Kamis, 04 November 2010

Integrasi IQ, EQ dan SQ; Mungkinkah....???


Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang sebenarnya memiliki kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang memiliki kemampuan intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan ataupun dalam hubungan masyarakat. Dua keadaan tersebut tampaknya perlu dijadikan bahan renungan ttentang cara kita “membaca” kecerdasan.Hal ini menjadi penting karena selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya adalah dalam mekanisme pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya adalah penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering dan recalling.
Jelas ini sangat ironis karena pada dasarnya salah satu kelemahan pendidikan di Indonesia terletak pada aspek afektif. Banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap murid, murid laki-laki terhadap murid perempuan, tawuran pelajar, penyontekan, menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, narkoba, dan lain sebagainya merupakan deretan panjang pelanggaran dalam bidang afekif.
Kondisi yang demikian ini mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia telah terjangkit penyakit klinis yang kronis. Oleh karena itu perlu ada upaya  praktis dari seluruh stakeholders pendidikan di Indonesia dengan merubah paradigma pendidikan yang intelektual sentris (kognitif) menuju paradigma pendidikan yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi intelektual (kognitif), dimensi emosional (afektif) dan juga  dimensi spiritual. Keseimbangan ketiga dimensi tersebut diperlukan mengingat dalam mengarungi kehidupan, seseorang tidak hanya cukup dengan bekal cerdas secara intelektual, namun lemah dalam pengendalian emosi serta hampa dalam urusan spiritual. Hal ini dikarenakan dalam berhubungan dengan manusia, tidak hanya dibutuhkan orang yang cerdas secara IQ, tetapi juga dibutuhkan orang yang cerdas secara emosi. Selain itu, kesuksesan seseorang dalam kehidupan juga tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi IQ yang dimiliki, tetapi EQ juga sangat berperan dalam segala sendi kehidupan. Goleman (2003: 44) meyakini bahwa IQ hanya menyumbang kira-kira 20 % bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80 % sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk kecerdasan emosi.
Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) ini  cenderung berkaitan dengan status manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (dimensi horisontal) serta kurang menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal). Oleh karena itu, sebagai makhluk yang memiliki sifat kemanusiaan (nasut) dan juga sifat ketuhanan (lahut), manusia juga memerlukan jenis kecerdasan lain yang berdimensi vertikal, yang kemudian dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan intelektual (IQ) memang penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara efisien dan efektif. Peran kecerdasan emosional (EQ) juga penting dalam membangun hubungan antar manusia yang efektif sekaligus perannya dalam meningkatkan kinerja, namun tanpa kecerdasan spiritual (SQ) yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, maka keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan yang bernuansa duniawi atau kebendaan saja tetapi hampa dan tanpa makna.
Menurut Agustian (2007: 46) SQ ini adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ diperlukan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan secara komprehensif. Hal ini selaras dengan pandangan Pasiak (2007: 60) bahwa jika rasio dan emosi memberikan kepada manusia keunggulan-keunggulan yang bersifat teknis dan diperlukan untuk mengarungi kehidupan dunia, maka spiritualitas memberikan makna bagi tindakan-tindakan manusia.
Uraian di atas membawa kepada sebuah pemahaman bahwa untuk mencapai kesuksesan baik dalam urusan horisontal (manusia) dan vertikal (Tuhan) diperlukan integrasi antara IQ, EQ, dan SQ, yang menurut Agustian (2006: 217) disebut sebagai meta kecerdasan. Lebih lanjut, Agustian menyatakan bahwa Integrasi dari ketiga macam kecerdasan tersebut harus berorientasi pada spiritualisme tauhid..
Pengintegrasian IQ, EQ, dan SQ menjadi meta kecerdasan bukan sesuatu hal yang mustahil karena pada dasarnya di dalam otak manusia telah tersedia komponen anatomis untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ) (Pasiak, 2003: 18). Hal ini berarti bahwa secara kodrati manusia telah disiapkan sedemikian rupa untuk merespons segala macam hal dengan potensi-potensi yang sudah ada dalam diri manusia.
Bagi seorang pendidik, penemuan para ahli neurosains –sebagaimana  diungkapkan oleh Pasiak– tentang tersedianya potensi-potensi tersebut dalam otak manusia tentu menjadi kabar gembira sekaligus tantangan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan segala potensi yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. secara optimal. Dengan demikian, maka salah satu tugas besar sebagai pendidik adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya.
Upaya untuk mengintegrasikan ketiga potensi kecerdasan tersebut melalui proses pembelajaran tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki kekhasan masing-masing. Latar belakang ekonomi, lingkungan sosial, bakat, minat, pengetahuan serta motivasi antara satu murid dengan murid yang lain tidaklah selalu sama, bahkan cenderung berbeda. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang mampu memahami karakteristik peserta didik sehingga lingkungan sekolah benar-benar dapat memberi kesempatan bagi pengembangan potensi peserta didik agar mencapai titik maksimal (Hamalik, 2007: 3). Selain itu, diperlukan juga kreatifitas dan inovasi dari pendidik agar proses pembelajaran tidak menjemukan –yang tentu saja akan berpengaruh pada prestasi peserta didik– tetapi menyenangkan (enjoyful learning) (EQ),[1] bermakna (meaningful learning) (SQ),[2] dan menantang atau problematis (problematical learning) (IQ).[3] Dengan pembelajaran seperti ini diharapkan tercipta manusia-manusia pembelajar yang selalu tertantang untuk belajar (learning to do, learning to know) (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ) (Abdurrahman, 2007:13), serta selalu memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri yang sesungguhnya (real achievement).
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 2007, Meaningful Learning; Re-invensi Kebermaknaan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Agustian, Ari Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey melalui al Ihsan, Cet. X, Jakarta: Arga

---------, 2007, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Cet. XXXIII, Jakarta: Arga

Hamalik, Oemar, 2007, Psikologi Belajar dan Mengajar, Cet. V, Bandung: Sinar Baru Algesindo

DePorter, Bobby, et.al., 2007, Quantum Teaching; Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, terj. Ary Nilandari, Cet. XX, Bandung: Kaifa

Goleman, Daniel, 2003, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya, Cet. XIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Pasiak, Taufik, 2003, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Neurosains dan Al Qur’an, Bandung: Mizan

--------, 2007, Manajemen Kecerdasan; Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup, Cet. III, Bandung: Mizan


[1] Seringnya badut kelas atau murid pengganggu dianggap sebagai masalah disiplin di kelas. Padahal mereka menolak menyerah kepada kebosanan belajar. Untuk itu, perlu dipertimbangkan tiga cara agar terdapat lebih banyak kegembiraan dalam pengajaran, yaitu afirmasi (penguatan atau penegasan), pengakuan dan perayaan (Bobby DePorter, et.al., 2007: 28)
[2] Pembelajaran pada dasarnya tidak hanya transfer pengetahuan (knowledge), tetapi juga nilai atau makna (value) serta kesadaran. Jadi, pembelajaran idealnya melahirkan kebermaknaan dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pembelajaran yang benar-benar mampu membangkitkan kesadaran masyarakat (Abdurrahman, 2007: 25).
[3] Peserta didik bukanlah “bejana kosong” –meminjam istilah Paulo Freire– yang secara terus menerus menerima dan menghafal materi yang disajikan, tetapi juga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuan berfikir dengan menyampaikan ide atau pendapat untuk memecahkan masalah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design