Theologi skolastik pada masa abad pertengahan banyak dipengaruhi oleh karya-karya filsafat dan sains Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke- 2 H / 8 M, yang kemudian bercabang dan berkembang menjadi suatu gerakan filosofis dan ilmiah yang cemerlang dan kuat, yang menghasilkan karya-karya yang orisinil dan bernilai tinggi pada abad ke- 3 H / 9 M sampai abad ke- 6 H / 12 M.
Bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun karya-karya ilmiah ini adalah bahan-bahan Yunani atau yang disimpulkan dari ide-ide Yunani, karena itu dalam materi ataupun isinya, sifatnya adalah sama sekali Hellenistik. Namun begitu, konstruk aktualnya, yakni sistemnya itu sendiri, jelas bermerk Islam.[1]
Contoh yang terkenal adalah bagaimana konstruk pemikiran al Farabi yang begitu terpengaruh oleh teori metafisik dan epistemologi Yunani, khususnya teori Aristoteles dan Plotinus. Hal ini terlihat jelas dalam karyanya al Madinah al Fadhilah. Pola pemikiran ini dalam perkembangannya sering disebut sebagai Islamic Aristotelianism, yakni pemikiran filosof Muslim yang dipengaruhi oleh Aristoteles.[2] Dan sering juga disebut sebagai Neo-Platonisme Islam. Pemikiran yang sangat kental dengan corak pemikiran Aristotelian dan Neo-Platonism inilah yang kemudian mendapatkan kritikan dari sang Hujjatul Islam, al Ghazali lewat salah satu karyanya yang terkenal, yaitu Tahafut al Falasifah. Namun begitu, kritikan-kritikan al Ghazali terhadap al Farabi ini kemudian juga diserang habis-habisan oleh Ibnu Rusyd, di Barat terkenal dengan sebutan Averous, melalui karyanya yang berjudul Tahafut al Tahafut.
Dengan demikian telah terjadi dialog imajiner antara al Farabi, al Ghazali dan Ibn Rusyd, khususnya dalam 3 hal yang meliputi:
- Tentang qodim-nya alam,
- Tentang Tuhan mengetahui juz’iyah atau tidak, dan
- Tentang kebangkitan di akhirat.
Sejarah Singkat Al Farabi, Al Ghazali Dan Ibn Rusyd
Nama lengkap al Farabi adalah Abu Nashr Muhammad Turkhan al Farabi. Kata “al Farabi” dinisbatkan kepada nama kota dimana beliau lahir pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berkebangsaan Iran, sedangkan ibunya berasal dari Turki.
Beliau mencari ilmu ke kota Baghdad dengan berguru kepada Ibn Surai dalam bidang ilmu tata bahasa dan Abu Bisyr Matta Ibn Yunus dalam bidang ilmu manthiq (logika) selama tiga puluh tahun.[3] Beliau pernah menjadi hakim pada usia 40 tahun, tetapi karena merasa tidak cocok, beliau kembali ke dunia ilmu pengetahuan, mengkaji filsafat dan kebenaran metafisika hingga menghasilkan karya-karya seperti al Jami’ baina Ra’y al Hakimain, Tahshil al Sa’adah, ‘Uyun al Masail, dan al Madinah al Fadhilah.
Beliau diakui sebagai orang yang hebat dalam memadukan tradisi filsafat Yunani dengan tradisi Islam, sehingga beliau juga dianggap sebagai “mahaguru kedua” setelah Aristoteles.
Al Farabi menghabiskan waktunya untuk terus mengkaji dan menulis, serta menjalani kehidupan sufi hingga wafatnya pada usia 80 tahun di Damaskus pada tahun 337 H / 950 M.[4]
Tokoh kita yang kedua adalah al Ghazali. Nama aslinya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al Ghazali, namun terkenal dengan sebutan Hujjatul Islam dan juga Zainuddin. Beliau lahir di Thus, sebuah kota kecil di Khurasan (Iran) pada tahun 450 H / 1058 M.
