Rabu, 03 November 2010

Pendidikan dan Hak Asasi Manusia

Diskursus tentang pengembangan pendidikan di Indonesia yang dipresentasikan oleh para ahli pendidikan dan para pengambil kebijakan, baik melalui tulisan-tulisan mereka di berbagai buku, majalah, jurnal dan sebagainya, maupun melalui kegiatan seminar, penataran dan lokakarya, serta kegiatan lainnya, telah memperkaya wawasan dan visi kita dalam mengembangkan pendidikan lokal kita. 
Berbagai pemikiran dan kebijakan mereka perlu dipotret, ditata, dan didudukan kembali dalam suatu paradigma sehingga model-model, orientasi dan langkah-langkah yang hendak dituju menjadi semakin jelas. Lagi pula kalau seseorang hendak melakukan pengembangan dan penyempurnaan, maka kata kuncinya sudah dapat dipegang sehingga tidak akan terjadi salah letak, arah dan langkah, yang pada giliran selanjutnya dapat menimbulkan sikap overacting dalam menyikapi paradigma tertentu yaitu dengan membuat hukum formal sebagai landasan berpijak. Sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh masyarakat luas, dan bukan hanya dinikmati dan dimonopoli oleh kalangan the have.
Sampai saat ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan kita yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan nasional khususnya pengembangan pada jenjang pendidikan, dan sekaligus memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pengembangan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sebagaimana tertuang dalam tujuan pendidikan nasional (pasal 3 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Tujuan mulia di atas selamanya tidak akan terlaksana dengan sempurna apabila permasalahan kesenjangan untuk mengakses pendidikan masih terkotak-kotak. Dengan demikian sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam mewujudkan dan memenuhi hak-hak setiap warganya untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan kemampuan dirinya lewat dunia pendidikan.
Lebih lanjut mengenai pendidikan dan HAM, permasalahan serta relevansinya akan dibahas pada makalah berikut ini.

1.      Pengertian Pendidikan dan HAM
a.       Pendidikan
Pendidikan menurut bahasa adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik, atau pengetahuan tentang mendidik (memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran),[1] yang dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan kata tarbiyah dengan kata kerja rabba yang berarti mendidik.[2]
Sedangkan kata pendidikan menurut kajian etimologi (bahasa) merupakan adopsi kata dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berakar dari asal kata “paedos” dan “agoge”. Paedos berarti anak dan agoge mengandung pengertian membimbing. Sehingga, paedagogie berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.[3]
Secara istilah pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk memujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1 ayat 1, UU No. 20/2003).   
Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses pendewasaan dengan menggunakan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili, mencerminkan segala segi), pendidikan adalah the total process of developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life’s experiences. Seluruh tahap pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.
Menurut Freincan yang disitir oleh Rahardjo menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi penghubung proses tersebut. Proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup bermasyarakat terhadap diri sendiri.[4] 
Dunia pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup bermasyarakat. Dunia pendidikan juga merupakan ujung tombak masa depan bangsa. Tapi mengapa pendidikan seolah-olah tidak mampu menjadi jalan keluar bagi krisis multi dimensi yang sedang dialami bangsa ini.
Pada era sekarang tampak terlihat jelas bahwa pendidikan sangat jauh dan kelihatanya lepas dari kenyataan hidup yang terjadi. Pendidikan kita seolah-olah gagal memposisikan diri sebagai media pendewasaan. Sehingga tidak mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang ada. Untuk itu kualitas pendidikan harus segera diingatkan dengan membongkar berbagai model penindasan yang ada di dunia pendidikan, termasuk pelanggaran HAM.

b.      Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak secara definitif merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan kekbalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.[5]
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kahidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dan dalam manusia.
Menurut Jan Materson (Komnas HAM PBB) yang dikutip oleh A. Ubaidillah menyatakan bahwa HAM merupakan hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.[6]
Istilah yang dikenal di Barat mengenai Hak-hak Asasi Manusia ialah right of man, yang menggantikan istilah natural right. Istilah right of man ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup right of women. Karena itu istilah right of man diganti dengan istilah human right karena dipandang lebih netral dan universal.
Sementara itu HAM dalam Islam lebih dikenal dengan istilah huquq al-insan ad-dhoruriyyah dan huquq Allah. Dalam Islam huquq al-insan ad-dhoruriyyah dan huquq Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan satu dengan lainnya. Inilah yang membedakan konsep Barat tentang HAM dengan konsep Islam.
Selain itu, Islam juga menghormati hak-hak antar sesama, tidak membedakan apakah dia laki-laki ataupun perempuan. Hal ini sesuai denga firman Allah:

