Minggu, 30 Januari 2011

Konsep 'Adalah dalam Hadis


Konsep ‘adalah atau ‘adl adalah konsep yang paling beragam di kalangan ulama’ hadis. Syuhudi Ismail, misalnya, mengumpulkan lima belas pendapat ulama’ yang mendefinisikan ‘adl, dan dari kelima belas pendapat tersebut ternyata tidak ada yang secara utuh sama.
Dari kelima belas pendapat itu antara lain adalah yang disampaikan oleh al Hakim al Naysaburi, yang mensyaratkan ‘adl itu sebagai beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat; Ibn Shalah dan al Nawawi menyatakan bahwa ‘adl ialah beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasiq.[1] 
Lain lagi dengan apa yang disampaikan oleh al Khatib al Baghdadi yang mengatakan bahwa ‘adl-nya rawi tercermin dalam kemantapan beragamanya, sekaligus terhindar dari segala bentuk ke-fasiq-an dan rendahnya muru’ah. Ini dikuatkan oleh Subhi al Shalih yang menyatakan bahwa ‘adl-nya rawi terlihat pada pengalaman dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.[2]
Selain itu, menurut ulama’ hadits yang lain, ‘adl itu harus menjauhi dosa yang kecil, beritanya layak dipercaya, biasa berkata benar, serta menjauhi perbuatan yang merusak muru’ah dan kehormatan.[3]
Adapun menurut Ibn al Sam’ani, ke-adl-an seorang rawi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)         Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat,
b)        Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun,
c)         Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebihan.
d)        Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.[4]

Demikianlah beberapa pendapat tentang ‘adl-nya rawi. Adapun kriteria yang  digunakan untuk menetapkan ke-‘adl-an rawi adalah sebagai berikut:
Ø  Popularitas keutamaan dan kemuliaannya dikalangan ulama’ hadits,
Ø  Penilaian dari para kritikus rawi yang berisi pengungkapan terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada rawi tersebut, dan
Ø  Penerapan kaidah al Jarh wa al Ta’dil yang dipakai ketika para kritikus rawi tidak sepakat dalam menilai seorang rawi. [5]  
Kaitannya dengan al Jarh wa al Ta’dil, Abu ‘Abd al Rahman Ibn Abu Hatim al Razi dalam kitabnya al Jarh wa al Ta’dil merumuskan kata ta’dil secara berurutan sebagai berikut:
Pertama, ialah tsiqah dan mutqin.
Kedua, ialah shaduq atau mahalluhu al shidq atau la ba’sa bih. Hadits yang bersumber dari kelompok ini dapat ditulis dan dapat dijadikan bahan. Tapi menurut Zainudin al Iraqy, hadits yang berasal dari kelompok ini kurang dlabith, sehingga haditsnya perlu dipantau ke-dlabith-annya.
Ketiga, ialah syaikh. Dari kelompok ini dapat ditulis haditsnya dan dapat diperhatikan.
Keempat, ialah shalih al hadits, berarti haditsnya dapat diajadikan hukum.
Adapun yang berkaitan dengan al Jarh (celaan) secara berurutan, menurut Ibnu Abi Hatim ar Razi sebagai berikut:
