Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar peserta didik. Motivasilah yang mendorong peserta didik ingin melakukan kegiatan belajar. Oleh karena itu, dalam proses belajar, motivasi menduduki fase pertama dibandingkan fase-fase belajar yang lain.
Dalam fase motivasi ini, peserta didik “harus” bersedia melibatkan diri untuk mencapai tujuan belajar. Dan di lain pihak, seorang pendidik juga diharapkan mampu memberikan “pencerahan” kepada peserta didik akan tujuan yang ingin dicapai serta membantu peserta didik mencapai tujuan belajar secara efisien. Artinya, dengan usaha seminimal mungkin, tetapi mencapai tujuan semaksimal mungkin.
Menghadapi peserta didik dengan semangat belajar yang tinggi, tentunya tidak terlalu menjadi persoalan yang serius. Namun tidak demikian dengan peserta didik yang cenderung malas dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dari luar yang mampu memberi semangat atau motivasi kepada peserta didik untuk terus giat dalam belajar.
Di sini, memotivasi peserta didik merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar. Jika guru telah berhasil membangun motivasi peserta didik, maka dapat dikatakan guru itu telah berhasil dalam mengajar. Namun pekerjaan ini tidaklah mudah. Memotivasi peserta didik tidak hanya menggerakkan peserta didik agar aktif dalam pelajaran, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan peserta didik terdorong untuk belajar secara terus menerus, walaupun dia berada di luar kelas ataupun setelah meninggalkan sekolah.
Pengertian Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari akar kata “motive” atau “motiwum” yang berarti “sebab yang menggerakkan”. Kata “motive” atau “motif” ini bila berkembang menjadi motivasi, artinya menjadi “sedang digerakkan atau telah digerakkan oleh sesuatu, dan apa yang menggerakkan itu terwujud dalam tindakan”.
Dilihat dari segi etika, motif didefinisikan sebagai pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menjadi penyebab seseorang melakukan suatu tindakan. Adapun motivasi diartikan sebagai dorongan yang menggerakkan serta mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan apa yang dikehendakinya, yang tertuju kepada tujuan yang diinginkannya.[1]
Dari sudut pandang psikologi, istilah motif dan motivasi juga terdapat sedikit perbedaan, meskipun sebenarnya dua istilah itu merupakan dua hal dalam satu kesatuan. Motif berarti daya dorong untuk untuk bertingkah laku, sedangkan motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.[2]
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut McDonald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.[3]
Dari pengertian yang dikemukakan oleh McDonald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan. Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.
Atas pandangan ini, maka tingkah laku yang digerakkan hampir pasti memiliki keterkaitan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai, baik yang bersifat pemuasan kebutuhan biologis, maupun dalam keterkaitannya dengan kebutuhan psikologis.[4]
Menurut al Ghazali, munculnya tingkah laku psikologis manusia –yang cenderung baik dan terpuji– disebabkan oleh tiga faktor pendorong, yaitu:
a. Kebutuhan akan penghargaan berupa pahala dan surga dari Allah; kebutuhan ini merupakan peringkat paling dasar. Dorongan atau motivasi ini biasanya dimiliki oleh orang-orang awam dan mayoritas umat manusia.
b. Kebutuhan akan sanjungan dari Allah; kebutuhan ini termasuk kategori perngkat sedang. Motivasi ini dimiliki oleh orang-orang saleh, meskipun jumlahnya tidak banyak.
c. Kebutuhan akan keridloan Allah dan kedekatan dengan-Nya; motivasi ini menempati peringkat paling istimewa, seperti halnya motivasi para Nabi, shiddiqien, dan para ulama’.[5]
Berbeda dengan al Ghazali, Abraham Maslow menemukan beberapa jenis kebutuhan manusia yang bersifat hirarkhis, artinya suatu kebutuhan mulai difikirkan apabila kebutuhan yang mendahuluinya (dibawahnya) sudah terpenuhi. Secara hirarkhis, kebutuhan-kebutuhan tersebut dilukiskan sebagai berikut:
Semua jenis kebutuhan yang terdapat dalam diri manusia tersebut oleh Maslow digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Deficiency need, yaitu kebutuhan yang timbul karena kekurangan. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan bantuan orang lain. Deficiency need ini meliputi: kebutuhan jasmaniah, keamanan, memiliki dan mencintai serta harga diri.
b. Growth need, yaitu kebutuhan untuk tumbuh. Pemenuhan kebutuhan ini tidak tergantung pada orang karena peranan kemampuan diri sendiri yang akan menentukan berhasil tidaknya seseorang memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini antara lain; aktualisasi diri, mengetahui dan estetis.[6]
Berdasarkan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan tersebut itulah, menurut Maslow, setiap tingkah laku manusia dilakukan.
Kaitannya dengan kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Menyoroti istilah motivasi dari sumber yang memberikan dorongan, maka dapat ditemukan bahwa sumber dorongan itu bisa datang dari dalam atau dari sesuatu yang menggerakkan keinginan dari luar. Sumber penggerak motivasi yang berasal dari dalam cenderung beranjak dari kebiasaan individu (yang telah berkembang secara kompleks), sedangkan motivasi yang sumber penggeraknya datang dari luar selalu disertai oleh persetujuan, kemauan, dan kehendak individu.[7]
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan bahwa motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik.
1. Motivasi Intrinsik
Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri, untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang peserta didik yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tetapi bisa jadi telah menjadi kebutuhannya.