Pada tahun 470 H, beliau belajar kepada Dhiyauddin al Juwaini hingga wafatnya sang guru pada tahun 478 H. Dari al Juwaini ini, beliau belajar Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Ilmu Debat, bersikap dan Filsafat. Beliau pernah menjadi guru besar di Perguruan Tinggi Nizhamiyah, namun akhirnya lebih memilih menjauhkan diri dari keramaian dan kem bali ke kota asalnya Thus selama sembilan tahun. Kemudian beliau mendirikan forum diskusi bagi kaum sufi dan madrasah bagi penuntun ilmu fiqh. Pada tahun 505 H / 1111 M dalam usia 54 tahun beliau wafat.[5] Adapun karya-karyanya antara lain Ihya’ ‘Ulumuddin, al Munkidz min al Dlalal, Tahafut al Falasifah dan lain-lain.
Tokoh yang terakhir adalah Ibn Rusyd. Beliau dilahirkan di Cordova (Spanyol) pada tahun 520 H / 1126 M. nama lengkapnya adalah Abu al Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Di Barat beliau dikenal dengan sebutan Averous dan terkenal sebagai komentator Aristoteles, sedangkan di Timur (dunia Islam), beliau dikenal sebagai orang yang membela kaum filosof dari serangan-serangan al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Beliau meng-counter-nya dengan menulis buku Tahafut al Tahafut.
Ibn Rusyd pernah menjadi dokter di Cordova. Dan pada zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al Manshur, beliau juga bertindak sebagai filosof dan ahli hukum yang paling berpengaruh. Namun begitu, beliau dituduh sebagai penganut filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga akhirnya di penjara di kota Lucena, dekat Cordova. Selanjutnya dipindahkan ke Maroko dan meninggal disana pada tahun 1198 M.[6]
Adapun karya-karyanya antara lain Bidayah al Mujtahid, Kitab al Kulliyat, Syarh al Sama’, Syarh Kitab al Nafs, serta Tahafut al Tahafut.
Qadim-Nya Alam Semesta
Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan Tuhan terdapat dua fenomena, yaitu waktu dan gerak. Ia menjelaskan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan ketika waktu dijadikan sebagai patokan, maka harus pula diasumsikan adanya gerak yang azali dan abadi. Gerak itu haruslah melingkar dan bersambung dalam tempat, sehingga gerak ini pun tidak berawal dan berakhir. Gerakkan ini adalah gerakan pertama yang mengasumsikan adanya Penggerak pertama yang bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.[7]
Dari pola pemikiran Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh sejumlah “sebab” di luar dirinya.[8] Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi (pancaran) adalah pekerjaan akal semata.[9] Dalam hal ini, al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh” yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al.
‘Aql fa’al inilah yang melakukan aktifitas di dunia karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan pemberi bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut siap menerimanya. Jadi, ‘aql fa’al juga merupakan sumber eksistensi jiwa manusia.[10] Dengan kata lain, alam semesta diciptakan bukan dari tiada, melainkan dari sesuatu yang ada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.[11]
Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa aktifitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam “materi pertama” (hayula), yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan “bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiada-an belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada “keabadian” waktu.[12]
Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma) tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.[13] Lebih lanjut al Ghazali menyatakan bahwa qodim berarti tidak bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits). Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam (dunia) ini harus diasumsikan dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.[14] Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta” dalam paham teologi adalah “penciptaan sesuatu dari tiada” (creation ex nihilo). Masih menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”, padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya.[15]
Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri, yakni tidak ada wujud lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja.[16]
Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi:
وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه علىالماءليبلوكم ايكم احسن عملا (هود: )
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7)[17]
Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi:
اولم يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي افلا يوءمنون (الانبياء : )
Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)[18]
Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan. Dengan demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim.[19]
Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir.[20] Selanjutnya, Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan filosof memiliki perbedaan pemahaman tentang apa itu qadim dan hadits. Hadits menurut para teolog berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan bagi filosof, hadits berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.[21]
Tuhan Hanya Mengetahui Yang Universal?
