Istilah kecerdasan emosional pada mulanya diperkenalkan oleh dua ahli psikologi, yaitu Peter Salovey dari Universitas Harvard, dan John Mayer dari Universitas New Hampshire. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman, penulis buku laris Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ, yang dalam edisi Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia dengan judul “Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional); Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ.”
Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk menggambarkan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein & Book, 2004: 30).
Daniel Goleman (2003: 45) mencirikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Pengertian yang lain disampaikan oleh Pamugari Widyastuti, dosen psikologi Universitas Indonesia. Namun dalam hal ini ia membedakan antara istilah Emotional Intelligence (EI) dengan Emotional Quotient (EQ). Menurutnya, emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan-perasaan yang positif (menyenangkan) dan negatif (tidak menyenangkan), serta kemampuan mengubah suatu perasaan negatif menjadi positif. Sedangkan emotional quotient adalah kesadaran emosi dan kemampuan mengelola emosi, yang memungkinkan seseorang mampu menyelaraskan emosi dan nalarnya sehingga kebahagiaan dapat tercapai secara optimal (Anwar & Mohammad, http://www.gatra.com).
Seorang pakar psikologi, Robert K. Cooper –sebagaimana dikutip oleh Wijaya (2007: 4)– mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Hal ini berarti kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, pengaruh untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa pengertian tersebut di atas memberikan suatu pemahaman bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini yang berperan adalah hati. Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang dipikir menjadi sesuatu yang dijalani. Hati mengetahui hal-hal yang dapat atau tidak dapat diketahui oleh pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen (Wijaya, 2007: 5).
Menurut konsep kecerdasan emosional, yang di-manage adalah emosi. Term emosi ini bukanlah emosi yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena term emosi ini sangat berbeda dengan pengertian emosi dalam psikologi. Emosi dalam pemakaian sehari-hari sering mengacu kepada ketegangan yang terjadi pada individu akibat dari tingkat kemarahan yang tinggi. Singkatnya, kata emosi lazim dipahami oleh masyarakat sebagai ekspresi marah. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dimaksud dalam kajian tentang kecerdasan emosional.
Secara etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin movere yang berarti menggerakkan atau bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e’ untuk memberi arti bergerak menjauh. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Hude, 2006: 16). Menurut makna paling harfiah, Oxford English Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Daniel Goleman (2003: 411), mendefiniskan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Menurut Crow & Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dalam diri) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu (Hartati, dkk, 2004: 90). Definisi yang lebih jelas mengartikan bahwa emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantah dalam bentuk ekspresi tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (Hude, 2006: 23).
Di dunia Islam, kajian atas emosi bukanlah barang baru. Al Qur’an juga hadits banyak sekali menyinggung tentangnya. Di dalam al Qur’an, menurut Nasaruddin Umar, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalb (kalbu). Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam al Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci qalb (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (nafs), intuisi (hadas), dan beberapa istilah lainnya (Hude, 2006: ix). Lebih lanjut, Nasarudin Umar mengelompokkan jenis-jenis dan sifat kalbu (qalb) dalam al Qur’an ke dalam dua kelompok, yaitu kalbu yang positif dan kalbu yang negatif.
a. Kalbu yang positif:
1) Kalbu yang damai (qalb salim) (Q.S. al Syuara’: 89)
2) Kalbu yang bertaubat (qalb munib) (Q.S. Qaaf: 33)
3) Kalbu yang tenang (qalb muthmainah) (Q.S. al Nahl: 6)
4) Kalbu yang berfikir (qulub ya’qilun) (Q.S. al Haj: 46)
5) Kalbu yang mukmin (qulub al mu’min) (Q.S. al Fath: 4)
b. Kalbu yang negatif:
1) Kalbu yang sewenang-wenang (qalb mutakabbir) (Q.S. al Mu’min: 35)
2) Kalbu yang sakit (qalb maridh) (Q.S. al Ahzab: 32)
3) Kalbu yang melampaui batas (qulub al mu’tadin) (Q.S. Yunus: 74)
4) Kalbu yang berdosa (qulub mujrimin) (Q.S. al Hijr: 12)
5) Kalbu yang terkunci, tertutup (khatama Allah ‘ala qulubihim) (Q.S. al Baqarah: 7)
6) Kalbu yang terpecah-pecah (qulubuhum syatta) (Q.S. al Hasyr: 14) (Hude, 2006: xi).
