: 41)
Penancapan “pengaruh” para Imam madzhab ini tampaknya disusun oleh beberapa ahli hukum terkemuka, dan kadang-kadang oleh para murid dengan mengatasnamakan guru mereka. Hal ini sebagaimana disinyalir Abdullahi Ahmed an Na’im yang mengatakan bahwa tahun wafatnya para ahli hukum pendiri madzhab menunjukkan periode yang paling aktif dalam pembentukan “hukum”, dimana para guru dan murid terkemuka mereka membangun berbagai madzhab dengan menyusun berbagai karya.(An Na’im, 1997: 36)
Pendapat an Na’im ini tampaknya didukung dengan kenyataan bahwa dalam dua abad pertama Hijriah, tidak ada fenomena kesetiaan yang ketat terhadap seorang pemikir saja. Memang terdapat pembagian geografis seperti madzhab Kufah, Basrah, Hijaz, dan sebagainya, namun madzhab-madzhab awal ini memusatkan tradisi mereka di sekitar orang-orang tertentu yang mereka nyatakan sebagai sumber pengetahuan. Al Syaibani misalnya, biasanya ia menyimpulkan setiap bab dengan rumusnya, “ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para ahli hukum kami pada umumnya.” Abu Yusuf sering pula mengacu pada “guru-guru kami” atau “para ahli hukum kami” dalam tulisan-tulisannya. Hal yang sama juga terjadi di Madinah dimana sekelompok orang umumnya menyandarkan diri pada Malik.
Semua contoh tersebut tampaknya memperlihatkan bahwa banyak orang memiliki suatu keterikatan pribadi dengan para imam madzhab. Alasan lainnya adalah karena mereka memperoleh pengetahuan dari para imam madzhab.(Hasan, 1994: 26)
Menariknya, al Syafi’i, salah satu imam madzhab, menentang sikap kesetiaan pribadi pada seorang ahli hukum tertentu. Ia mengutuk sikap itu dalam berbagai tulisan-tulisannya. Meskipun demikian ia menganggap dirinya sebagai anggota madzhab madinah. Kadang-kadang ia mengacu pada orang-orang Madinah sebagai “sahabat kita” dan kepada Malik sebagai “guru kita”. Akan tetapi al Syafi’i memisahkan diri dari orang-orang Madinah ketika ia mengkritik doktrin-doktrin mereka. Bahkan secara keseluruhan nampaknya ia bebas dari kecenderungan madzhab.(Ibid.: 27)
Terlepas dari itu semua, adanya aliran-aliran hukum (madzhab) tampaknya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, mengingat Allah sendiri sudah “men-setting” sedemikian rupa dengan firman-Nya pada sebuah ayat al Qur’an dalam surat al Taubah: 122 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ( التوبة: )
Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (Q.S. al Taubah: 122)(Depag, 2004: 277)
Dari ayat tersebut, kiranya ada dua kelompok dalam setiap golongan umat sehubungan dengan tugas memahami ajaran agama dan pengamalannya. Pertama, merupakan bagian kecil dari kaum yang bertugas mendalami agama (tafaqquh fi al din), setelah mereka berhasil dalam usahanya, mereka bertugas pula menyampaikan dan mengajarkan pengetahuannya kepada kaumnya. Kedua, golongan yang terbesar dari kaum yang tidak ikut mendalami agama. Oleh karenanya dalam bidang agama mereka menerima pengajaran dari kelompok pertama.
Kelompok pertama disebut mujtahid, sedangkan kelompok kedua yang merupakan kelompok umum disebut golongan “awam”. Golongan “awam” dalam mengamalkan agama karena tidak mempunyai pengetahuan, dianjurkan bertanya kepada orang yang tahu. Hal tersebut dijelaskan Allah dalam al Qur’an surat al Nahl: 43 yang berbunyi:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل : )
Artinya: “…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al Nahl: 43)(Ibid.: 370)
Golongan awam ini dalam literatur ushul fiqh disebut sebagai muqallid, sedangkan usahanya mengikuti pendapat mufti disebut taqlid. Menurut ulama’ Syafi’iyah, golongan ini wajib hukumnya untuk ber-taqlid kepada mujtahid, dengan alasan bahwa dzahir ayat tersebut memang berarti demikian dan tidak ada yang mengalihkan dari asal wajibnya.