Dalam kerangka teori Aristoteles dan Plotinus, para filosof menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui yang terperinci (juz’iyah atau particular). Ia hanya mengetahui hal-hal yang universal saja karena ‘ilmu (pengetahuan) akan hal-hal yang terperinci akan mendatangkan “perubahan” pada pikiran Tuhan (divine mind).[22] Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa segala peristiwa selalu berubah, sedangkan ‘ilmu selalu mengikuti (tergantung) kepada yang diketahui. Atau dengan kata lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ‘ilmu. Kalau ‘ilmu berubah dari “tahu” menjadi “tidak tahu” atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami “perubahan”, sedangkan “perubahan” pada zat Tuhan mustahil terjadi.[23]
Menanggapi masalah ini, al Ghazali mengatakan bahwa para filosof yang mengatakan demikian itu menunjukkan ketidakberimanan mereka. Sebaliknya, al Ghazali mengatakan bahwa tidak ada sebutir atom pun yang ada di langit dan di bumi yang luput dari pengetahuannya.[24] Selanjutnya, al Ghazali menyatakan bahwa ‘ilmu adalah suatu tambahan, atau pertalian dengan zat. Dalam hal ini al Ghazali memisahkan antara sifat-sifat Tuhan, termasuk ‘ilmu-Nya, dengan zat-Nya. Dengan demikian kalau terjadi “perubahan” pada ‘ilmu tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa. Kemudian al Ghazali menganalogkan, kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.[25]
Terhadap keberatan dan sanggahan al Ghazali ini, Ibn Rusyd menyatakan bahwa para filosof tidak pernah mengatakan demikian. Menurutnya, yang dikatakan oleh para filosof, dalam hal ini adalah Ibn Sina, adalah cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat khusus itu melalui ‘ilmu-Nya yang bersifat kulli dan dengan mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung. Dengan kata lain bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang kongret.
Lebih lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filosof telah menarik garis pemisah antara ‘ilmu Tuhan dan ‘ilmu manusia dengan perbedaan yang sangat esensial. ‘Ilmu manusia merupakan akibat yang timbul dari suatu kejadian yang diketahuinya dan pengetahuannya itu berubah sejalan dengan berubahnya obyek. Sedangkan ‘ilmu Tuhan merupakan sebab bagi adanya sesuatu, yakni bahwa sesuatu itu tidak akan terjadi sekiranya Tuhan tidak mengetahui terlebih dahulu sejak azali. Oleh karena itu, Ibn Rusyd mengatakan bahwa orang yang menyamakan dua macam ‘ilmu ini, berarti ia telah mempertemukan hal-hal yang saling bertentangan. Dan menurut Ibn Rusyd, memperbandingkan antara yang ghaib dengan yang nyata adalah merupakan sikap yang tidak benar dan cenderung jahil (bodoh). [26]Ibn Rusyd juga menyatakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh Tuhan itu menjadi sebab adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil (juz’iyah), maka berarti bahwa pengetahuan Tuhan bersifat menyeluruh (kulli) dan abadi.[27] Dengan demikian cara mengetahui sesuatu oleh Tuhan tidak sama dengan cara yang ditempuh oleh makhluk-makhluk-Nya.
Kebangkitan Di Akhirat; Jasmani Atau Rohani?
Dalam kitabnya al Madinah al Fadhilah, Al Farabi berpendapat bahwa hanya roh-lah yang akan terus hidup sesudah manusia mati, dan selanjutnya, hanya roh-roh para pemikir sajalah yang akan terus hidup, sedangkan roh orang yang ‘tak berkembang’ pikirannya (undevelopped minds) akan musnah di saat mereka meninggal dunia.[28]
Al Ghazali membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pada hari kiamat nanti yang dibangkitkan adalah jiwa dan badan sekaligus, sehingga pahala dan hukuman pun ada yang bersifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani. Bukan seperti yang dikatakan oleh filosof bahwa pahala dan hukuman itu hanya bersifat spiritual dan hanya diterima oleh rohani.[29]
Menanggapi pendapat al Ghazali tersebut, Ibn menjelaskan bahwa para filosof sebenarnya tidak menolak adanya kebangkitan, bahkan semua agama mengakui adanya kehidupan di akhirat. Hanya saja, kehidupan di akhirat menurut filosof itu tidak sama dengan kehidupan di dunia. Ibn Rusyd memberikan contoh bahwa di sorga kelak terdapat apa saja yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, serta tidak pernah tergores dalam kalbu manusia.
