Rabu, 03 November 2010

Sistem Pendidikan Islam

Munculnya lembaga-lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung sejak awal lahirnya Islam seperti kuttab, halaqah, suffah, dan selanjutnya madrasah pada masa Bani Saljuk. Dalam konteks keindonesiaan, sistem pendidikan Islam mengalami perubahan ketika pemerintah Belanda mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur dalam bentuk sekolah atau madrasah. Bahkan di kalangan pondok pesantren pun diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah, disamping sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada.

Berbicara tentang sistem pendidikan Islam, hampir tidak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Menurut Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.[1]
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, Nabi Muhammad SAW tampak secara nyata telah mendidik para sahabat dari belenggu jahiliyyah, kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural poverty. Dan melalui “tangan dingin” beliau pula pendidikan di kalangan umat Islam mendapatkan angin segar karena beliau membuka kran lebar-lebar bagi pencarian ilmu, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau mewajibkan setiap muslim/muslimat untuk mencari ilmu. Berangkat dari sini, maka lahirlah sistem pendidikan Islam yang terwujud dalam kuttab, halaqah, sufah sampai kemudian lahir madrasah dan pesantren.

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Berbicara tentang sistem pendidikan Islam dewasa ini tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan umum (non-Islam). Hal ini dikarenakan dewasa ini sistem pendidikan Islam sudah terlembagakan dalam bentuk sekolah-sekolah.
Secara historis, timbulnya lembaga lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.[2]
Namun demikian, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa pendidikan pada masa awal Islam bukanlah enterprise yang diselenggarakan secara modern, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat. Proses pendidikan waktu itu merupakan sesuatu yang alamiah terjadi, dimana ketika ada orang yang mampu membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang tidak dapat membaca dan menghendaki belajar, maka terjadilah proses belajar mengajar. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Namun begitu, biasanya kegiatan seperti ini berlangsung di rumah-rumah para guru atau pekarangan masjid. Contoh misalnya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di rumah al Arqam Ibn al Arqam.[3]
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab[4] pada orang-orang Islam Makkah.[5]
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah.[6] Materi yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam. Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah.[7] Menurut sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.[8]
Format lembaga pendidikan Islam yang lain dapat dilihat dari eksistensi madrasah yang sudah ada sejak zaman klasik Islam dan sampai sekarang terus bertahan serta menampakkan keajegannya (realibilitas) yang tinggi, yang bercirikan keagamaan. Sebagaimana diketahui, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M, khususnya ketika wazir Bani Saljuk, Nidzam al Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Lembaga ini kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par exellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam.[9]
Dalam konteks Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah-rumah, langgar, musholla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian pula dari segi materi, telah terjadi pengembangan dan penyesuaian dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya hanya belajar mengaji al Qur’an, dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah, materi pelajaran mengalami peluasan seperti tawhid, hadits, fiqh, tafsir, dan bahasa Arab. Bahkan, madrasah kemudian mengadopsi pelajaran sebagaimana sekolah-sekolah di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional.[10]
Lembaga pendidikan Islam yang lain yang juga mempunyai tingkat realibilitas (keajegan) yang tinggi adalah pesantren. Diakui, lembaga ini mempunyai peran yang sangat strategis dalam ikut mencerdaskan bangsa, membentuk manusia yang berkualitas dengan internalisasi moral sebagai basis utama penyokongnya. Meskipun pesantren ini banyak diberi label tradisional-konservatif namun ternyata eksistensinya masih dapat terus bertahan dan bahkan semakin menampakkan peran vitalnya di tengah-tengah derasnya gempuran modernisasi dan globalisasi.[11] Hal ini disebabkan globalisasi dan modernisasi yang diusung oleh peradaban Barat, meskipun dengan embel-embel “kemajuan sains dan teknologi”, namun semua itu ternyata “kering” dan hampa makna karena sifatnya yang sekuler dan dipisahkan dari nilai-nilai teologis.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sistem pendidikan Islam dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan, termasuk ketika pemerintah Belanda mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur, dimana sistem pendidikan formal, sekolah atau madrasah dalam perkembangannya mulai tersebar di mana-mana. Bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah, disamping sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada.[12] Berangkat dari sini, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah sebagai wujud pendidikan Islam.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa “pendidikan Islam” tidak hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Tetapi lebih dari itu, pemahaman “pendidikan Islam” harus mencirikan karakteristik sebagai berikut: Pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan dan pendirian pendidikan Islam di dorong oleh hasrat dan semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai dari misi keislaman. Di sini Islam dijadikan sebagai sumber-sumber nilai dan spirit filosofis yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikannya.
Kedua, program pendidikan. Pendidikan akan memberikan perhatian sekaligus menjadikan Islam sebagai pengetahuan untuk materi pengajaran, obyek kajian, dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain.
Ketiga, penggagas dan pemrakarsa, yakni orang-orang Islam yang memiliki kepedulian besar terhadap kelangsungan dan kebenaran Islam. Agar ajaran dan nilai Islam dapat diwariskan dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya, maka perlu didirikan institusi pendidikan yang bernuansa Islam sebagai wahana mentransmisikan nilai-nilai dan budaya Islam.
Keempat, segi institusional atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai simbol-simbol keislaman, baik secara formal “Islam” (SD/SMP Islam) ataupun mengambil nama-nama tokoh (MI/MTs Sultan Fattah), ulama’ (MI/MTs Hasyim Asy’ari), atau pejuang Islam (SD/SMP Sultan Agung), atau bisa juga mengambil nama organisasi Islam sebagai nama lembaga (MTs/MA NU).[13]

UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN ISLAM
1.      Dasar Pendidikan Islam
Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan  dasar sebagai landasan berpijak dalam penentuan materi, interaksi, inovasi dan cita-citanya. Oleh karena itu, seluruh aktivitas pendidikan meliputi penyusunan konsep teoritis dan pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar yang kokoh.
Menurut Hasan Langgulung, ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam yaitu :
a.       Al-Qur’an
Kitab Allah turun untuk menunjukkan manusia kepada keadaan yang lebih baik. Ayat-ayat al-Qur’an terlalu banyak dalam hal ini.
Firman Allah : “Kami tidak menurunkan al-Qur’an kecuali agar engkau menerangkan kepada mereka hal-hal yang mereka perselisihkan dan juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[14]
Juga Firman-Nya : “Inilah kitab yang Kami turunkan kepadamu, lagi diberkati agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan orang-orang yang berfikir itu ingat”.[15]
Selain Firman-firman Allah di atas al-Qur’an juga mempunyai keistimewaan dalam pendidikan yaitu menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, penggunaan cerita-cerita untuk tujuan pendidikan, memelihara kebutuhan-kebutuhan sosial,[16] dan lain sebagainya.
b.      Sunnah Nabi
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik perkataan, perbuatan dan persetujuannya.
c.       Qiyas
Artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh al-Qur’an atau sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam al-Qur’an tidak ada.
d.      Kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash
e.       Ijma’ ulama dan ahli pikir Islam yang sesuai dengan sumber dasar al-Qur’an dan sunnah Nabi[17]
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Sebelum sampai pada uraian tentang tujuan pendidikan Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan fungsi tujuan pendidikan. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa fungsi tujuan pendidikan itu ada tiga, yang semuanya bersifat normatif, yaitu :
a.       Memberikan arah bagi proses pendidikan.
b.      Memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan.
c.       Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran evaluasi pendidikan.[18]
Menurut Hasan Langgulung, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
a.    Tahap Tujuan Akhir
Pada tahap tujuan akhir pendidikan Islam mempunyai tujuan sebagai berikut :
1)      Persiapan untuk kehidupan dunia dan akherat.
2)      Perwujudan sendiri sesuai dengan pandangan Islam.
3)      Persiapan untuk menjadi warga negara yang baik.
4)      Perkembangan yang menyeluruh dan berpadu bagi pribadi pelajar.
b.      Tahap Tujuan Khusus
Pada tahap ini tujuan pendidikan Islam adalah memberikan sejumlah pengetahuan, ketrampilan, pola-pola tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang dikehendaki pada tujuan akhir dan umum bagi pendidikan. Di antara tujuan khusus adalah :
1)      Memperkenalkan kepada murid-murid tentang akidah, dasar-dasar dan pokok-pokok ibadat dan cara-cara mengerjakannya.
2)      Menanamkan rukun iman berdasarkan pada pemahaman, kesadaran dan kecintaan.
3)      Mengembangkan minat murid-murid untuk memperdalam tentang adab kesopanan dan pengetahuan agama.
4)      Menanamkan rasa cinta terhadap al-Qur’an.
5)      Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan Islam.[19]
3.      Kurikulum dalam Pendidikan  Islam
Menurut Hasan Langgulung kurikulum adalah “Sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan”.
Kurikulum mempunyai empat aspek utama dalam pendidikan, yaitu :
1.      Menentukan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu.
2.      Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman (mata pelajaran) yaitu silabus pelajaran supaya disesuaikan dengan tugas dan keperluan-keperluan perkembangan psikologi anak.
3.      Metode dan cara-cara mengajar bagi guru, yaitu menaruh perhatian pada segi efektif dan behavioral daripada agama, jangan hanya kognitif saja
4.      Metode dan cara Penilaian.[20]
Dalam metode dan cara penilaian harus memberi ruang bagi segi efektif dan behavioral sesuai dengan tujuan yang dinyatakan. Sebab penilaian hanya berhasil kalau ia memenuhi dua fungsi, yaitu sebagai pengertian (feed back), yang mana memberi pedoman bagi guru-guru apakah pengajarannya berhasil atau tidak. Dan yang kedua peneguh (reinforcement) yaitu mengekalkan tingkah laku yang diinginkan dan menghilangkan yang tidak diinginkan. Sebab kalau tidak diteguhkan lama-lama tingkah laku (akhlak) itu hilang, dan ini berarti pendidikan tidak berhasil.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah bahwa kurikulum pendidikan Islam, sampai saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan dengan “subyek-subyek sekuler”, dan pada sisi yang lain, dengan “subyek-subyek keagamaan”. Subyek-subyek sekuler biasanya terdiri dari jenis keilmuan umum seperti matematika, fisika, biologi, dan lain-lain. Sementara, subyek-subyek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti al Qur’an & Hadis, fiqh, bahasa Arab dan lain sebagainya.
Dari dikotomi di atas, kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh sains jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis sains-sains alam masih kurang. Sebenarnya, mengkaji dan meneliti kedua jenis sains tersebut sama pentingnya. Memang harus ada prioritas mana yang harus didahulukan, karena mempelajari keduanya secara bersamaan akan dirasakan berat. Oleh karena itu, menurut para ahli pendidikan Islam, sebelum mendalami sains-sains sekuler, anak didik harus dibekali sikap religiusitas yang kuat sejak mulai pendidikan dasar seperti shalat, membaca al Qur’an, tafsir, hadits, ilmu tawhid, dan sebagainya. Dengan demikian, ketika mereka mengambil sains-sains sekuler sudah memiliki landasan agama yang kokoh, sehingga diharapkan mampu menahan godaan subyek-subyek sekuler pada tingkat tinggi. Dengan dasar agama yang kokoh penguasaan sains-sains alam yang mendalam, maka anak didik akan dapat menjelaskan term-term ajaran Islam dalam bahasa dan logika sains modern.[21]