Namun, menurut Ibnu al Qayyim, seorang pengikut madzhab Hanbaliy, bahwa tidak ada keharusan untuk mengikatkan diri kepada imam mujtahid tertentu, dengan arti seseorang boleh saja mengikuti atau tidak pendapat orang tersebut. Ia dapat bertanya dan mengamalkan dengan pendapat siapa saja yang ia senangi. Bila dalam suatu masalah ia mengikuti imam mujtahid tertentu, dalam masalah yang lain boleh bertanya dan mengamalkan pendapat imam mujtahid lain. Jelasnya, menurut Ibnu Qayyim tidak ada keharusan mengikuti satu madzhab tertentu (Syarifuddin, 2002: 105).
Kenyataannya, mainstream yang ada tidaklah menampakkan hal itu karena sekelompok orang ternyata sama-sama beramal dengan mengikuti pendapat seorang imam mujtahid saja dalam semua bidang. Bahkan, terlihat adanya kesatuan dalam berfikir dan beramal. Kesatuan atau kelompok inilah yang disebut dengan “madzhab”.
Setiap murid imam mujtahid biasanya berusaha mengembangkan atau setidaknya mempertahankan keberadaan aliran madzhabnya dengan menempuh segala cara, diantaranya dengan mempertahankan keberadaan madzhab itu dan mengusahakan pengikut yang telah memegang madzhab itu tetap konsisten dalam pendiriannya. Dalam rangka usaha ini, murid imam dan pengikutnya mengusahakan semaksimal mungkin agar orang-orang yang sudah berada dalam madzhab itu tidak keluar dari madzhab. Dalam hal ini penulis kitab ushul fiqh di kalangan madzhab Syafi’i mengatakan: “Bila seorang awam telah mengikuti dan mengamalkan fatwa seorang imam mujtahid dalam suatu masalah fiqh, maka ia tidak boleh meninggalkan madzhab dan beralih mengikuti pendapat imam mujtahid lain.” (Ibid: 106)
Ketika para ulama’ memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil, baik dari al Qur’an, Hadits maupun dalil aqliy (logika) yang berkenaan dengan orang-orang awam dan orang-orang alim yang belum mencapai kemampuan untuk meng-istinbath-kan hukum dan melakukan ijtihad, tidak ada cara lain kecuali hanya ber-taqlid kepada seorang mujtahid yang memahami al Qur’an dan Hadits. Bahkan para ulama’ berkata: sesungguhnya fatwa seorang mujtahid bagi orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil al Qur’an dan Hadits.(al Buthi, 2001: 49)
Dengan kenyataan seperti itu, tampaknya para penerus dan pendukung seluruh madzhab merasa cukup dengan karya para imamnya yang dianggap telah dapat memecahkan seluruh persoalan. Dalam perkembangannya, terjadi kesepakatan secara bertahap bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memenuhi kualifikasi untuk berfikir bebas (berijtihad). Dan sebagai akibatnya, pada masa berikutnya seluruh aktifitas ijtihad hanyalah memberi penjelasan, mengaplikasikan, dan yang paling banyak hanya berupa penafsiran terhadap ajaran para pendahulunya. Penutupan ini sebagai tuntutan taqlid. Yaitu, sebuah istilah yang pada asalnya diambil dengan cara mengikuti sahabat Nabi yang telah menjadi kebiasaan dalam madzhab hukum Islam awal, dan sekarang diartikan sebagai penerimaan secara penuh terhadap ajaran madzhab dan otoritasnya. (Supena, 2002: 207)
Munculnya gerakan penutupan ini sangat terkait dengan merebaknya taqlid di dunia pemikiran hukum islam. Gerakan ini mempunyai pengaruh yang kuat dan atau dipengaruhi oleh unsur dalam sejarah Islam disamping karena merasa cukup dengan karya pendahulu dan fanatik madzhab, kejumudan pemikiran hukum Islam, kestabilan institusi dan kebudayaan Islam juga ikut berperan. Lebih lanjut, intervensi penguasa yang mengharuskan mengikuti salah satu madzhab tertentu juga menyebabkan umat lebih cenderung taqlid dan meninggalkan kesibukan mencari ilmu-ilmu yang terkait dengan ijtihad. (Ibid.: 208)
