Aliran Syi’ah merupakan salah satu skisme (aliran yang terpisah) yang penting dalam Islam. Selain mengajarkan teologi, di kalangan kaum Syi’ah juga terdapat sekte-sekte yang bergerak di dunia politik, yang dalam hal ini disponsori oleh Hamdan bin Qarmath, yang para pengikutnya kemudian disebut faham Qaramithah, yang sejatinya merupakan salah satu sempalan dari aliran Syi’ah.
Lewat perjuangan yang tidak mudah, akhirnya aliran syi’ah berdiri di Tunisia (Afrika Utara), kemudian mengembangkan sayap di Mesir, dimana khalifah al Mu’izz bersama panglima Jauhar al Khatib al Siqiliy mendirikan kota Kairo, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi pusat kegiatan ilmiah hingga sekarang. Hal demikian terlihat dengan munculnya Universitas al Azhar.
Gerakan Politik Syi’ah Isma’iliyyah
Syi’ah Dua belas Imam, disebut demikian karena mereka mempercayai dua belas imam yang nampak (tidak ghaib), menempati tempat tengah-tengah di antara berbagai cabang-cabang aliran Shi’ah dan juga merupakan cabang yang paling besar. Imam mereka yang terakhir, Muhammad, lahir pada tahun 259 H / 873 M, dikatakan telah menghilang secara misterius, dan kedatangannya kembali selalu mereka tunggu-tunggu sampai sekarang.
Ide tentang imam yang “bersembunyi” ini merupakan ciri khas dari semua cabang alairan Shi’ah, walaupun tidak ada kesepakatan mengenai identitasnya. Perpecahan eksternal utama yang pertama di kalangan Shi’ah timbul berkenaan dengan pengganti imam yang keenam, Ja’far (w. 148 H / 764 M di Madinah). Mayoritas kaum Shi’ah menganggap puteranya, Musa, sebagai penggantinya karena putera yang tertua, Isma’il, dipandang telah berdosa karena meminum anggur. Akan tetapi, sebagian kaum Shi’ah menganggap Isma’il sebagai imam yang berhak, dan sesudah dia, puteranya, Muhammad. Golongan ini kemudian disebut sebagai kaum Isma’iliyyah karena dinisbatkan kepada Isma’il. Selain itu juga di sebut Syi’ah Tujuh Imam, karena mereka menutup rangkaian imam tersebut dengan “menghilangnya” Muhammad ini, yang “kembali”nya mereka tunggu-tunggu sebagai al Mahdi.[1]
Propaganda Isma’iliyyah dilakukan dengan gencar selama abad III – V H/IX XI M hingga aliran ini menjadi sangat kuat di seluruh dunia Islam sejak Afrika Utara hingga India.
Sebagai dasar dari program politiknya untuk mendudukkan di atas tahta seorang Imam-Khalifah, gerakan ini, pada tahap-tahap awalnya, berusaha untuk mengobarkan revolusi sosial dan melalui asimilasi ide-ide dari luar, khususnya ide-ide Neoplatonis dan Gnostik, mereka menyusun suatu sistem filsafat di atas mana dibangun suatu agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.
Awal mula propaganda Isma’iliyyah yang aktif dan agresif ini secara tradisional dihubungkan dengan nama seorang ‘Abdullah Ibnu Maymun al Qaddah, tetapi penyeledikan yang lebih akhir oleh W. Ivanov telah meragukan ceritera-ceritera tersebut karena sumber-sumber Syi’ah sendiri berbicara tentang dia sebagai seorang tokoh dari masa yang lebih awal.[2]
Kalangan Isma’iliyyah abad kesembilan merupakan misionaris yang aktif dan ahli organisasi politik. Ketika Syi’ah di Baghdad berusaha mempertahankan posisi mereka di tengah pemerintahan dan masyarakat Abbasyiyyah, kalangan Isma’iliyyah berjuang untuk memasukkan unsur kesukuan dan masyarakat petani di Arabia, Syiria, Irak, Afrika Utara, dan di kota-kota besar Iran, mendakwahkan ajaran persamaan dan keadilan, keperluan akan upaya pembaharuan dan datangnya al Mahdi. Kalangan misionaris Isma’iliyyah memikat sejumlah warga baru kepada versi Islam mereka dan melancarkan pemberontakan di berbagai tempat melawan khilafah Abbasyiyyah. Beberapa dinasti Isma’iliyyah didirikan di Afrika Utara, wilayah Caspia, Bahrain, Multan, dan di berbagai tempat lainnya.[3]
Kaum Isma’iliyyah mengadakan suatu revolusi dan kampanye sosio-religius di bawah kepemimpinan Hamdan Qarmath, yang menyebabkan mereka kemudian disebut kaum Qarmathiyyah (Qaramithah).[4] Ia membangun sebuah benteng kuat dekat Kufah (kira-kira 277 H / 890 M) di Iraq dan mengenakan sumbangan wajib bagi pengikut-pengikutnya. Proses perpajakan ini segera digantikan oleh suatu masyarakat type komunis, yakni komunisme atas semua barang-barang yang menjadi sumber kemanfaatan umum, atas nama imam. Akan tetapi, kaum Qarmathiyyah melakukan terorisme dan kejahatan-kejahatan yang mengerikan sehingga membangkitkan kemarahan dan ketakutan. Mereka kemudian ditindas dan lama kelamaan hilang dari masyarakat. Namun propagandis-propagandis Isma’iliyyah untuk “keluarga Fathimah” telah memanfaatkan gerakan Qarmathiyyah ini, dan di atas puing-puing kehancurannya membangun dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara dan Mesir.[5]
Berdirinya Dinasti Fathimiyyah
Dinasti Fathimiyyah berdiri berdiri tahun 297 – 567 H / 909 – 1171 M. semula di Afrika Utara, kemudian di Mesir dan Syiria. Dinasti ini beraliran Shi’ah Ismailiyah, dan pendirinya, yakni Ubaidillah al Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara menisbahkan nasabnya hingga Fatimah binti Rasulullah SAW, istri Ali Ibn Abi Thalib. Oleh karenanya dinamakan dinasti Fathimiyah, walaupun kalangan Sunni meragukan asal-usulnya sehingga mereka menamakan “al ‘Ubaidiyyun” sebagai ganti dari “Fathimiyyun”.[6]
Berdirinya Dinasti Fathimiyyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, dimana kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad mulai melemah dan daerahnya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur atau sultannya memiliki tentara sendiri.
