Istilah hegemoni berasal dari bahasa yunani, hegeisthai (“to lead”). Hegemoni ini dapat didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa).[1]
Berbicara mengenai “hegemoni” tentu tidak bisa lepas dari nama Antonio Gramsci (1891-1937), yaitu salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20. Teori “hegemoni” ini dapat dikatakan merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial, dimana konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis melalui revolusi proletariat.[2]
Menurut Antonio Gramsci, hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai kehendaknya. Di sini “hegemoni” berlangsung secara smooth, tanpa terasa, tetapi masyarakat dengan sukarela mengikuti/menjalaninya.[3] Lebih lanjut Gramsci menyatakan bahwa “hegemoni” ini dapat terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, bahkan melalui khotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru bagi kaum buruh.
Bagi Gramsci proses perubahan sosial tersebut tidak semata-mata diartikan sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideologi. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.[4]
Masih menurut Gramsci, sebagaimana dikutip Sayful Muzani, hegemoni juga merupakan kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dan pemikiran dominan digelar ke masyarakat dan mewujudkan diri dalam bentuk kelembagaan dan penghayatan pribadi, sehingga seluruh bidang kehidupan masyarakat kapitalis (sosial, politik, ekonomi, budaya, keagamaan, seni, pendidikan, dsb) selalu mengikuti dan menganggapnya paling benar.[5] Dengan kata lain, hegemoni berarti universalisasi kepentingan dominan tertentu (misalnya kelas borjuis), sehingga suatu definisi tentang realitas sosial dan teori sosial –yang menyebar dan berpengaruh luas dalam masyarakat, termasuk komunitas intelektual dan ilmuwan sosial– diterima secara taken for granted, seolah-olah memang sudah seharusnya begitu. Penerimaan ini dimungkinkan karena para intelektual terkait secara organis dan dialektis dengan kelas yang dominan. Dalam hal ini, hegemoni berlangsung pada tataran sipil, dimana ideologi kelas dominan dalam formasi sosial kapitalisme maju di Barat disebarkan ke masyarakat lewat konsensus demokratis.[6]
Secara strategis, untuk menciptakan hegemoni, Gramsci memberikan 2 cara, yaitu melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan melalui sekolah-sekolah yang meningkatkan kesadaran diri dan sosial.[7]
Melalui bahasa media massa, manusia –baik individu maupun kelompok– dibentuk seragam dalam menginterpretasikan bahasa. Sebab bahasa di Media memiliki potensi menghegemoni sebagian masyarakat sehingga mereka harus mengikutinya (membenarkan, melihat, mendengar dan mendiskusikan). Bahkan uniknya, penyeragaman penafsiran bahasa ini menjadi ciri khas tersendiri. Tidak heran jika ada “manusia latah” disekitar kita. Bahkan, hal ini “sudah menjadi tradisi”. Akhirnya, lahirlah manusia-manusia pasif secara sadar atau tidak.[8]
Dan melalui media massa, baik elektronik maupun cetak ini peradaban Barat mulai menancapkan hegemoninya kepada peradaban lain, termasuk Islam. Dalam hal ini Barat melakukan hegemoni budaya melalui jaringan komunikasi global. Mereka menggiring cara berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral, politik, dan budaya Barat. Misalnya, 88 dari 100 film yang beredar di seluruh dunia pada tahun 1993 adalah film-film Amerika (Hollywood). Dan pada tahun 1994, CNN Internasional menyatakan memiliki 55 juta pemirsa setia (1% dari seluruh penduduk dunia).[9]
Di AS, ada istilah Seven Deadly Sinners yang meliputi Time, Newsweek, CBS, NBC, ABC, New York Time, dan Washington Post. Dan tentunya masih banyak lagi jaringan komunikasi global lainnya yang berasal dari Barat. Jika Pol Pot membunuh jutaan manusia secara fisik, Seven Deadly Sinners telah menjadi mesin propaganda dan agitasi pemerintahan AS yang membunuh jutaan (pikiran) manusia.[10] Kita dapat menyaksikan betapa setiap hari masyarakat –khususnya Indonesia– disuguhi dengan tayangan-tayangan yang berkiblat pada life style ala Barat, baik melalui sinetron, film, infotainment, maupun reality show yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Dalam ranah politik, peradaban Barat juga berusaha menghegemoni peradaban lainnya, dimana pasca Perang Dingin (Cold war) antara Blok Barat (yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat) dan Blok Timur (yang dikomandoi oleh Uni Soviet), ternyata memunculkan anggapan di kalangan masyarakat Barat bahwa ideologi liberalisme demokratik telah memenangkan perang melawan sosialisme serta menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa “misionaris” yang “memaksa” bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan negara. Padahal, nilai-nilai tersebut acapkali tak bergaung dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks.[11]
Berangkat dari kenyataan tersebut di atas, dalam latar global masa kini, nampaknya hegemoni juga dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan imperialisme dengan berbagai bentuknya yang baru. Bangsa-bangsa Asia, Amerika Latin, dan Afrika kontemporer secara politis memang merdeka tetapi dalam banyak hal “terkuasai” dan mengalami “ketergantungan” dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari peradaban Barat.[12] Hal ini berarti bangsa-bangsa tersebut, disadari ataupun tidak telah terhegemoni oleh peradaban Barat.