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً) ِا لنِّسَاءِ:  )


Artinya: “dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagain kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al Nisa’: 32)[7]
Selain itu, ayat lain yang juga berbicara tentang Ham adalah Q.S. al Taubah ayat 71, yang berbunyi:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (         )

Artinya: “dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al Taubah: 71)[8]
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata “awliya'”, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.[9]
Sedangkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa : Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM di atas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Allah swt. yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap Indonesia masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap kewajiban asasi manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, kewajiban asasi manusia, dan tanggung jawab asasi manusia yang berlangsung secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsur asasi yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan dalam tat kehidupan manusia.
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, menurut Mansour Fakih dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri-ciri pokok hakikat HAM yaitu :
1)      HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2)      HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa.
3)      HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.[10]
Pada Deklarasi Universal tentang HAM atau yang dikenal dengan istilah DUHAM, HAM terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan)serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3 – 21 dalam DUHAM tersebut memuat :
1)      hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2)      hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3)      hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4)      hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
5)      hak untuk pengampunan hukum secara efektif;
6)      hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang;
7)      hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak;
8)      hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
9)      hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat;
10)  hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
11)  hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
12)  hak bergerak;
13)  hak memperoleh suaka;
14)  hak atas satu kebangsaan;
15)  hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16)  hak untuk mempunyai hak milik;
17)  hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama;
18)  hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19)  hak untuk berhimpun dan berserikat;
20)  hak untuk mengambil bagian dalam pemerintah dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Sementara itu dalam UUD 1945 (amandemen I – IV UUD 1945) memuat Hak Asasi Manusia yang terdiri atas hak :
1)      hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
2)      hak kedudukan yang sama di dalam hukum;
3)      hak kebebasan berkumpul;
4)      hak kebebasan beragama;
5)      hak penghidupan yang layak;
6)      hak kebebasana berserikat;
7)      hak memperoleh pengajaran dan pendidikan.[11]