Pertama, ialah layyin al hadits. Hadits yang berasal dari kelompok ini dapat ditulis tetapi harus berhati-hati. Jelasnya, haditsnya dapat dipakai tetapi dicela.
Kedua, ialah laysa bi Qawwiy (tidak kuat). Yang berasal dari kelompok ini hanya dianggap sebagai pengumpul.
Ketiga, ialah dlaif al hadits. Hadits yang berasal dari kelompok ini tidak dibuang, tetapi harus berhati.
Keempat, ialah matruk al hadits atau dzahib al hadits atau kadzdzab. Yang berasal dari kelompok ini, haditsnya gugur dan tidak dapat dijadikan dasar hukum.[6]
Kembali ke masalah ke-‘adl-an, nuansa konsep ‘adl di atas, sebenarnya dilandasi oleh keketatan dan kelonggaran ahli hadits dalam menentukan status sanad hadits. Nuansa-nuansa tersebut, menunjukkan bahwa konsep ‘adl dikalangan ahli hadits, rawi hadits itu tidak cukup hanya dengan menyebutkan Muslim yang “taqwa”, tetapi harus lebih menukik lagi kepada sifat-sifat seseorang dan kepribadiannya, sehingga urusan-urusan yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, seorang rawi harus mempunyai kepribadian yang utuh, mampu menjaga diri dalam berbicara dan bertindak meskipun secara lahiriah dan menurut kebiasaan perbuatannya diperbolehkan. Rawi  hadits juga harus diketahui, ma’ruf, tidak mubham (samar) atau tidak majhul (dikenal) bahwa dia itu tawadlu’, wara’, dan qana’ah dalam hidup.[7]
Adapun lafadz ta’dil dan tingkatannya yang biasa dipergunakan untuk menyatakan bahwa pe-rawi itu ‘adil atau dapat dipercaya adalah sebagai berikut:
a.         Kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa seorang pe-rawi itu tidak ada cacatnya atau bahwa ia dipercaya adalah Atsauqun nas, Ilaihi Muntaha, Adlbathun nas, dan La a’rifu lahu nadhiran fi al dunya.
b.         Tingkat kedua adalah kata seperti Fulan la yus’alu ‘anhu.
c.         Kata-kata yang termasuk tingkatan ketiga adalah tsiqah-tsiqah atau tsabat-tsabat, tsiqah ma’mun, dan shahih hadits.
d.        Tingkatan keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dlabith dan hafidh.
e.         Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi.
f.          Kata-kata yang menduduki derajat keenam dan mendekati pencacatan adalah kata laisa bi ba’idin min al shawab, jarwa haditsuhu, muqarabat al hadits, shadiqun insya Allah atau arjuan la ba’sa bihi.[8]
Adanya konsep ‘adl atau ‘adalah ini dianggap sangat penting dan bahkan harus ada dalam penilaian karakter periwayat suatu hadits. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin keaslian hadits bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, juga dimaksudkan dalam rangka memposisikan hadits pada arah yang semestinya, terutama dalam rangka menjadikannya sebagai hujjah keagamaan yang diyakini dalam mengamalkannya.[9]

