Minggu, 07 November 2010

Teks Keagamaan Membelenggu Nalar...???


Satu hal yang sering dikhawatirkan oleh orang setiap kali mendengar penafsiran kembali ajaran Islam adalah munculnya “bahaya” relativisme dan sekulerisme terhadap ajaran Tuhan yang absolut. Lebih dari itu, tuduhan yang dilontarkan para pengkritik terhadap upaya pembaruan ialah “menafsirkan al Qur’an menurut tuntutan zaman, padahal semestinya zaman yang dibimbing dan ditafsirkan oleh al Qur’an.”
Dalam tradisi hermeneutis, terlihat jelas bahwa dalam pemahaman atas teks, tidak terkecuali pada al Qur’an dan hadits, unsur subyektifitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebuah teks akan “berbunyi” dan “hidup” ketika dipahami, ditafsirkan, dan diajak “dialog” oleh pembacanya.
Munculnya kitab-kitab tafsir al Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada al Qur’an dan tradisi kenabian tidak pernah final. Hal demikian menunjukkan pada kita bahwa al Qur’an selalu terbuka untuk dipahami dan ditafsiri oleh siapa pun, tentunya oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, karena akan selalu ada “celah” kebenaran yang tersembunyi dibalik teks dan tradisi sehingga memungkinkan, atau bahkan menuntut, adanya penafsiran dan pemahaman baru dari waktu ke waktu. Di sinilah salah satu kekuatan ajaran Islam yang menonjol yang tidak dimiliki oleh agama lain. Yaitu bahwa eksistensi sumber utama, al Qur’an, tumbuh dan berjalan seiring dengan tradisi kenabian yang dikembangkan oleh umat Islam, lalu secara spiritual dipelihara dengan praktek ibadah dan secara intelektual selalu diperdebatkan ulang.
 Terhadap fenomena penafsiran-penafsiran yang bermacam-macam corak dan metodologinya itu, paling tidak memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam setiap pemahaman atau penafsiran terhadap teks, termasuk al Qur’an, selalu terdapat tiga faktor, yaitu: dunia teks, dunia pengarang, dan dunia pembaca, yang masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga memahami yang satu tanpa mempertimbangkan yang lain akan menyebabkan pemahaman kita atas teks menjadi miskin. Terlebih lagi ketika sebuah teks seperti al Qur’an yang datang dari tradisi dan waktu yang sangat berbeda dengan tradisi dan waktu dimana kita berada.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kiranya pemahaman “obyektif” dan absolut sulit dipertahankan. Dan karena itu pula, hendaknya kita mampu menggali potensi dinamik dan progesivitas agama dalam konteks studi Islam di era kontemporer dengan melakukan perubahan paradigma berpikir, suatu hal yang cukup rumit dilakukan sebab wacana pemikiran keagamaan yang beredar dan berkembang dalam masyarakat sering menempatkan warisan intelektual Muslim masa lampau sebagai “warisan baku” dan “tradisi yang mapan”. Padahal, melekatkan sifat kemapanan terhadap warisan intelektual dan tradisi keagamaan merupakan fenomena keberagamaan yang bercorak normative-reproduktif, yang selanjutnya akan sulit membentuk sikap dan model pembacaan hermeneutis-produktif, dan sekaligus akan menambah gersangnya wacana pemikiran keagamaan ketika dihadapkan pada tuntutan modernitas, lebih-lebih modernitas tingkat lanjut.[1]
Dalam konteks ini, perlu dilontarkan sebuah pertanyaan fundamental, bagaimanakah cara yang “obyektif” untuk membaca dan memaknai teks dan tradisi keagamaan? Apakah teks yang “mempengaruhi” peradaban manusia, ataukah peradaban manusia yang “mempengaruhi” cara baca terhadap teks?

TEKS KEAGAMAAN: MEMBELENGGU NALAR?

Ketika kita  mengkaji teks-teks keagamaan dengan hanya membatasi pada teks-teks yang tertulis dan terbukukan (al Qur’an, kitab-kitab hadits, kitab-kitab fiqh dan lain sebagainya), maka sesungguhnya kita telah mereduksi teks-teks itu sendiri karena sebenarnya kejadian-kejadian yang terjadi di dunia serta keberadaan jagat raya adalah hamparan teks sabda Tuhan untuk dibaca bagi mereka yang memiliki akal budi yang bersih dan hening,[2] meskipun secara fisikal manusia tak memiliki suatu apapun yang pantas dibanggakan ketika dihadapkan pada blue-print Sang Pencipta.
