“Kebudayaan” dan “Peradaban” adalah dua istilah yang hampir mirip namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda.
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Sebuah istilah yang relatif baru karena istilah ‘culture’ sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843 para ahli anthropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagaimana tercermin dalam istilah agriculture dan holticultura.[1] Hal ini dapat dimengerti karena istilah culture ini berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian jiwa”.[2]
Akar kata “kebudayaan” ini adalah kata “budaya” yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Dalam hal ini, manusia diyakini memiliki unsur-unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. [3]
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh E. B. Tylor yang menyatakan bahwa “Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan dan kebiasaan seseorang sebagai anggota masyarakat.” [4]
Dengan definisi yang diberikan oleh E.B. Tylor ini –dan para ahli lain yang sependapat– menyebabkan apa yang disebut ‘kebudayaan’ sering disamakan dengan ‘peradaban’. Padahal keduanya amat berbeda. Dalam perkembangannya malahan pengertian istilah budaya dan kebudayaan hanya dibatasi pada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat.[5]
Adapun istilah “peradaban” dalam bahasa Inggris disebut civilization. Istilah peradaban ini sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya yang berwujud unsur-unsur budaya yang halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi.
Dengan batasan-batasan pengertian di atas, maka istilah peradaban sering dipakai untuk hasil-hasil kebudayaan seperti kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, adat sopan santun serta pergaulan. Selain itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang maju dan kompleks. Ini mengingat tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kemajuan dan ilmu pengetahuan.[6]
Pengertian yang lain menyebutkan bahwa peradaban adalah kumpulan seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya, maupun iptek).[7]
Huntington memberi definisi bahwa peradaban adalah sebuah entitas terluas dari budaya, yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subyektif.[8] Berangkat dari definisi ini, maka masyarakat Amerika –khususnya Amerika Serikat– dan Eropa yang sejauh ini disatukan oleh bahasa, budaya dan agama dapat diklasifikasikan sebagai satu peradaban, yakni peradaban Barat.
Lebih lanjut Huntington menyatakan bahwa term “Barat”, secara universal, digunakan untuk menunjuk pada apa yang disebut dunia Kristen Barat. Dengan demikian, “Barat” merupakan sebuah peradaban yang dipandang sebagai “penunjuk arah” dan tidak diidentikkan dengan nama orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Akan tetapi pengidentifikasian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulturalnya. Secara historis, peradaban Barat adalah peradaban Eropa, namun di era modern ini yang dimaksud dengan peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara.[9]
Dari beberapa pengertian “kebudayaan” dan “peradaban” tersebut di atas tampak sekali terdapat perbedaan di antara keduanya. Di sini, pemikiran yang lebih jelas tentang perbedaan “kebudayaan” dan “peradaban” dapat dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman, seperti Edward Spranger yang mengartikan “kebudayaan” sebagai segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya.[10]
Dengan demikian, maka sebuah bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunya dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan falsafahnya berakar pada kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan kata lain, kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan. Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang.[11]
Sejalan dengan pemikiran Spranger ini adalah Effat al-Syarqawi yang mengartikan “kebudayaan” sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu. Dengan kata lain, “kebudayaan” adalah struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.
Adapun “peradaban” ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya. Di sini “peradaban” meliputi semua pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi, ekonomi, politik praktis, fiqih mu’amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi.[12]
Kaitannya dengan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “peradaban Islam”, menurut Muhammad Husain Abdullah, adalah “sekumpulan pandangan tentang kehidupan menurut sudut pandang Islam.”[13] Pengertian yang lain menyebutkan bahwa “peradaban Islam” adalah peradaban orang-orang Muslim atau peradaban manusia yang diilhami, dilandasi oleh keyakinan Islam. Atau dengan pengertian yang lain, “peradaban Islam” adalah pencapaian hasil budi kaum muslim dalam sejarah.[14]
Adapun yang menjadi orientasi kebudayaan di dunia Islam adalah perbedaan antara alam kosmis, transendental, tatanan keduniaan, serta kemungkinan untuk mengatasi ketegangan yang inheren dalam perbedaan ini berdasarkan ketaatan sepenuhnya pada Tuhan dan kegiatan keduniaan –terutama sekali, kegiatan politik dan militer; unsur universalitas yang kuat dalam definisi tentang komunitas Islam; pemberian akses otonom bagi seluruh warga komunitas untuk memperoleh atribut-atribut tatanan transendental dan keselamatan (salvation) melalui ketaatan terhadap Tuhan; cita-cita ummah, komunitas politik-keagamaan dari setiap pemeluknya, dan gambaran mengenai penguasa sebagai penegak cita-cita Islam, mengenai kemurnian ummah, dan kehidupan komunitas.[15]
Berangkat dari pengertian “peradaban Islam” tersebut di atas, maka berbeda dengan Islam yang sakral, tetap dan abadi, peradaban Islam betapapun besar dan hebatnya, adalah bersifat profan, berkembang dan tidaklah suci. Peradaban Islam, tetaplah seperti peradaban lain, yakni tidak bebas dari kelemahan.