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asymuni, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta: LPPI UMY, 1998
Al Munawar, Said Agil Husin, al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000
Soebahar, M. Erfan, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadapPemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Sutari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997
Sutarmadi, Ahmad, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998




[1] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 81
[2] Asymuni Abdurrahman, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta: LPPI UMY, 1998, hlm. 31
[3] M. Abdurrahman, Loc. Cit.
[4] Endang Sutari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 140
[5] Ibid., hlm. 32
[6] Ahmad Sutarmadi, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 132 et.seq.  
[7] M. Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 82
[8] Said Agil Husin al Munawar, al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002, hlm. 164
[9] M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadapPemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 189

Jumat, 28 Januari 2011

Kecerdasan Hanyalah Potensi...!!!


Kecerdasan merupakan sebuah kapasitas umum dari kesadaran individu untuk berpikir, menyesuaikan diri, memecahkan masalah yang dihadapi secara bijaksana, cepat, dan tepat. Berdasarkan hal ini, maka pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kecerdasan. Paling tidak, inilah yang dikatakan oleh Edward De Bono, seorang bapak berpikir lateral.
Menurut Edward De Bono, kecerdasan hanyalah merupakan potensi, seperti halnya dengan tenaga kuda dari sebuah mobil. Ada satu mobil sederhana yang dikemudikan dengan baik atau mobil kuat yang dikemudikan dengan sembarangan. Perbedaannya ada pada keterampilan berpikir yang dikembangkan untuk menangani informasi dan dunia di sekitar kita. Berkaitan dengan hal ini, Edmund Bachman berpendapat bahwa potensi bukanlah kemampuan maksimal yang permanen, namun suatu rentang dinamis yang dapat diperluas (Bachman, 2005: 25). Ini berarti bahwa meskipun bakat-bakat alamiah seseorang dimulai dengan satu potensi tertentu masih dapat diangkat lebih tinggi lagi dengan bantuan latihan dan pengkondisian yang tepat.
Pandangan Bachman ini selaras dengan pendapat Robert Sternberg yang menyatakan bahwa faktor terpenting yang menentukan seseorang mencapai keahlian tertentu “bukanlah kemampuan yang sudah melekat sebelumnya, tetapi pergulatan dengan maksud yang jelas.” Atau, sebagaimana diakui oleh Alfred Binet, orang yang pada awalnya paling cerdas tidak selalu menjadi paling cerdas pada akhirnya (Dweck, 2007: 19). Manusia mungkin memulai dengan temperamen yang berbeda dan bakat-bakat yang berbeda, tetapi jelas bahwa pengalaman, latihan dan upaya personallah yang menentukan jalan mereka selanjutnya.
Hal demikian itu dikarenakan manusia memiliki kemampuan yang lebih baik untuk belajar seumur hidup dan mengembangkan otak mereka daripada perkiraan mereka selama ini. Bahkan, saat ini sebagian besar pakar sepakat bahwa kecerdasan bukanlah ini atau itu. Kecerdasan bukanlah sifat bawaan (nature) atau hasil binaan (nurture), gen atau lingkungan. Konsepsi ini membawa pengertian bahwa ada proses memberi dan menerima yang terus berlangsung diantara keduanya. Sebagaimana dikatakan Gilbert Gottlieb, sebenarnya gen dan lingkungan tidak sekedar bekerja sama seiring dengan perkembangan manusia, tetapi gen juga membutuhkan masukan dari lingkungan untuk dapat bekerja secara tepat (Dweck, 2007: 18).
Uraian di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya kecerdasan adalah tidak lebih dari sekedar potensi yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan sesuatu. Potensi inilah yang seharusnya terus dikembangkan melalui pembelajaran, pelatihan dan upaya-upaya lain yang dapat meningkatkan potensi tersebut. Setinggi dan sebesar apapun potensi yang dimiliki oleh seorang individu tidak akan dapat menjamin keberhasilan dan kebahagiaan individu tersebut dalam menjalani kehidupan. So, banyak belajar dan berlatihlah dalam bidang apapun yang anda senangi untuk melejitkan potensi kecerdasan anda setinggi mungkin….

DAFTAR PUSTAKA

Bachman, Edmund, 2005, Metode Belajar Berpikir Kritis dan Inovatif, terj. Bahrul Ulum, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Dweck, Carol S., 2007, Change Your Mindset Change Your Life; Cara Baru Melihat Dunia dan Hidup Sukses tak Terhingga, terj. Ruslani, Cet. III, Jakarta: Serambi