Hegemoni dapat juga berwujud truth claim yang universal dan mutlak atas segala ilmu yang berkembang yang bukan berasal dari tradisi Barat. Hal ini dapat dilihat sejak abad pencerahan, di mana sejak saat itu representasi kebudayaan Barat yang dominan cenderung menyubordinasikan apa yang bisa disebut sebagai aspek-aspek kebudayaan dan tradisi “Dionysian” (lawan Appolonian), yakni suatu kecenderungan yang dipahami sebagai puitis, mistis, irasional, tidak beradab, dan feminin. Hegemoni seperti itu telah memberi karakteristik stereotip tentang Barat versus Timur dalam berbagai ranah kehidupan, khususnya dalam bidang otoritas kebenaran atas klaim saintis, dimana mereka tidak mengakui atau meragukan kesahihan sains yang berkembang dari teks agama. Pandangan ini masih dipegang teguh oleh para penganutnya sehingga dengan klaim sains yang ilmiah dan obyektif serta rasional telah menimbulkan sikap dominasi kebenaran “obyektif” atas bidang keilmuan yang berkembang di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini.[13]
Dari semua hal tersebut di atas, sebenarnya kepentingan global Barat adalah dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Dan untuk melancarkan kepentingannya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai yang paling berdarah-darah. Cara halus yang dilakukan Barat untuk mengukuhkan hegemoninya antara lain melalui “rezim pengetahuan”. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.
Ancaman hegemoni dalam dunia pendidikan juga datang dari hegemoni neoliberalisme. Neoliberalisme menampilkan wajah hegemoniknya lewat simulacra (pembangunan citra, image) yang dikemas dalam bentuk iklan-iklan, icon (lambang), merek, termasuk secara sistemik membangun kekuatan antar negara/kawasan dalam perekonomian liberal.
Dalam dunia pendidikan neoliberalisme melancarkan hegemoni dengan melakukan kapitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan, tanpa melihat lagi misi mulia pendidikan yang manusiawi. Implikasi dari sekian lamanya neoliberalisme menghegemoni dunia pendidikan, dengan gampang ditemukan lewat kesadaran palsu, yaitu pandangan bahwa kesuksesan dan derajat kemuliaan seseoarang diukur dari kuliah, lulus secepatnya dengan nilai tinggi, kerja pada tempat yang paling banyak menghasilkan uang.