ANTARA BERMADZHAB DAN TIDAK BERMADZHAB
Konsistensi pada madzhab tertentu baik secara individual maupun suatu negeri atau negara, di satu sisi banyak manfaatnya. Manfaat bagi perorangan adalah bahwa ia secara perasaan mantap mengikuti satu pedoman tertentu dalam beramal, terutama dalam bidang ibadah (Syarifuddin, 2002: 114). Contoh misalnya, ketika melakukan shalat dan duduk tasyahud dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk terus menerus. Ketika ada seseorang melihat dan bertanya, “Mengapa anda selalu menggerakkan jari seperti itu?” Dijawab, “Saya melakukan ini karena sunnah Nabi SAW.” Kemudian ketika ditanya lagi, “Hadits apa yang menceritakan hal itu dan bagaimana derajat hadits tersebut, lalu apa dalil al Qur’an yang membicarakan tentang hal tersebut?”. Sekiranya tidak mengetahui dalilnya mengatakan, “Dalam permasalahan itu saya hanyalah seorang pengikut madzhab Malik”, maka dia akan tenang dalam melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Hal ini akan sangat berbeda jika kita tidak mengikuti satu pun dari madzhab-madzhab yang berkembang.
Manfaat bermadzhab bagi suatu negara, apalagi jika yang dianut atau yang paling dominan satu madzhab saja, adalah terhindarnya masyarakat dari kebingungan dan ketidakpastian terutama bagi masyarakat awam.
Namun bila dalam suatu negara menganut bermacam-macam madzhab, maka orang-orang awam akan kebingungan mencari kebenaran dan menyebabkan ketidakmantapan dalam beramal. Ini akan terjadi bila di suatu tempat berkembang dua pendapat yang berbeda dalam satu masalah ibadah. Hal tersebut akan membuka kemungkinan mendatangkan pertikaian yang menimbulkan perpecahan. Atau paling tidak akan menjadikan umat bingung mana sebenarnya yang akan diikuti dan diamalkan. Perbedaan yang mestinya menjadi rahmah, namun bagi yang belum siap bisa menjadi malapetaka. Seandainya yang diketahui umat hanya satu pendapat saja, dan itu yang diamalkan bersama, tentu perselisihan dalam beramal dapat dihindarkan.
Sebaliknya, jika berpegang secara kukuh pada satu madzhab tertentu saja, sebagaimana ditetapkan dalam suatu tempat dalam keadaan tertentu juga dapat menyulitkan umat dalam melaksanakan petunjuk madzhabnya sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam kasus batalnya wudlu ketika thawaf. (Ibid)
Persoalan lain misalnya, dalam kitab fiqh Syafi’i tidak ditemukan batasan umur dalam perkawinan; bahkan terkesan boleh mengawinkan laki-laki dengan perempuan yang sama-sama kecil. Dalam hukum perkawinan yang berlaku di dunia Islam waktu ini sudah ditetapkan batas umur perkawinan yaitu umur dewasa dan tidak boleh lagi kawin dibawah umur. Dalam mengikuti pelaksanaan Undang-undang Perkawinan umat Islam yang biasa menganut fiqh Syafi’i tentu akan mengalami kesulitan. Jika konsisten pada madzhab tertentu, jelas tidak sejalan dengan hukum negara yang berlaku, sedangkan jika mengikuti secara patuh undang-undang yang perkawinan yang ditetapkan negara, timbul rasa bersalah pada madzhab yang sudah diyakini kebenarannya (Ibid. : 118).