Senin, 24 Januari 2011

Pengertian Psikologi Islam


Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa memiliki padanan dengan kata nafs, meski ada juga yang menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.[1]
Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah psikologi kontemporer seperti soul atau psyche. Hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani dan ruhani, sedangkan soul dan psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia.[2]
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.[3]
Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian tentang jiwa tersebut selanjutnya “menghilang” bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya.[4]
Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs) oleh Islam para Ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang menyebut kata nafs tidak kurang dari 300 kali. Demikian pula dalam hadits, kata nafs banyak sekali di sebut.
Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang kita kenal saat ini, tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs al muthma’innah).[5]
Terlepas dari itu semua, ilmu psikologi seharusnya dilihat sebagai upaya manusia untuk membuka rahasia sunnatullah yang bekerja pada diri manusia (ayat-ayat nafsaniyah) dalam arti menemukan berbagai asas, unsur, proses, fungsi, dan hukum-hukum di seputar kejiwaan manusia.
Berangkat dari asumsi di atas, kiranya “PR” yang perlu dikerjakan adalah menjadikan psikologi agar dapat digunakan untuk menerangkan berbagai problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam kehidupan kesehariannya, melakukan telaah kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam, kemudian menawarkan konsep alternatif tentang psikologi yang lebih sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat disebut Psikologi Islami atau Psikologi Islam, meskipun sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah menggunakan nama Psikologi Islami atau Psikologi Islam.
Dari kenyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu Psikologi Islam seperti halnya Sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud sebagai sains. “Kebaruan” ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs, atau jiwa belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan yang berbeda.[6]
Perbedaan yang lain adalah dalam rumusan konsep manusia dan cara mendekatinya. Psikologi Barat semata-mata menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapakan asas-asas kejiwaan, sementara Psikologi Islam mendekatinya dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus.[7]
Walaupun demikian, sebagai ilmu yang masih dalam proses pembangunan, jika ingin menghasilkan suatu pendekatan baru dalam khasanah Psikologi Islam, maka langkah yang paling tepat bukan memulainya dari nol, melainkan dimulai dari penemuan dan teori psikologi Barat kontemporer.
Berangkat dari asumsi demikian, kiranya ada dua model pendekatan, Pertama, psikologi sebagai pisau analisis dalam menghadapi masalah-masalah yang berkembang di kalangan Umat Islam. Kedua, Islam dijadikan sebagai alat untuk menilai konsep-konsep psikologi Barat kontemporer.[8]
Diatas itu semua, semangat pengembangan Psikologi Islam hendaknya tetap mengacu pada beberapa hal, diantaranya:
1)      Psikologi Islami adalah merupakan ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (al Qur’an dan Hadits), akal, indera dan intuisi.[9]
2)      Psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah melalui proses filterisasi dan didalamnya terdapat wawasan Islam.[10]
3)      Psikologi Islami adalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam.[11]
4)      Psikologi Islami ialah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam dan bersandarkan pada sumber formal (al Qur’an dan Hadits) yang dibangun dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah.[12]
5)      Psikologi Islam merupakan corak psikologi yang berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam kerohanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.[13]
Dengan demikian, jika psikologi mempunyai tugas mencakup, menguraikan, memprediksi dan mengendalikan tingkah laku manusia, maka psikologi Islam masih memiliki tugas tambahan, yaitu pengembangan psikologi Islam. Dalam hal ini psikologi Islam harus menempatkan agama sebagai pijakan ilmu.
Selain itu, psikologi Islam juga harus mampu merumuskan asas-asas kejiwaan dari al Qur’an dan Hadits, yaitu yang berkaitan dengan karakter manusia sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam al Qur’an, seperti dlaif (lemah), jahl (bodoh), halu’ (terburu-buru), zhulm (sewenang-wenang), kaffar (banyak menentang), kanud (tindak pandai berterimakasih), ghalidl al qalbi (keras dan kasar hati), qalbun salim (hati yang bersih), fi qulubihim maridl (penyakit hati), lahiyah al qulub (hati yang lalai), ru’fah wa rahmah (cinta dan kasih saying) dan lain-lain.[14]
Psikologi Islami juga harus mengkaji amalan-amalan yang telah dilaksanakan umat Islam yang disinyalir memiliki pijakan psikologis. Dalam bidang konseling misalnya, meski para Ulama’ tidak mengenal teori Bimbingan dan Konseling modern, tetapi terapi psikologi bukanlah sesuatu yang asing bagi para kiai. Boleh jadi paradigma yang digunakan oleh para kiai tersebut berbeda dengan paradigma psikologi modern, melainkan paradigma tasawuf dan akhlak, tetapi tidak bisa dibantah bahwa tujuan tausiyah para kiai tersebut adalah memberikan solusi atas problem-problem psikologi yang dihadapi.
Jadi, jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi; fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural, maka ruang lingkup psikologi Islami di samping tiga dimensi tersebut juga mencakup dimensi keruhanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh psikologi Barat karena perbedaan pijakan.[15]



DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Jamaluddin, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994
Mubarok, Achmad, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000
Mujib, Abdul, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001