Senada dengan Hude adalah Agustian (2006: 112) yang membagi emosi ke dalam kategori emosi yang tercipta ketika manusia menjauh atau keluar dari garis orbit (off line) dan emosi yang masuk dalam garis orbit (in line). Yang masuk dalam kategori off line adalah emosi yang keluar dari tuntutan hati nurani, sedangkan in line adalah yang sesuai dengan hati nurani. Emosi-emosi tersebut antara lain:
1. Marah, ketika harga diri terguncang (off line)
2. Kecewa, ketika suara hati tidak sesuai dengan kenyataan (off line)
3. Sedih, pada saat merasa kehilangan (off line)
4. Menangis, ketika God Spot tergetar (off line atau in line)
5. Bahagia, ketika suara hati tersentuh (in line)
6. Merasa damai, ketika suara hati menjadi kenyataan (in line)
7. Termotivasi, ketika bersemangat untuk merealisasikan suara hati (in line)
8. Antusias, saat diri merasa mampu untuk merealisasikan suara hati (off line)
9. Merasa aman, ketika suara hati terpenuhi (in line)
10. Kesal, ketika sebuah kenyataan jauh dari suara hati (off line)
11. Menyesal, ketika kesempatan untuk mengaplikasikan suara hati terlewatkan (off line)
Adapun pembagian emosi menurut Daniel Goleman (2003: 412) adalah sebagai berikut:
1) Amarah; seperti beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan tindak kekerasan.
2) Kesedihan; seperti pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, depresi berat.
3) Rasa takut; seperti cemas, takut, gugup, khawatir, waspada, tidak tenang, was was, fobia, dan panik.
4) Kenikmatan; seperti bahagia, gembira, riang, puas, terhibur, bangga, takjub, senang sekali, dsb.
5) Cinta; seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
6) Terkejut; takjub, terkesiap, terpana dsb.
7) Jengkel; jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah dsb.
8) Malu; rasa salah, malu hati, kesal hati, hina, aib, hati hancur lebur.
Uraian tersebut di atas jelas memperlihatkan bahwa qalb (kalbu) secara psikologis memiliki daya-daya emosi yang menimbulkan daya rasa (al syu’ur) yang positif atau yang negatif. Jika daya rasa positif diupayakan untuk selalu diberdayakan, maka potensi ini sangat mungkin untuk dapat dijadikan sebagai media pengembangan tingkah laku salih yang berbasis rasa cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus (ikhlas) dan rasa persaudaraan. Namun jika daya rasa negatif yang dibiarkan, tanpa ada upaya pengendaliannya, maka perilaku yang nampak dipermukaan cenderung selalu menolak terhadap kebenaran, sekalipun datangnya dari Tuhan. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan keadaan psikologis sudah didominasi oleh daya rasa kebencian, ketidaksenangan, kekufuran, keingkaran dan kemunafikan, yang dalam bahasa al Ghazali disebut al Ghadlab (Hadziq, 2005: 107). Oleh karena itu, daya-daya emosi tersebut harus dikelola dan diatur sedemikian rupa agar lebih cerdas secara emosional.
Secara medis –menurut Dr. Mark George, seorang ahli saraf dari International of Mental Health– di dalam otak manusia terdapat dua komponen yang disebut dengan sistem limbik dan amigdala. Di dalam kedua komponen otak inilah emosi manusia diatur. Kecerdasan emosi yang sekarang diketahui sebagai salah satu kunci sukses kehidupan, merupakan fungsi dari kedua komponen otak ini (Pasiak, 2003: 99).
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya memaksimalkan kedua komponen otak tersebut agar emosi menjadi lebih cerdas? Menurut Peter Salovey terdapat 5 (lima) dimensi EQ. Apabila seorang individu menguasai kompetensi yang menyebar pada kelima dimensi EQ tersebut, akan membuat seseorang menjadi lebih paham terhadap pribadinya atau memiliki kecerdasan emosional (Goleman, 2003: 58). Kelima dimensi itu adalah mengenali emosi diri (self awareness), mengelola emosi (self regulation), memotivasi diri sendiri (motivation), mengenali emosi orang lain (empathy), dan membina hubungan atau keterampilan sosial (social skill).
1. Mengenali emosi diri (self awareness).
Kompetensi dalam dimensi pertama ini adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri. Hal ini penting mengingat ketidakmampuan untuk mencermati perasaan sesungguhnya akan membuat seorng individu dikuasai oleh perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaan adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka (Goleman, 2003: 58).