Contoh di atas memperlihatkan adanya problem yang dihadapi, jika tetap berpegang teguh pada satu madzhab saja. Persoalan selanjutnya adalah apakah dalam hal ini mengambil sikap tidak perlu bermadzhab dalam keadaan tertentu dan mencari jalan sendiri menurut cara kita meskipun belum mencapai tingkat mujtahid; atau mengambil salah satu pendapat yang pernah dikemukakan oleh imam mujtahid, meskipun bukan mujtahid yang selama ini diikuti secara konsisten. Dalam hal ini, kemungkinan kedualah yang lebih baik diikuti dengan tidak terlepas sama sekali dari madzhab yang ada (Ibid).
Kaitannya dengan orang yang lepas sama sekali dari madzhab yang ada, atau dengan kata lain tidak bermadzhab, Said Ramadhan al Buthi secara retoris menjelaskan dengan beranalog:
“Apa yang akan terjadi jika kita menganjurkan kepada semua manusia untuk tidak mengikuti instruksi dari seorang insinyur dalam membangun sebuah gedung, tidak meminta bantuan dan tidak bergantung sama sekali kepadanya dalam pembangunan gedung tersebut. Atau kita tidak melaksanakan nasehat seorang dokter dalam masalah kesehatan. Atau juga tidak mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh seorang ahli dalam suatu produk dan ekonomi, dengan tidak memanfaatkan keahlian dan kemahirannya itu. Apa yang akan terjadi seandainya kita menganjurkan manusia untuk melepaskan diri dari mengikuti petunjuk orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing, dan hanya mengikuti ijtihadnya pada setiap permasalahan atau hanya berpegang teguh berdasarkan keyakinan hasil penelitian dan ijtihad sendiri.”(al Buthi, 2001: 67)
Selanjutnya al Buthi menjelaskan bahwa ketika seseorang tidak bermadzhab, maka sesungguhnya yang akan terjadi di belakang itu semua adalah suatu kehancuran terhadap pembangunan, pertumbuhan dan keturunan anak manusia. Manusia akan dengan sengaja meruntuhkan bangunan rumah mereka sendiri melalui cara percobaan pembangunan, mereka mempercepat pemusnahan terhadap jiwa mereka sendiri melalui cara percobaan kedokteran, dan membawa mereka ke jurang kemiskinan serta kehilangan barang-barang mereka melalui cara percobaan ekonomi dan usaha. Yang demikian itu semua disebabkan karena mereka melakukan percobaan ijtihad dalam bidang yang mereka tidak kuasai, dan melaksanakannya tanpa adanya syarat-syarat. (Ibid.: 68)
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, dan demi menghindari keadaan yang sulit serta terkadang serba salah, kiranya perlu ditilik pemikiran madzhab alternatif tanpa mengurangi rasa hormat kepada madzhab yang lainnya. Hal ini mengingat bahayanya risiko yang ditanggung jika sama sekali tidak bermadzhab sebab belum tercapainya derajat mujtahid. Selain itu juga mengajarkan kita untuk mempelajari madzhab yang lain sebagai bahan pertimbangan.
ANALISIS
Ketika Rasulullah masih hidup, beliau memberikan kesempatan bagi digunakannya nalar dan akal sehat dalam meng-istinbath hukum. Dan Rasulullah, dalam menggariskan hukum, pada dasarnya mempertimbangkan nilai dan semangat tindakan dan bukan bentuk tindakan itu sendiri. Hal ini terlihat dalam peristiwa Bani Quraidzah. Di sini dapat dipahami bahwa apa yang nampaknya penting dalam peristiwa itu adalah kepatuhan kepada perintah Allah.