[1] Abdul Mujib, et.al., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 3
[2] Ibid., 5
[3] Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern; Jiwa dalam Al Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 261. Lihat juga Abdul Mujib, et.al., Loc. Cit.
[4] Achmad Mubarok, Op. Cit., hlm. 262
[5] Ibid.
[6]  Ibid., hlm. 261
[7]  Ibid., hlm. 265
[8]  Abdul Mujib, et.al., Op. Cit. hlm. 12
[9] Jamaluddin Ancok, Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 144
[10]Ibid., hlm. 146
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid., hlm. 148
[14]Achmad Mubarok, Op. Cit., hlm. 267
[15] Ibid., hlm. 270

Minggu, 23 Januari 2011

Sistem Periwayatan Hadis



Dalam sistem periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai pertama dan paling kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan Nabi SAW. Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara literatur hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu apakah proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk menjamin tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi SAW? Pertanyaan ini membawa kita pada banyak subtopik. Kapankah hadits pertama ditulis? Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis? Apakah penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na) dan bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal untuk melestarikan sunnah?
Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah. Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).[1]
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat.
Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
a.   Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
b. Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang dinamainya al Shadiqah.
c.   Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.[2]
Melihat keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Mungkin lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.[3]
Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[4]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.[5]
Ketika isnad dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits, secara tidak langsung, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa pentingnya sistem periwayatan hadits,[6] walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Namun begitu, sistem periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan.
Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian hadits, yaitu:
1.      “Sama’ min lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’ ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau sami’tu.
2.      “al Qira’ah ‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan. Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan hadatsana qira’atan ‘alaih.
3.      “Ijazah”, yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
4.      “Munawalah”, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
5.      “Muktabah”, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
6.      “Wijadah”, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah, maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
7.      “Washilah”, yaitu pesan seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kiotab atau tulisan supaya diriwayatkan.
8.      “I’lam”, pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.[7]
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi,  keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup.[8]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.”[9]
Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.[10]
Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa, namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya hadits Nabi:
أ‌.       أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا مِنْ مَاءٍ
ب‌.  أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
ت‌.  أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا
Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil ma’na, dan hal demikian memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah.
Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.[11]
Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin ilmu hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih, hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang hadits shahih, yaitu rawi-nya harus ‘adl, dlabith, sanad-nya bersambung, matan-nya marfu’, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal.[12]
Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan.
Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.[13]


DAFTAR PUSTAKA

Soebahar, HM. Erfan, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005
-----------, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997
Ilyas, Yunahar, et. al.(Ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta : LPPI, 1996



[1] Lihat pidato pengukuhan guru besar Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 25 et.seq.
[2] H.M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 164 et.seq.
[3] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 120. bandingkan dengan Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997, hlm. 87
[4] Ibid., hlm. 122
[5] Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah menyeleksi tidak kurang 600.000 hadits, kemudian disaringnya menjadi sekitar 4.000 hadits yang dianggap shahih. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta….Op. Cit., hlm. 146 et.seq.
[6] Sistem ini berkaitan dengan proses penerimaan hadits oleh seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis atau di-tadwin dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 185
[7] Ibid., hlm. 186-189
[8] Daniel W. Brown, Op. Cit., hlm. 118
[9] Yunahar Ilyas, et. al.(Ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta : LPPI, 1996, hlm. 158
[10] Daniel W. Brown, Op. Cit., hlm. 117
[11] Yunahar Ilyas, Op. Cit., hlm. 159-163
[12] Lihat Endang Soetari, Op. Cit., hlm. 140
[13] Yunahar Ilyas, Op. Cit., hlm. 164

Selasa, 18 Januari 2011

Sejarah Munculnya Hadis


Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah,[1]sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW yang beredar pada masa Nabi Muhammad hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah al Qur’an. Dan isinya pun menjadi hujah (sumber otoritas) keagamaan.[2]
Apabila ditelusuri sejarahnya, ternyata di samping adanya kesepakatan umat Islam untuk menerima Hadits sebagai dasar tasyri’, terdapat pula pandangan problematik tentang hadits. Bahkan, ada sejumlah kecil yang menolak Hadits sebagai dasar syari’at Islam yang kedua setelah al Qur’an.
Pandangan-pandangan ini ada yang datang dari lingkungan intern umat Islam, dan ada juga yang datang dari lingkungan ekstern umat Islam yang kadang-kadang juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.
Sebagaimana diketahui, pada abad II Hijriah, muncul faham yang menyimpang dari garis khiththah yang telah dilalui oleh sahabat dan tabi’in, yakni ada yang tidak mau menerima Hadits sebagai hujah dalam menetapkan hukum bila tidak dibantu oleh al Qur’an, dan ada pula yang tidak menerima hadits ahad. Selain itu, juga terdapat perbedaan faham dalam hal keadilan sahabat, perbedaan dalam hal penulisan hadits, serta keberadaan pemalsuan hadits secara massif.[3]  