PENUTUP

Dari uraian tentang sistem pendidikan Islam tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung sejak awal lahirnya Islam seperti kuttab, halaqah, suffah, dan selanjutnya madrasah pada masa Bani Saljuk.
  2. Dalam konteks keindonesiaan, sistem pendidikan Islam mengalami perubahan ketika pemerintah Belanda mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur dalam bentuk sekolah atau madrasah. Bahkan di kalangan pondok pesantren pun diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah, disamping sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada.
  3. Menurut Hasan Langgulung, dasar pendidikan Islam adalah Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Masalahah Mursalah
  4. Tujuan pendidikan Islam antara lain menanamkan rasa cinta terhadap al-Qur’an, memperkenalkan kepada peserta didik tentang akidah, dasar-dasar dan pokok-pokok ibadat dan cara-cara mengerjakannya, dan mengembangkan minat peserta didik untuk memperdalam tentang adab kesopanan dan pengetahuan agama.
  5. Kurikulum pendidikan Islam, sampai saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan dengan “subyek-subyek sekuler”, dan pada sisi yang lain, dengan “subyek-subyek keagamaan”.



















DAFTAR PUSTAKA

Slamet, Moh. Untung, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005
 Zuhairin, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 1997
Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994
Dawam, Ainurrafiq, et.al., Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005
Muthohar, Ahmad, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren di Tengah Arus Ideologi-ideolgi Pendidikan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007
Maksum, Ali, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” Atas “Realita Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma’arif, Cet. II, 1995
---------, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Radar Jaya Offset, Cet. I, 1987
Masykuri Abdillah & Mastuki HS, “Pendidikan Satu Atap”,  dalam www.dispertais.net



[1] Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005, hlm. 188
[2] Zuhairin, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 1997, hlm. 100
[3] Lihat Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hlm. 21
[4] Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hlm. 86
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 34
[6] Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 24
[7] Suffah atau yang juga disebut al Zilla adalah tempat duduk yang berada di pinggir masjid dan seatap dengan masjid atau serambi masjid.
[8] Moh. Untung Slamet, Op. Cit., hlm. 44
[9] Ainurrafiq Dawam, et.al., Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Yogyakarta: Listafariska Putra, Cet. II, 2005, hlm. 31
[10] Ibid., hlm. 33
[11] Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren di Tengah Arus Ideologi-ideolgi Pendidikan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007, hlm. xi
[12] Zuhairin, et.al., Op. Cit., hlm. 217
[13] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” Atas “Realita Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 297
[14] Surah an-Nahl : 64
[15] Surah Shaad : 29
[16] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma’arif, Cet. II, 1995, hlm. 96-100
[17] Ibid., hlm. 94
[18] Ibid., hlm. 45-46
[19] Ibid., hlm. 129
[20] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Radar Jaya Offset, Cet. I, 1987, hlm. 303
[21] Ali Maksum, et.al.,Op. Cit., hlm. 285
[22] Lihat Masykuri Abdillah & Mastuki HS, “Pendidikan Satu Atap”,  dalam www.dispertais.net
[23] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design