Namun demikian, sebenarnya ada semacam “keterikatan” antara manusia dengan jagat raya yang secara perennial fundamental telah “diserahkan” oleh Tuhan dengan menjadikannya khalifah fi al ardl. Amanah perennial inilah  yang menuntut manusia untuk memiliki daya kreatif, inovatif, serta konstruktif agar dapat mengelola sumber daya, baik alam maupun diri sendiri guna menciptakan kehidupan yang berperadaban, penuh keselamatan dan ketenteraman.[3] Untuk itu, sebagai khalifah di bumi, manusia telah diberikan kelebihan-kelebihan oleh Tuhan bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Kelebihan-kelebihan itu meliputi: head, heart, dan hand, yang kesemuanya akan dapat bekerja secara lebih sehat jika dalam operasionalnya sejalan dengan sabda-sabda-Nya.[4]
Kembali ke masalah teks-teks keagamaan, dalam tulisan ini sengaja akan Penulis batasi pada teks keagamaan yang telah ditulis dan dibukukan serta dibakukan (al Qur’an). Hal ini kami maksudkan agar lebih fokus dalam mengkaji topik “Islam: Normatifitas dan Historisitas”.
Teks keagamaan (baca: al Qur’an)  memang bak magnet, mungkin karena menawarkan spiritualitas, berhasil menyedot perhatian umat dan sering kali menjadi “remot kontrol” nalar umat beragama dengan “menendang” rasionalitas. Pada tahap selanjutnya, umat beragama sedemikian kokoh menjadikan teks-teks keagamaan sebagai sesuatu yang sakral, mutlak dan otoritatif sehingga merelakan akal budinya tunduk dibawah bayang-bayang teks-teks keagamaan tanpa ada kritik dan reserve (menjaga jarak dengan teks).
Kalau kemudian teks keagamaan itu terlihat “renta”, loyo, dan tidak lagi mampu menjawab isu-isu kontemporer, pertanyaannya adalah apakah teks keagamaan itu yang “serba tidak meliputi”? ataukah kita, para manusia yang dikaruniai akal budi tetapi “mengebiri”nya sendiri, yang kurang responsif? Dalam hal ini, melakukan kajian-kajian kritis dengan menangkap ruh/spirit serta “menghidupkan” teks keagamaan adalah sebuah keniscayaan.  
Kaitannya dengan kajian-kajian teks keagamaan, bahkan juga teks-teks non-keagaamaan, tidak diragukan lagi bahwa tidak ada buku lain yang telah menjadi bahan diskusi dan kajian seluas al Qur’an. Tidak hanya orang Islam, non muslim pun terlibat dalam diskusi dan kajian atas Kitab Suci ini.
Dan, diakui ataupun tidak, tidak banyak hal sepelik ketika membicarakan al Qur’an. Bagaimana lokalitas Arab mempengaruhi proses pewahyuan dan sejauhmana ia dijadikan arena pertarungan makna-makna akibat tidak ada satu orang pun yang memiliki otoritas menterjemahkan, memahami, menafsirkan, dan memberikan kebenaran sebagai “monopoli” tafsir atas al Qur’an.
Kepelikan dalam mengkaji al Qur’an ini, setidaknya bermuara pada dua hal. Pertama, sisi metafisis, dimana al Qur’an diyakini sebagai kumpulan kalam yang berdimensi ketuhanan an sich tanpa melibatkan unsur-unsur kemanusiaan. Disini, al Qur’an dipahami sebagai sesuatu yang suci karena bermuara pada satu transendensi yang absolut, yaitu Tuhan, sehingga sulit melakukan pengkajian secara empiris terhadap “wilayah tak terjamah” (untouchable), atau, meminjam istilah Fazlur Rahman, “zat yang sama sekali lain”.
Kedua, sisi historis. dimana terdapat keterlibatan Muhammad sebagai penerima wahyu, yang notabenenya berdimensi manusia. Dalam prakteknya, “zat yang sama sekali lain” ini, “mendiktekan” al Qur’an dengan otoritas yang mutlak melalui suatu saluran, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk “makna” dan ide.[5] Hal ini berarti al Qur’an ditransmisikan oleh “zat yang sama sekali lain” dengan bahasa manusia. Dengan demikian telah terjadi “konversi”dengan apa yang bisa dan biasa dipahami oleh manusia, karena sebagai “zat yang sama sekali lain” dan tak terbatas oleh ruang dan waktu, tentu sangat berbeda dengan manusia yang terbatas oleh dimensi ruang dan waktu.