Sekilas Tentang Sejarah Hadits

Pada awalnya, kata hadits dipergunakan untuk menunjuk kepada cerita-cerita dan berita-berita secara umum. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah hadits mengalami pergeseran, dimana hadits dimaksudkan sebagai kabar-kabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteksnya yang umum, hingga pada akhirnya istilah hadits secara eksklusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah.
Hal demikian dibenarkan oleh Mustafa A’zami yang menceritakan bahwa pada masa-masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat. Pada waktu itu. Kata hadits yang awalnya bersifat umum, semakin lama semakin eksklusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada Nabi.[4]
Dari keterangan tersebut kiranya dapat dipahami bahwa tradisi “tutur”  dan “tinular” mengenai perilaku Nabi sudah hidup pada masa-masa awal Islam. Begitu juga tradisi “periwayatan”, dalam bentuknya yang sederhana dan mungkin tak pernah dimaksudkan untuk meriwayatkan, sudah dimulai sejak masa awal, sehingga ketika generasi selanjutnya melakukan kodifikasi terhadap hadits dapat dilacak apakah benar berasal dari Nabi atau tidak.
Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi pernah menyampaikan sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, suatu saat Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan al Qur’an yang pada saat itu masih turun (proses pewahyuan belum final), namun pada saat yang lain, justru Nabi memerintahkan agar hadits itu ditulis.
Dalam hadits yang melarang sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits. Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah.
Menurut perspektif hukum, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan tersebut (hadits).[5]
Berangkat dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh para sahabat, meskipun juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
a)      Rasulullah menulis surat kepada raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada Islam,
b)      Sebagian sahabat memiliki shuhuf, “lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn “ash yang dinamainya al shadiqah.
c)      Rasulullah menulis surat kepada sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan domba.[6]
Melihat keterangan diatas, berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah terbantahkan. Dengan demikian, mungkin istilah yang lebih tepat, Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar Ibn Abd al Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi regulasi atau sistematisasi.[7]
Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal, tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan subyeknya.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua hijriah,[8]dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan formal untuk menilai keotentikan hadits  atas dasar isnad-nya. Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih hadits yang isnad-nya memenuhi standard yang ketat.[9]
Seperti disebutkan di muka bahwa “periwayatan” sudah dimulai sejak masa-masa awal Islam, namun baru pada pertengahan abad ke-3 H / 9 M, hadits mempunyai “bentuk”  yang tertentu. Hampir semua isinya secara mendetail telah terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.
Untuk mencapai “bentuk” ini para ahli telah mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk hadits yang sangat melimpah. Para ahli, atau yang biasa disebut sebagai muhadditsun, telah melakukan perjalanan menjelajah ke seluruh penjuru dunia Islam pada waktu itu. Mereka  pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari satu orang ke orang lainnya. Akhirnya, pada akhir abad ke-3 H / permulaan 10 M beberapa koleksi hadits telah dihasilkan, bahkan enam diantaranya mulai saat itu sudah dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal dengan "enam yang asli".
Adapun yang paling terdepan dari keenam kitab hadits itu adalah Shahih Bukhari yang kemudian dinyatakan oleh kaum muslimin hanya berada di bawah al Qur’an dalam otoritasnya, Shahih Muslim menempati urutan selanjutnya, dan kemudian disusul berturut-turut oleh karya-karya Abu Daud, al Tirmidzi, al Nasa’i dan Ibn Majah.[10]
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa rentang waktu antara masa hidup Nabi dengan kodifikasi hadits begitu jauhnya, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para orientalis untuk menyerang Islam, melalui salah satu sumber hukumnya, yaitu hadits. Mereka menganggap bahwa sunnah adalah tradisi yang diciptakan oleh para sahabat, sebagai hasil interpretasi terhadap ajaran Nabi.
Seorang orientalis bernama Ignas Goldziher sangat meragukan materi hadits yang sedemikian banyak dapat disaring dan kemudian diperoleh suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai "asli" berasal dari Nabi atau generasi sahabat yang awal. Ia berpendapat, seharusnya hadits dianggap sebagai catatan pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi muslim yang awal dari pada sebagai catatan tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat Beliau.[11]
Lain lagi dengan Margoliouth yang menganggap bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits. Sunnah yang dipraktekkan kaum muslim awal sama sekali bukan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al Qur’an.[12]
Dalam karyanya The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Joseph Schacht mengatakan bahwa "tradisi yang hidup" (living tradition) telah ada mendahului "tradisi Nabi". Schacht berargumen bahwa ketika hadits pertama kali beredar pada sekitar abad kedua hijriyah, ia tidak dirujukkan kepada Nabi, melainkan kepada tabi’in, kemudian sahabat dan setelah beberapa waktu akhirnya hadits disandarkan kepada Nabi.[13]
Mereka juga menemukan kitab al Muwatha’, kitab tertua sesudah al Qur’an yang dapat ditemukan,  mempunyai sanad yang kurang tertib. Dan sistem isnad itu tertib setelah memasuki generasi al Bukhari, yang jangka waktunya dari Imam Malik (penyusun al Muwatha’) cukup jauh (Imam Malik : 93-179 H ; al Bukhari : 194-296 H). Di sini para orientalis mengungkapkan bahwa isnad  yang awalnya tidak ada itu kemudian ada tetapi tidak tertib, dan akhirnya menjadi sangat rapi. Dengan demikian mereka berkesimpulan bahwa ahli hadits generasi al Bukhari, dengan kelihaiannya, telah merekayasa isnad. Hadits yang tadinya tidak jelas siapa pembawanya, disulap sedemikian rupa sehingga menjadi shahih sanad-nya.[14]
Beberapa pendapat kaum orientalis tersebut, jelas sangat memancing kontroversi dan tidak dapat diterima oleh umat Islam. Namun begitu, kita tidak boleh hanya mempertahankan diri hanya dengan mengedepankan emosi belaka, tetapi harus meng-counter-nya dengan dalil-dalil yang ilmiah. So, buat sobat-sobat yang mempunyai pandangan yang ilmiah untuk meng-counter silakan tulis komentar atau ulasan….wassalam.