Ajaran Socrates “kenalilah dirimu” serta hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia benar-benar mengenali Tuhannya”, jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional (Sukidi, 2004: 44).
2. Mengelola emosi (self regulation)
Emosi tentu saja tidak cukup hanya dikenali saja, tetapi lebih dari itu harus pula disadari eksistensinya dan dikelola agar dapat memberi pengaruh yang positif dalam kehidupan. Oleh karena itu, kompetensi dimensi kedua ini adalah mengelola emosi. Perasaan perlu ditangani dan dikendalikan agar dapat terungkap dengan pas. Ketika perasaan sedang senang tidak perlu terlalu berlebihan dan ketika sedang down, murung, cemas, atau tersinggung, juga tidak terlalu berlebihan.
3. Memotivasi diri sendiri (motivation)
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, serta untuk berkreasi. Goleman (2003: 58) menyatakan bahwa kendali diri emosional –menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati– adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
4. Mengenali emosi orang lain (empathy)
Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain (Goleman, 2003: 59). Mengasah kemampuan untuk mengenal emosi orang lain sangat diperlukan dalam berhubungan dengan siapapun karena hal ini akan menentukan cara kita mensikapi keadaan sekitar. Selain itu, kemampuan mengenal emosi orang lain dan mensikapinya secara tepat akan berpengaruh besar pada “kesuksesan” dalam berhubungan dengan orang lain.
5. Membina hubungan atau keterampilan sosial (social skills)
Maksudnya adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasif (mempengaruhi), mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan silang pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building (Sadili, http://groups.google.com).
Uraian tersebut diatas memberi sebuah pemahaman bahwa dalam mengarungi kehidupan seseorang tidak hanya cukup memiliki IQ yang tinggi saja, apalagi ketika berinteraksi interpersonal maupun intrapersonal. Oleh karena itu perlu di dukung pula jenis kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan emosional. Keberhasilan seseorang dalam kehidupan sangat ditentukan oleh keduanya. Kecerdasan intelektual (IQ) tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. Apabila keduanya dapat berinteraksi dengan baik, maka akan semakin bertambah kualitas kehidupan seseorang.
Menurut Wipperman (2007: 5) emosi dan akal bagaikan dua sisi mata uang. EQ adalah penjelmaan dari suatu tolok ukur kekuatan otak (IQ). Jadi, IQ dan EQ adalah dua sumber yang sinergis: tanpa yang satu maka yang lainnya menjadi tidak lengkap dan tidak efektif. Berbekal IQ yang tinggi, seseorang dapat mendapatkan nilai yang tinggi dalam tes, tetapi tidak akan menjamin dapat menjadi yang terdepan dalam hidup. Hal ini karena domain EQ adalah hubungan-hubungan personal dan interpersonal; daerah ini bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, sensitifitas sosial, dan adaptabilitas sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Stein, Steven J. & Book, Howard E., 2004, Ledakan EQ; 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, Cet. V, Bandung: Kaifa
Goleman, Daniel, 2003, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, Cet. XIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Anwar, Mauluddin dan Mohammad, Herry, “Kecerdasan Beragama”, Jakarta: Gatra, Nomor 6/IV, 27 Desember 1997. Lihat dalam http://www.gatra. com/IV/6/aga-6.html
Wijaya, Diana, 2007, Peluang Meningkatkan Karir dengan Inteligensi (Kecerdasan), Jakarta: Restu Agung
Hude, M. Darwis, 2006, Emosi; Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al Qur’an, Jakarta: Erlangga
Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan Psikologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Agustian, Ari Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey melalui al Ihsan, Cet. X, Jakarta: Arga
Hadziq, Abdullah, 2005, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL
Pasiak, Taufik, 2003, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al Qur’an, Bandung: Mizan
Sukidi, 2004, Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting daripada IQ dan EQ, Cet. II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sadili, Muhtar, “Kecerdasan Paripurna Anak Didik” dalam http://groups.google.com
Wipperman, Jean, 2007, Meningkatkan Kecerdasan Emosional; Program Praktis untuk Merangsang Kecerdasan Emosional Anda, terj. Winianto, Jakarta: Prestasi Pustakaraya
2 komentar:
artikel yang bagus. makasih.
My blog
terimakasih untuk pengertiannya kak
call center axis 24 jam
Posting Komentar