2.      Demokrasi Pendidikan di Indonesia
Ketika berbicara tentang Hak Azasi Manusia (HAM), maka kita tidak akan bisa melepaskan diri dari apa yang disebut sebagai “demokrasi” karena kata demokrasi ini, dewasa ini, menjadi tolok ukur sejauhmana HAM di hargai dalam suatu negara.
Kaitannya dengan hal tersebut di atas, semua intelektual muslim di Indonesia  menerima istilah demokrasi dan mendukungnya sebagai sistem yang harus dijalankan. Pada umumnya dukungan mereka terhadap demokrasi didasarkan pada dua alasan, pertama, nilai-nilainya sesuai dengan nilai-nilai Islam, terutama konsep tentang syura, kedua, ia merupakan cara yang tepat untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan umat Islam.[12]
Perkembangan demokrasi dalam masyarakat menghendaki suatu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat pendidikan terutama peserta didik. Dalam sebuah negara pasca-kolonial yang totaliter seperti Indonesia, pendidikan adalah urusan yang terlalu penting untuk semata diserahkan kepada kehendak masyarakat sendiri,[13] artinya pendidikan harus dikembalikan pada “khitahnya,” yakni mengkondisikan peserta didik mencapai kepribadiannya.[14]
Pendidikan model lama yang menganggap peserta didik sebagai gentong yang diisi semuanya oleh pendidik atau yang oleh Paulo Friere dikatakan dengan sistem bank, perlu diganti dengan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan rakyat (emporing of people).[15] Didalam pendidikan gaya bank, murid tidak diberi ruang gerak yang bebas, tetapi hanya terbatas pada  menerima, mencatat dan menyimpan. Sehingga proses yang terjadi dalam pendidikan hanyalah sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya, sehinga para murid tidak mempunyai kreatifitas sama sekali untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya.
 Anak-anak dipandang sebagai sosok yang hanya berharga jika sesuai citra guru/fasilitator, pengelola pendidikan, dan pemerintah yang menganggap moralis. Anak-anak itu tak pernah mengerti, mengalami dan menyadari makna kebaikan dan kebenaran saat semuanya tersedia oleh paket-paket pembelajaran. Tuhan pun tak pernah dikenal dan disadari, kecuali sifat-sifat hebat-Nya yang harus dihafal tanpa bertanya. Penindasan kehendak adalah pengalaman paling jelas dan otentik sejak anak-anak manusia memasuki bangku sekolah/pelatihan.[16]         
Pendididikan semacam inilah yang terjadi saat ini yang mana pendidikan  masih terpaku pada melestarikan masa lalu, artinya juga melestarikan kebenaran penguasa, sehingga menjadi pengawetan,[17] pendidikan hanya menjadi semacam perpanjangan tangan kekuasaan dan birokrasi dalam upaya menanamkan kepentingannya.[18]
Hal ini tampak dalam Undang-Undang No 25 tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional ( Propenas ) bagian pembangunan pendidikan. Dalam undang-undang tersebut diakui, selama ini manajemen pendidikan masih bersifat sentralistik, sehingga tidak heran bila kebijakan yang diambil telah mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.[19]
Sistem pendidikan yang kemudian terejawantahkan dalam kurikulum pendidikan nasional tak ubahnya menjadi mesin, sedangkan remote control-nya sepenuhnya pada birokrasi. Institusi sekolah sama sekali tidak memiliki ruang dan daya untuk mengembangkan diri dan fatalnya mengabdi pada keputusan dari atas yang lebih sering tak tepat pemikiran dasar dan praktek pelaksanaannya.[20] Akibatnya, masyarakat menjadi tunduk dan dikuasai oleh sistem yang tidak adil.
 Dalam keadaan tersebut, dunia pendidikan mengalami sakit, karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia ( humanisasi ) malah tidak memanusiakan manusia ( dehumanisasi ). Dan kebebasan manusa cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang telah terformatkan.[21] Walhasil pendidikan menjadikan manusia robot dan menciptakan manusia siap pakai.
Hanya karena sekolah memaksa anak-anak menjalani pengalaman-pengalaman yang tidak mereka pilih sendiri dan menanamkan bentuk-bentuk regimentasi, sehingga mematikan spontanitas anak dalam berfikir kritis. Sekolah hampir sama dengan lembaga perantara lain bagi peran serta sosial manusia yang bersifat mengekang.[22] Dan akibatnya muncul adanya kebebasan berfikir yang yang dirampas dan adanya pembengkokan cita-cita sebagai manusia utuh.[23]
Sekolah sebagai bagian sistem pendidikan, seharusnya dapat menjadi tempat persaudaraan murid, sehingga dapat hidup bersama tanpa adanya rasa takut satu sama lainnya dan belajar bersama berdasarkan pertukaran dan gagasan yang kreatif. Sehinga sekolah tidak sebagai arena latihan untuk mempersiapkan orang masuk dalam kekerasan tapi merupakan tempat dimana individu merdeka bisa menyadari hakekat dan martabat dalam relasinya dengan alam lingkungannya.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, lembaga pendidikan yang tidak mengerti kehendak masyarakat niscaya akan ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Karena itu siapa yang kuat dan pintar serta cerdik akan terus maju dan yang berperilaku sebaliknya akan tinggal menjadi catatan sejarah.[24] Karena ditinjau dari pengalaman yang ada selama ini, mendidik yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan lebih berhasil dibandingkan dengan mendidik yang didasarkan atas kepentingan pendidik. Mendidik yang didasarkan atas kepentingan pendidik akan menjadikan siswa tidak berkembang dan tidak dapat mengikuti perkembangan kehidupan yang semakin maju dan penuh persaingan.
Dari realitas diatas jelaslah, tuntunan akan demokrasi sebagai sebuah konsep yang mempunyai nilai luhur dan universal dalam pendidikan sangat dibutuhkan, yang diharapkan dapat memberikan keberhasilan pada pendidikan dalam menstransfer nilai-nilai kemanusiaan.
Sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk berpartisipasi dengan lebih nyata.[25] Hal ini dikarenakan konsep demokratisasi pendidikan memberikan ruangs publik yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat mengambil peran aktif dalam menentukan arah dan kebijakan,merumuskan strategi, sasaran dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
    Dari pemaparan diatas yang dapat diharapkan adalah proses pendidikan Islam harus berdasarkan pada konsep manusia dan kehidupan, dengan demikian dimungkinkan pendidikan Islam mampu melahirkan manusia yang kritis dan kreatif, responsible yang pada akhirnya umat Islam mampu mengambil posisi yang strategis dalam pentas sejarah kehidupan. Umat Islam diharapkan bisa bangun dari tidur panjangnya serta beranjak dari kehidupan yang teralienasi. Umat Islam tidak terus menerus menjadi penonton kemajuan dunia tanpa berani berbuat apapun bagi dirinya.
Untuk mencapai semua harapan itu tidaklah mudah jika kita melihat praktek-praktek pendidikan Islam selama ini. Kesan dan asumsi yang tampak hanyalah betapa jarak yang sangat jauh antara pendidikan Islam dengan tuntutan empirik global. Pendidikan Islam mengalami kemunduran dalam berbagai aspeknya. Tuntutan empirik yang ditandai dengan derasnya arus budaya yang beraneka ragam menerpa kita dan bahkan kadang berseberangan dengan budaya tradisional ataupun nilai-nilai Islam. hal ini menuntut sebuah proses pendidikan Islam yang tidak hanya berhenti pada tujuan yang bernuansa ortodoksi (keakhiratan) tetapi juga meliputi tujuan yang berdimensi ortopraksi (keduniaan).




DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000
Fakih, Mansour, dkk., Menegakan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press, 2003
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai pustaka, Cet. V, 1976
Raharjo dkk, Pendidikan Populer, Yogyakarta: 2001
Rosyada, Dede, dkk., Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2003
Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1987
Ubaidillah, A. dkk., Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000
Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIII, 1996
Abdillah, Maskuri, Demokrasi Dipersimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, (1996-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. vii
Subangun, Emanuel, Dilema Pendidikan, dimuat dalam Kompas, 09 Juli 1999. Lihat  dalam www.kompas.co.id
Suyuti, Sumitro A., Pendidikan Harus Dikembalikan Sebagai Proses Pembudayaan, Kompas, 12 Desember 2000 dalam www.kompas.co.id
Tilaar, H.A.R., Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999
Mulkhan, Abdul Munir, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002
----------, Nalar Spiritual Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, , 2002
 “Pendidikan itu Bukan Pengawetan, Bukan Juga Pusat Pembudayan”, dikutip Kompas, 29 Juni 2001 dalam www.kompas.co.id
“Pendidian Harus Menjadi Milik Masyarakat”, dikutip Kompas, 29 Januari 2001 atau lihat dalam www.kompas.co.id
Anas, Faisol, Menggagas Pendidikan Antisipatoris, Kompas, 01 Juli 1999 dalam www.kompas.co.id 
Kurniadi, “Pendidikan Yang Membebaskan”, dalam http://www.media.is-net//Pendidikan 
Freire, Paulo, et.al., Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Wibowo, Mungin Eddy, Demokratisasi dan Dewan Pendidikan, Suara Merdeka, 25 Februari, 2003, hlm. IV



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai pustaka, Cet. V, 1976, hlm 250.
[2] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, Cet. IV, hlm. 25
[3] Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1987, hlm. 4
[4] Raharjo dkk, Pendidikan Populer, Yogyakarta: 2001, hlm. 25
[5] Dede Rosyada, dkk., Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 199
[6] A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan; Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, hlm. 207.
[7] Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 108
[8] Ibid., hlm. 266
[9] Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIII, 1996, hlm. 417
[10] Mansour Fakih, dkk., Menegakan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press, 2003, hlm. 198
[11] Lihat Ibid., hlm. 221-225
[12] Maskuri Abdillah, Demokrasi Dipersimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, (1996-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. vii
[13]  Emanuel Subangun, Dilema Pendidikan, dimuat dalam Kompas, 09 Juli 1999. Lihat  dalam www.kompas.co.id
[14]  Sumitro A. Suyuti, Pendidikan Harus Dikembalikan Sebagai Proses Pembudayaan, Kompas, 12 Desember 2000
[15] H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999. hlm. 145 et.seq.
[16] Abdul Munir Mulkhan, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Yogyakarta: Kreasi Wacana, , 2002, hlm.6
[17] PendidikanIitu Bukan Pengawetan, Bukan Juga Pusat Pembudayan, dikutip Kompas, 29 Juni 2001
[18] Emanuel Subangun, Loc. Cit.
[19] Lihat “Pendidian Harus Menjadi Milik Masyarakat”, dikutip Kompas, 29 Januari 2001 dalam www.kompas.co.id
[20] Faisol Anas, “Menggagas Pendidikan Antisipatoris”, Kompas, 01 Juli 1999 
[21] Kurniadi, “Pendidikan Yang Membebaskan”, http://www.media.is-net//Pendidikan 
[22] Paulo Freire, et.al., Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 430
[23] Ibid, hlm. 435
[24] Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, hlm. 67 
[25] Mungin Eddy Wibowo, Demokratisasi dan Dewan Pendidikan, Suara Merdeka, 25 Februari, 2003, hlm. IV

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design