DAFTAR PUSTAKA

Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000
Ismail, M. Syuhudi , Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000
Rahman, Fazlur , Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
Schacht, Joseph , The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Oxford: The Clarendon Press, 1979
Soebahar, HM. Erfan , Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005
---------, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Soetari, Endang , Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997



[1] Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan kedua istilah tersebut lihat Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 20-35
[2] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 3
[3] Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bhakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 104
[4] Lihat Musahadi, Op. Cit.,  hlm. 40
[5] Lihat pidato pengukuhan guru besar Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, Respon Muhadditsun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat; Studi tentang hadits Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi, IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 25 et.seq.
[6] Lihat H.M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 164 et.seq.
[7] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 120. bandingkan dengan Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997, hlm. 87
[8] Daniel W. Brown, Op. Cit., hlm. 122
[9] Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah menyeleksi tidak kurang 600.000 hadits, kemudian disaringnya menjadi sekitar 4.000 hadits yang dianggap shahih. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta….Op. Cit., hlm. 146 et.seq.
[10] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 83 et.seq.
[11] Ibid., hlm. 52
[12] Lihat Musahadi, Op. Cit., hlm. 12
[13] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadans Jurisprudence, Oxford: The Clarendon Press, 1979, hlm. 138
[14] Lihat Muh. Zuhri, Op. Cit., hlm. 88 et.seq.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design