Kondisi ‘Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta membuka kesempatan bagi kelompok syi’ah, khawarij, dan kaum mawali untuk melakukan kegiatan politik.[7]
Di Afrika Utara, kelompok syiah Isma’iliyyah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 H ‘Ubaidillah al Mahdi memproklamasikan berdirinya Khilafah Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan ‘Abbasiyyah. Ia mulai memperkuat dan mengkonsolidasikan khilafah-nya di Tunisia dengan bantuan Abdullah al Syi’i, seorang da’i Isma’iliyyah yang sangat berperan dalam mendirikan dawlah Fathimiyyah di Tunisia.
Sebenarnya, pendirian Khilafah Fathimiyyah ini tidak semulus yang dibayangkan, karena pada waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung ‘Abbasiyyah. Selain itu juga terdapat perlawanan dari kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia serta dari kelompok Khawarij dan Barbar.[8]Meski begitu, ‘Ubaidillah dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara, yakni Aghlabiyyah di Aljazair, Rustamiyyah yang khawarij di Tahart, dan Idrisiyah di Fez. Adapun yang menjadi pusat pemerintahan khilafah ini pertama kali adalah di al Mahdiyah, sekitar Qairawan.[9]
Setelah basis kekuasaan di Tunisia kuat, Khilafah Fathimiyyah kemudian mengembangkan sayapnya di samping ke barat juga ke timur. Di bawah al Mu’izz (khalifah keempat) dengan panglima Jauhar al Khatib al Siqiliy, Khilafah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir. Di negeri itulah mereka mendirikan kota baru yang di beri nama Kairo, al Qahiroh, berarti yang berjaya atau kota kemenangan.[10]
Kota Kairo ini dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H / 969 M, atas perintah Khalifah[11] Fathimiyyah, al Mu’izz li Dinillah (953 – 975 M), dan digunakan sebagai ibukota kerajaan dinasti itu. Bentuk kota ini hampir merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih dapat ditemui peninggalannya.
Berdirinya kota Kairo ini membuat Baghdad mendapat saingan. Setelah pembangunan kota Kairo rampung dam lengkap dengan istananya, al Siqily mendirikan Masjid al Azhar, 17 ramadhan 359 H / 970 M. Masjid ini kemudian berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama al Azhar ini diambil dari kata al Zahara’, julukan Fathimah binti Rasulullah, isteri Ali Ibn Abu Thalib, Imam pertama Shi’ah.
Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah mengalami masa-masa keemasan pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al Mu’izz, al ‘Aziz, dan al Hakim. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa kebijakan mereka dalam menjalankan pemerintahan serta kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa-masa pemerintahan mereka.
Dalam menjalankan pemerintahan, khalifah al Mu’izz li Dinillah melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga pengadilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua lagi untuk madzhab Sunni.[12]
Penerus al Mu’izz, yakni al ‘Aziz, kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru. Istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan tehnologi waktu itu.[13]
Dan pada masa khalifah setelahnya, yakni Hakim Biamrillah (996 – 1021 M) Dinasti Fathimiyyah mendirikan Baitul Hikmah. Pendirian ini terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh al Makmun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga ini juga merupakan pusat pengkajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah.[14]
Dinasti Fathimiyyah dapat maju antara lain karena militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun Fathimiyyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok Nasrani dan Suni yang sudah lebih dulu mapan di Mesir.
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan al Aziz, pamor Dinasti Fathimiyyah menurun karena banyak khlaifah-khalifahnya yang diangkat pada usia yang masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan pejabat istana dan dikalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan, dan Sudan, terlebih-lebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada rakyat yang mayoritas Sunni.[15]
Pada masa-masa selanjutnya, Dinasti Fathimiyyah mulai mendapat gangguan-gangguan politik, dan akhirnya ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Shalah al Din, seorang pahlawan Islam terkenal dalam Perang Salib.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, bagian satu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Engineer, Asghar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baehaqy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VII, 1998
Esposito, John L., Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, Jilid VI, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002
[1] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. III, 1997, hlm. 256 et.seq.
[2] Ibid., hlm. 257
[3] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, bagian satu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 183
[4] Qarmathiyyah ini merupakan sub-aliran Shi’ah Isma’iliyyah.
[5] Fazlur Rahman, Loc. Cit., Lihat juga Asghar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baehaqy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 309-315
[6] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 116 et.seq.
[7] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, Jilid VI, Bandung: Mizan, Cet. II, 2002, hlm. 5
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ali Mufrodi, Op. Cit., hlm.117
[11] Istilah khalifah ini dipakai untuk menandingi khilafah Abbasyiyah di Baghdad.
[12] Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VII, 1998, hlm. 281-283
[13] John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 6
[14] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 284
[15] John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 7
[16] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 285
1 komentar:
makasih kak membantu dan sangat bagus sekali
axis id
Posting Komentar