Konsep ‘adalah atau ‘adl adalah konsep yang paling beragam di kalangan ulama’ hadis. Syuhudi Ismail, misalnya, mengumpulkan lima belas pendapat ulama’ yang mendefinisikan ‘adl, dan dari kelima belas pendapat tersebut ternyata tidak ada yang secara utuh sama.
Dari kelima belas pendapat itu antara lain adalah yang disampaikan oleh al Hakim al Naysaburi, yang mensyaratkan ‘adl itu sebagai beragama Islam, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat; Ibn Shalah dan al Nawawi menyatakan bahwa ‘adl ialah beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, dan tidak berbuat fasiq.[1]
Lain lagi dengan apa yang disampaikan oleh al Khatib al Baghdadi yang mengatakan bahwa ‘adl-nya rawi tercermin dalam kemantapan beragamanya, sekaligus terhindar dari segala bentuk ke-fasiq-an dan rendahnya muru’ah. Ini dikuatkan oleh Subhi al Shalih yang menyatakan bahwa ‘adl-nya rawi terlihat pada pengalaman dan ketekunannya dalam menunaikan ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.[2]
Selain itu, menurut ulama’ hadits yang lain, ‘adl itu harus menjauhi dosa yang kecil, beritanya layak dipercaya, biasa berkata benar, serta menjauhi perbuatan yang merusak muru’ah dan kehormatan.[3]
Adapun menurut Ibn al Sam’ani, ke-adl-an seorang rawi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat,
b) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun,
c) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurau yang berlebihan.
d) Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan syara’.[4]
Demikianlah beberapa pendapat tentang ‘adl-nya rawi. Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan ke-‘adl-an rawi adalah sebagai berikut:
Ø Popularitas keutamaan dan kemuliaannya dikalangan ulama’ hadits,
Ø Penilaian dari para kritikus rawi yang berisi pengungkapan terhadap kelebihan dan kekurangan yang ada pada rawi tersebut, dan
Ø Penerapan kaidah al Jarh wa al Ta’dil yang dipakai ketika para kritikus rawi tidak sepakat dalam menilai seorang rawi. [5]
Kaitannya dengan al Jarh wa al Ta’dil, Abu ‘Abd al Rahman Ibn Abu Hatim al Razi dalam kitabnya al Jarh wa al Ta’dil merumuskan kata ta’dil secara berurutan sebagai berikut:
Pertama, ialah tsiqah dan mutqin.
Kedua, ialah shaduq atau mahalluhu al shidq atau la ba’sa bih. Hadits yang bersumber dari kelompok ini dapat ditulis dan dapat dijadikan bahan. Tapi menurut Zainudin al Iraqy, hadits yang berasal dari kelompok ini kurang dlabith, sehingga haditsnya perlu dipantau ke-dlabith-annya.
Ketiga, ialah syaikh. Dari kelompok ini dapat ditulis haditsnya dan dapat diperhatikan.
Keempat, ialah shalih al hadits, berarti haditsnya dapat diajadikan hukum.
Adapun yang berkaitan dengan al Jarh (celaan) secara berurutan, menurut Ibnu Abi Hatim ar Razi sebagai berikut:
Pertama, ialah layyin al hadits. Hadits yang berasal dari kelompok ini dapat ditulis tetapi harus berhati-hati. Jelasnya, haditsnya dapat dipakai tetapi dicela.
Kedua, ialah laysa bi Qawwiy (tidak kuat). Yang berasal dari kelompok ini hanya dianggap sebagai pengumpul.
Ketiga, ialah dlaif al hadits. Hadits yang berasal dari kelompok ini tidak dibuang, tetapi harus berhati.
Keempat, ialah matruk al hadits atau dzahib al hadits atau kadzdzab. Yang berasal dari kelompok ini, haditsnya gugur dan tidak dapat dijadikan dasar hukum.[6]
Kembali ke masalah ke-‘adl-an, nuansa konsep ‘adl di atas, sebenarnya dilandasi oleh keketatan dan kelonggaran ahli hadits dalam menentukan status sanad hadits. Nuansa-nuansa tersebut, menunjukkan bahwa konsep ‘adl dikalangan ahli hadits, rawi hadits itu tidak cukup hanya dengan menyebutkan Muslim yang “taqwa”, tetapi harus lebih menukik lagi kepada sifat-sifat seseorang dan kepribadiannya, sehingga urusan-urusan yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, seorang rawi harus mempunyai kepribadian yang utuh, mampu menjaga diri dalam berbicara dan bertindak meskipun secara lahiriah dan menurut kebiasaan perbuatannya diperbolehkan. Rawi hadits juga harus diketahui, ma’ruf, tidak mubham (samar) atau tidak majhul (dikenal) bahwa dia itu tawadlu’, wara’, dan qana’ah dalam hidup.[7]
Adapun lafadz ta’dil dan tingkatannya yang biasa dipergunakan untuk menyatakan bahwa pe-rawi itu ‘adil atau dapat dipercaya adalah sebagai berikut:
a. Kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa seorang pe-rawi itu tidak ada cacatnya atau bahwa ia dipercaya adalah Atsauqun nas, Ilaihi Muntaha, Adlbathun nas, dan La a’rifu lahu nadhiran fi al dunya.
b. Tingkat kedua adalah kata seperti Fulan la yus’alu ‘anhu.
c. Kata-kata yang termasuk tingkatan ketiga adalah tsiqah-tsiqah atau tsabat-tsabat, tsiqah ma’mun, dan shahih hadits.
d. Tingkatan keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dlabith dan hafidh.
e. Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi.
f. Kata-kata yang menduduki derajat keenam dan mendekati pencacatan adalah kata laisa bi ba’idin min al shawab, jarwa haditsuhu, muqarabat al hadits, shadiqun insya Allah atau arjuan la ba’sa bihi.[8]
Adanya konsep ‘adl atau ‘adalah ini dianggap sangat penting dan bahkan harus ada dalam penilaian karakter periwayat suatu hadits. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin keaslian hadits bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Selain itu, juga dimaksudkan dalam rangka memposisikan hadits pada arah yang semestinya, terutama dalam rangka menjadikannya sebagai hujjah keagamaan yang diyakini dalam mengamalkannya.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asymuni, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta: LPPI UMY, 1998
Al Munawar, Said Agil Husin, al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000
Soebahar, M. Erfan, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadapPemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Sutari, Endang, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997
Sutarmadi, Ahmad, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998
[1] M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits; Ijtihad al Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 81
[2] Asymuni Abdurrahman, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, Yogyakarta: LPPI UMY, 1998, hlm. 31
[3] M. Abdurrahman, Loc. Cit.
[4] Endang Sutari, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997, hlm. 140
[5] Ibid., hlm. 32
[6] Ahmad Sutarmadi, al Imam al Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 132 et.seq.
[7] M. Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 82
[8] Said Agil Husin al Munawar, al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002, hlm. 164
[9] M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al Sunnah; Kritik Musthafa al Siba’i terhadapPemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr al Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 189