Dalam proses belajar, motivasi intrinsik ini memiliki pengaruh yang lebih efektif karena motivasi intrinsik relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar (ekstrinsik). Meskipun demikian, ketika motif intrinsik tidak cukup potensial pada peserta didik, maka pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik.[8]
Menurut Arden N. Frandsen, yang termasuk dalam motivasi intrinsik untuk belajar anatara lain adalah:
a. Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
b. Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
c. Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalnya orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya;
d. Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.[9]
2. Motivasi Ekstrinsik.
Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian peserta didik mau melakukan sesuatu atau belajar.
Motivasi ekstrinsik ini mutlak diperlukan bagi peserta didik yang tidak ada motivasi di dalam dirinya. Di sini peran dari orang tua, guru, masyarakat serta lingkungan sekitar peserta didik harus memberi respons yang positif bagi peserta didik, sebab jika tidak akan mempengaruhi semangat belajar peserta didik menjadi lemah. Adapun yang termasuk ke dalam motivasi ekstrinsik adalah pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orang tua, dan lain sebagainya.[10]
Namun demikian, biasanya motivasi ekstrinsik ini tidak bertahan lama, sebab bila umpan-umpan untuk memotivasi masih menarik, maka kegiatan masih tetap berjalan, namun tidak selamanya seorang guru –dan juga orang tua maupun lingkunngan sekitarnya– mampu terus mengumpan peserta didik untuk dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itulah meskipun telah digunakan beberapa metode dalam mengajar masih ada anak yang belum mampu mengikuti proses belajar secara maksimal.[11]
Dari sini dapat dipahami bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam perspektif kognitif, dari kedua jenis motivasi tersebut di atas, motivasi yang lebih signifikan bagi peserta didik adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Dorongan mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, misalnya, memberi pengaruh lebih kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan “keharusan” dari orang tua dan guru.[12]
Sedemikian pentingnya motivasi dalam proses belajar, maka seorang guru/pendidik semaksimal mungkin “harus” berusaha menumbuhkan motivasi belajar dalam diri peserta didik. Namun demikian, sebenarnya –dalam proses pembelajaran– meningkatkan motivasi belajar tidak hanya melibatkan guru/pendidik saja. Hal ini mengingat bahwa menumbuhkan/meningkatkan motivasi belajar harus melibatkan pihak-pihak sebagai berikut:
1. Peserta didik
Peserta didik bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri untuk meningkatkan motivasi belajar pada dirinya agar memperoleh hasil belajar yang memuaskan. Motivasi berupa tekad yang kuat dari dalam diri peserta didik untuk sukses secara akademis, akan membuat proses belajar semakin giat dan penuh semangat.
2. Guru
Guru bertanggungjawab memperkuat motivasi belajar peserta didik lewat penyajian bahan pelajaran, sanksi-sanksi dan hubungan pribadi dengan siswanya. Dalam hal ini guru dapat melakukan apa yang disebut dengan reinforcement atau menggiatkan peserta didik dalam belajar. Usaha-usaha yang dapat digunakan dalam reinforcement adalah :
a. Mengemukakan pertanyaan
b. Memberikan perhatian
c. Memberi hadiah
d. Memberi hukuman/sanksi
Di sini, kreativitas serta aktivitas guru harus mampu menjadi inspirasi bagi para peserta didiknya. Sehingga peserta didik akan lebih terpacu motivasinya untuk belajar, berkarya, dan berkreasi.
3. Orang tua dan lingkungan
Tugas memotivasi belajar bukan hanya tanggungjawab guru semata, tetapi orang tua juga berkewajiban memotivasi anak untuk lebih giat belajar. Selain itu motivasi sosial dapat timbul dari orang-orang lain di sekitar peserta didik, seperti dari tetangga, sanak saudara, atau teman bermain.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Riyanti, Evi, “Motivasi” dalam file://///Tek3/D/STAF/eviriyanti/trash/lead/bahan%20baru/ motivs1. htm
Hadziq, Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL, 2005
M. Sobri Sutikno, “Peran Guru Dalam Membangkitkan Motivasi Siswa” dalam www.bruderfic. or.id/h-129/peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-siswa.html
Darsono, Max, et.al., Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press, Cet. II, 2001
Baharudin dan Wahyuni Esa Nur, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
Lihat “Motivasi Belajar” dalam http://areev.blogdrive.com/comments?id=193
Lihat “Menemukan Motivasi Belajar Siswa” dalam http://alfurqon.or.id/index.php?option =com content&task=view&id=222&Itemid=110
[1] Evi Riyanti, “Motivasi” dalam file://///Tek3/D/STAF/eviriyanti/trash/lead/bahan%20baru/ motivs1. htm
[2] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang: RaSAIL, 2005, hlm. 124
[3] M. Sobri Sutikno, “Peran Guru Dalam Membangkitkan Motivasi Siswa” dalam www.bruderfic. or.id/h-129/peran-guru-dalam-membangkitkan-motivasi-belajar-siswa.html
[4] Abdullah Hadziq, Op. Cit., hlm. 125
[5] Ibid., hlm. 130 et.seq.
[6] Max Darsono, et.al., Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press, Cet. II, 2001, hlm. 20
[7] Evi Riyanti, Loc. Cit.
[8] Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007, hlm. 23
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat “Menemukan Motivasi Belajar Siswa” dalam http://alfurqon.or.id/index.php?option =com content&task=view&id=222&Itemid=110
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 137 et.seq.
[13] Lihat “Motivasi Belajar” dalam http://areev.blogdrive.com/comments?id=193
1 komentar:
makasih untuk motivasinya yah kak
axis gangguan
Posting Komentar