Implikasinya, masyarakat pun cenderung menilai orang dari mobil yang dipakai, seberapa besar rumahnya, dll. Jiwa dan sikap intelektualitas, suka mengkaji suatu fenomena, memiliki rasa keingintahuan dan naluri penyelidikan yang tinggi, memegang prinsip kebenaran ilmiah dan rasa keadilan, justru merupakan "musuh" bagi neoliberalisme.[14]
Jika hegemoni berarti kemampuan untuk mendikte, mendominasi, mengatur, dan merancang konstelasi dan geopolitik internasional, maka AS bisa dikatakan telah menghegemoni. Coba perhatikan laporan New York Times (08/03/1992) yang melaporkan paradigma kebijakan luar negeri AS. Ketika itu, pada bulan Maret, sekumpulan pejabat penting pada masa pemerintahan Bush senior dimotori Dick Cheney dan Paul Wolfowitz mengeluarkan Draf Pedoman dan Rencana Pertahanan (Defence Planning Guidance Draft) yang mengharuskan dominasi militer dalam kebijakan AS di masa depan. Dokumen itu, yang di kemudian hari dinamai “Pentagon Paper” menganjurkan pre-emptive force untuk melindungi AS dari senjata pemusnah massal (WMD) serta melakukannya sendirian jika perlu. “Strategi kita (pascajatuhnya Uni Sovyet) harus difokuskan pada pemusnahan segala potensi timbulnya kompetitor global di masa depan”.[15]
Dan untuk melanggengkan hegemoni itu, George W. Bush secara tegas menyampaikan hal ini ketika ia berpidato pada pelepasan kadet baru West Point 1 Juni 2002: “Amerika harus bisa memastikan kekuatan militernya mampu mengatasi berbagai tantangan, meskipun harus merusak stabilitas perlombaan senjata dunia. AS juga harus membatasi kekuatan negara lain meskipun kekuatan itu ditujukan untuk perdamaian.”[16]
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, Cet. VIII, 2004
Muzani, Sayful, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”, dalam Edy A. Effendy (ed), Dekontruksi Islam Madzhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1999
Said, Edward W., Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, Cet. II, 1996
Huda, Nurul, “Perihal Hegemoni dan Perang Posisi” dalam http://nurulhuda.wordpress.com
/2006/11/21/perihal-hegemoni-dan-perang-posisi
Harahap, Oky Syeiful R., “Pengaruh Hegemoni dalam Dunia Pendidikan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/02/1106.htm
Bilfagih, Muhammad Taufiq, “Media dan Hegemoni” dalam http://billfagih.blogspot.com/
2007/09/media-dan-hegemoni.html
Hasan, Misbahul, “Membincang Benturan Antar Peradaban” dalam http://www.lakpesdam.or. id/index.php?id=105
Kurniawan, Wawan, “Amerika Serikat, Hegemoni Global dan Dominasi Militer” dalam http://kainsa.wordpress.com/amerika-serikat-hegemoni-global-dan-dominasi-militer
Duija, I Nengah, “Hegemoni Orientalis dan Pengembangan Ilmu Kemanusiaan” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/opini/288298.htm
“Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni
[1] “Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni
[2] Nurul Huda, “Perihal Hegemoni dan Perang Posisi” dalam http://nurulhuda.wordpress.com
/2006/11/21/perihal-hegemoni-dan-perang-posisi
[3] Oky Syeiful R. Harahap, “Pengaruh Hegemoni dalam Dunia Pendidikan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/02/1106.htm
[4] Nurul Huda, Loc. Cit.
[5] Sayful Muzani, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”, dalam Edy A. Effendy (ed), Dekontruksi Islam Madzhab Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Ilmu, 1999, hlm. 276
[6] Ibid., hlm. 277
[7] “Pengantar Hegemoni” dalam http://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni
[8] Muhammad Taufiq Bilfagih, “Media dan Hegemoni” dalam http://billfagih.blogspot.com/
2007/09/media-dan-hegemoni.html
[9] Misbahul Hasan, “Membincang Benturan Antar Peradaban” dalam http://www.lakpesdam.or. id/index.php?id=105
[10] Wawan Kurniawan, “Amerika Serikat, Hegemoni Global dan Dominasi Militer” dalam http://kainsa.wordpress.com/amerika-serikat-hegemoni-global-dan-dominasi-militer
[11] Samuel P. Huntington, Op. Cit., hlm. 336
[12] Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegemoni Barat, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, Cet. II, 1996, hlm. 52
[13] I Nengah Duija, “Hegemoni Orientalis dan Pengembangan Ilmu Kemanusiaan” dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/10/opini/288298.htm
[14] Oky Syeiful R. Harahap, Loc. Cit.
[15] Wawan Kurniawan, Loc. Cit.
[16] Ibid.