Hal tersebut dapat dibuktikan ketika kita flashback ke masa lalu, dimana Nabi Muhammad saw. mampu menyusun kekuatan baru untuk melakukan reformasi peradaban secara total mulai dari ideologi, teologi, sampai kepada kultural dan hasilnya sangat mengesankan. Kemudian usaha beliau itu dilanjutkan oleh para penguasa muslim melalui fondasi bangunan teologi yang kokoh, penguasaan dan pengembangan sains atas dasar semangat iqra dan amal shalih. Atas dasar itu, sejarah dan khazanah kita di masa lampau --terutama sejak pemerintahan Nabi Muhammad saw. di Madinah hingga tahun 1250 Masehi yang ditandai dengan berakhirnya masa kejayaan Spanyol Islam di daratan Eropa-- umat Islam mampu mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berperadaban tinggi.
Namun demikian, seiring dengan pasang surutnya sebuah peradaban, peradaban Islam pun pernah mengalami masa-masa kejayaan meskipun kemudian mengalami masa kemunduran. Jika pada zaman Abbasiyah umat Islam mampu menjadi sumber ilmu pengetahuan serta menjadi kiblat dunia, termasuk Barat, maka saat ini umat Islam hanya menjadi konsumen dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan masyarakat Barat. Peradaban Baratlah yang saat ini memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia secara umum dan bahkan cenderung menghegemoni peradaban lainnya, termasuk Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sharqawi, Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. A. Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1986
Eisenstadt, S.N., Revolusi dan Transformasi Masyarakat, terj. Chandra Johan, Jakarta: Rajawali, 1986
Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, Cet. VIII, 2004
Hadi W.M., Abdul, “Sutan Takdir Alisyahbana dan Pemikiran Kebudayaannya” dalam http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=140
Wuryaningsih, M.Y. Sri, “Peradaban Kuno Asia dan Afrika 1” dalam http://elcom.umy.ac.id /elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/Sejarah/peradaban%20kuno%20asia%20dan%20afrika%201.pdf.
Warsono, “Menelusuri Derap Peradaban Islam” dalam http://abuafkar.multiply.com/journal /item/48/Menelusuri_Derap_Peradaban_Islam_1
Fikri, Abu, “Membangun Peradaban Islam Tinjauan Fiqh Siyasah” dalam http://www.gaul islam.com/membangun-peradaban-islam-tinjauan-fiqih-siyasah/
[1] Abdul Hadi W.M., “Sutan Takdir Alisyahbana dan Pemikiran Kebudayaannya” dalam http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=140
[2] M.Y. Sri Wuryaningsih, “Peradaban Kuno Asia dan Afrika 1” dalam http://elcom.umy.ac.id /elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/Sejarah/peradaban%20kuno%20asia%20dan%20afrika%201.pdf.
[3] Ibid.
[4] Abdul Hadi W.M., Loc. Cit.
[5] Ibid.
[6] M.Y. Sri Wuryaningsih, Loc. Cit.
[7] Warsono, “Menelusuri Derap Peradaban Islam” dalam http://abuafkar.multiply.com/journal /item/48/Menelusuri_Derap_Peradaban_Islam_1
[8] Samuel Huntington, Op. Cit., hlm. 42
[9] Ibid., hlm. 51
[10] Abdul Hadi W.M., Loc. Cit.
[11] Ibid.
[12] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. A. Rofi’ Usmani. Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 7-9
[13] Abu Fikri, “Membangun Peradaban Islam Tinjauan Fiqh Siyasah” dalam http://www.gaul islam.com/membangun-peradaban-islam-tinjauan-fiqih-siyasah/
[14] Warsono, Loc. Cit.
[15] S.N. Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Masyarakat, terj. Chandra Johan, Jakarta: Rajawali, 1986, hlm. 169
1 komentar:
nice ijin berbagi yah kak
rawit axis
Posting Komentar