Lebih lanjut Ibn Rusyd menganalogikan antara “tidur” dan “kematian”. Menurutnya, perbandingan antara “tidur” dan “kematian” itu merupakan bukti yang terang untuk mengatakan bahwa jiwa itu hidup terus, meski aktifitasnya berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah berhenti. Oleh karena itu, sudah semestinya keadaan jiwa pada saat “kematian” itu sama dengan pada saat “tidur”.[30]Perbandingan ini menurutnya dapat menunjukkan bahwa antara jiwa dan badan dapat dipisahkan.
Selanjutnya, Ibn Rusyd juga mengutip pendapat Aristoteles bahwa “kematian” adalah pemberhentian. Dan pemberhentian itu haruslah berlaku pada anggota tubuh, seperti halnya pada saat tidur. Kaitannya dengan hal ini, Ibn Rusyd kemudian menuduh al Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam bukunya Tahafut al Falasifah, al Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi juga jiwa. Tetapi pada bagian yang lain, al Ghazali juga mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu, jika ada filosof yang mengatakan adanya kebangkitan dalam bentuk rohani tidak dapat dikafirkan. Namun demikian, Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal kebangkitan di akhirat itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani. Hal ini bertujuan untuk mendorong mereka melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan jahat.[31]
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
Abdullah, M. Amin, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 58
Musthofa, A., Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Hanafi, A., Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978
---------, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994
Mathr, Amirah Hilmy, al Falsafah al Yunaniyah; Tarikhuha wa Musykilatuha, Kairo: Daar Quba’, 1998
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989
Rusyd, Ibn, Tahafut al Tahafut, Kairo: Daar al Mishr, t.t.
Bakry, Hasbullah, Di Sekitar Filsafat Skolastik, Jakarta: Tintamas, Cet. IV, 1984
al Ghazali, Tahafut al Falasifah, Kairo: Daar al Ma’arif, t.t.
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
[1] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 167
[2] M. Amin Abdullah, Antara al Ghazali dan Kant; Fisafat Etika Islam, terj. Hamzah, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 58
[3] A. Musthofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hlm. 126
[4] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, hlm. 119
[5] Ibid., hlm. 197 et.seq.
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, 1978, hlm. 14 et. Seq.
[7] Lihat Amirah Hilmy Mathr, al Falsafah al Yunaniyah; Tarikhuha wa Musykilatuha, Kairo: Daar Quba’, 1998, hlm. 273. lihat juga Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004, hlm. 226
[8] M. Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 59
[9] A. Hanafi, Op. Cit., hlm. 144 et.seq.
[10] Ibid., hlm. 61
[11] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 45
[12] M. Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 62
[13] Ibid.
[14] Lihat Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 379
[15] Harun Nasution, Filsafat dan……..Loc. Cit.
[16] Ibid., hlm. 50
[17] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 298
[18] Ibid., hlm. 451
[19] Harun Nasution, Filsafat dan…….Op. Cit., hlm. 52
[21] Ibid.
[22] Fazlur Rahman, Op. Cit., hlm. 169
[23] A. Hanafi, Op. Cit., hlm. 217
[24] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989, hlm. 161
[25] Ibid., hlm. 220
[26] Ibn Rusyd, Tahafut al Tahafut, Kairo: Daar al Mishr, t.t., hlm. 160
[27] Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik, Jakarta: Tintamas, Cet. IV, 1984, hlm. 72
[28] Fazlur Rahman, Loc. Cit.
[29] al Ghazali, Tahafut al Falasifah, Kairo: Daar al Ma’arif, t.t., hlm. 287
[30] Ibn Rusyd, Op. Cit., hlm. 147
[31] Harun Nasution, Filsafat dan…….Op. Cit., hlm. 54
1 komentar:
So Good bro...ilmiah banget
Posting Komentar