Sebenarnya, munculnya madzhab-madzhab hukum tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi bagi kajian hukum yang amat luas dan komprehensif sehingga memberikan peluang dan kemudahan kepada generasi Muslim berikutnya untuk lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan menjalankan ketentuan-ketentuan syari’ah secara lebih baik. Berkembangnya madzhab-madzhab hukum tersebut seharusnya membuat hukum Islam itu menjadi lebih fleksibel, karena berkembangnya madzhab-madzhab hukum akan memunculkan berbagai laternatif ketentuan hukum yang variatif, dan pada gilirannya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap ritme perubahan dan dinamika masyarakat
Dengan munculnya fenomena taqlid dan “tertutup”nya pintu ijtihad memunculkan fanatisme kelompok. Masing-masing kelompok mempertahankan metodologi dan produk-produk pemikiran hukum masing-masing dengan segala cara, sehingga mengalahkan perhatian mereka dari sumber hukum yang utama, yakni al Qur’an dan Sunnah. Bahkan, kitab-kitab karya para imam madzhab serta ulama’-ulama’ “pendukung” madzhab seolah-olah sudah menjadi “kitab suci” yang tidak boleh ditinggalkan. Dan apabila seseorang beramal dengan meninggalkan atau mengacuhkan “kitab-kitab suci” tersebut seringkali dianggap “melanggar” ajaran Islam.
Tindakan ini –penutupan pintu ijtihad- betapa pun dilatarbelakangi oleh ketulusan niat para ulama’ besar waktu itu -demi menjaga syari’at Islam dari tangan-tangan tak bertanggung jawab- namun pada akhirnya malah menjadi bumerang yang mematikan inisiatif generasi-generasi Muslim beberapa abad setelah itu. Hal ini juga telah mengakibatkan mandeknya upaya pembaruan pemahaman terhadap Islam dan hukum-hukumnya dalam rangka menanggapi tuntutan perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Apalagi jika diingat bahwa keadaan ini meliputi sebagian besar kaum Muslimin atau bahkan mayoritas mereka. (Bagir, 1996: 157)
Kaitannya dengan model pendekatan mainstream ini, Penulis tidak bisa sepenuhnya menolak atau pun sepenuhnya setuju. Karena bagaimanapun para pendiri madzhab, dan para ulama’-ulama’ lainnya tentunya, sudah dengan keikhlasan hati serta dengan segala daya dan upaya telah mengeksplorasi kemampuan untuk memahami apa “Kehendak” Tuhan sepeninggal Rasulullah. Dalam artian beliau-beliau telah membukakan “jalan” bagi generasi berikut untuk melangkah lebih jauh dalam mengkaji hukum Islam.
Pun sebaliknya, dengan “kemapanan” madzhab itu hendaknya kita tidak lupa pada sumber utama Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah. Dan dengan dibekali kemampuan berfikir (nalar) kita hendaknya berusaha melakukan “operasi cesar” karena sesungguhnya “benih-benih” hukum atau aturan Tuhan yang telah “disemaikan”-Nya dalam “rahim” al Qur’an tidak akan pernah “lahir normal”, menerangkan dengan sendirinya kepada kita apa Maksud dan Kehendak Tuhan. Jelasnya, al Qur’an maupun as Sunnah tidak bisa berbicara sendiri, tetapi kitalah yang dikaruniai akal untuk membuatnya “bicara”.
DAFTAR PUSTAKA
al Buthi, M. Said Ramadhan, Bermadzhab tanpa Madzhab, terj. Gazira Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997,
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, Cet. II, 1994
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997
Azizy, A. Qodri , Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Jakarta: Teraju, 2004
An Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, Cet. II, 1997
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Supena, Ilyas, et.al.,Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam; Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, Yogyakarta: Ar Ruzz Media Press, 2003
Bagir, Haidar, et.al (Ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, Cet. IV, 1996
0 komentar:
Posting Komentar