Ketika wahyu masih berupa wacana verbal atau discourse, bukan teks, pada masa Nabi yang terjadi adalah proses internalisasi kewahyuan dalam kesadaran kaum beriman. Masyarakat Arab disekitar Mekkah dan Madinah memahami proses kewahyuan sebagai bagian dari pengamalan dan juga pengalaman kehidupan mereka sehari-hari, dimana mereka ikut berpartisipasi dalam pewahyuan, dalam menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat yang memiliki latar belakang spesifik, yang dikenal dengan sebutan asbab al nuzul.[6]
Dengan demikian, beragama dalam konteks wacana pewahyuan ini bukan berarti disiplin, pengaturan-pengaturan, apalagi birokrasi yang mengatur dan menertibkan. Dengan ketiadaan teks (baca: belum dibukukan), wahyu dapat diakses oleh siapa saja sesuai dengan kepentingan hidup mereka sehari-hari. Dengan kata lain, dimasa Nabi, belum ada makhluk bernama “penafsir atau tukang tafsir”. Walaupun posisi Nabi sebagai pemegang otoritas di Madinah, tapi hal itu tidak berlaku umum dalam dunia keseharian masyarakat di sekitar Mekkah dan Madinah. Mereka yang jauh dari Madinah akan memaknai dan menghayati sendiri ayat yang diperolehnya, tanpa harus menundanya untuk berangkat ke Madinah untuk mencari makna yang tepat dan ketat atas ayat yang bersangkutan karena memang belum ada “pembagian kerja” yang jelas dalam soal memaknai dan menghayati makna ayat.[7] Ketika kaum muslimin mengahadapi sebuah kasus, dimana al Qur’an tidak memberikan tuntunan secara eksplisit, maka kaum muslimin membentuk pendapatnya sendiri. Akan tetapi, pendapat yang telah dipertimbangkan ini tidak pernah diharapkan untuk bertentangan ataupun lepas dari ruh al Qur’an. Dan apabila seseorang, setelah berpikir kedua kalinya, teringat sebuah ayat yang bisa jadi relevan dengan masalah yang dihadapi, maka ia akan mengutip ayat tersebut. Jelasnya, kaum muslimin pada periode sangat awal menafsirkan al Qur’an secara sangat bebas, tidak rumit dan pelik sebagaimana yang berkembang pada masa-masa berikutnya.[8]
Namun demikian, sejarah mencatat bahwa al Qur’an kemudian dibukukan dan sekaligus dibakukan oleh khalifah Utsman bin Affan. Pertimbangannya adalah untuk menghindari kekacauan dan ketidakteraturan. Dan Negara saat itu membutuhkan ketertiban, keteraturan, harmoni dan stabilitas. Pluralisme bacaan dan versi pewahyuan mulai “dibredeli”, kemudian ditahbiskan versi resmi milik sang penguasa, al Qur’an versi Quraisy. Akibatnya, wahyu yang dulu dinamis mulai dilepaskan dan dipisah dari masyarakat dan kehidupan sehari-hari saat itu. Wahyu yang dulu secara gradual berakar dari dalam masyarakat, mulai tercerabut dari lingkungannya dimana ia tumbuh. Dan selanjutnya terjadi proses alienasi teks terhadap dunia keseharian masyarakat dan monopoli kelompok tertentu atas akses terhadap teks agama. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya komunitas-komunitas atau madzhab-madzhab penafsir, seperti Madzhab Kufah, Madzhab Bashrah, dan lain-lain.[9]
Secara jujur harus diakui bahwa diskursus Qur’an sangat sulit dijelaskan dengan bahasa yang sempurna, namun sebagai petunjuk yang berbentuk simbol (ayat) ia mesti ditafsirkan dan dita’wilkan apabila ingin membumi. Perpindahan wacana al Qur’an dari Corpus Resmi tertutup menuju corpus interpretatif, yaitu sejumlah komentar yang ditulis oleh berbagai mufassir, memang menimbulkan beraneka ragam wajah al Qur’an. Perwajahan itu adalah sah selama ia diakui tidak pernah menjadi al Qur’an. Artinya, manusia tetap dianjurkan untuk menafsirkan al Qur’an, selama penafsiran itu tidak dianggap sebagai satu-satunya dan final.[10]
Ironisnya, yang terjadi tidaklah demikian karena dibawah monopoli generasi tafsir, teks berubah menjadi authority dan authorship sekaligus. Teks berbicara bukan karena memang demikianlah ia berbicara, tapi lebih karena ia dibuat bicara oleh sang pemegang otoritas, sang penafsir. Maka, yang penting bukan lagi wahyu versi masyarakat atau komunitas yang menginternalisasi wahyu dalam kehidupan sehari-hari mereka, tetapi tafsir versi Asy’ari, Syi’ah, Mu’tazilah, Syafi’i, Hanafi, dan sebagainya.[11]
Sebenarnya, munculnya komunitas-komunitas atau madzhab-madzhab penafsir tersebut adalah sebuah kewajaran, mengingat wahyu sendiri –seperti disebut diawal- “membuka pintu” seluas-luasnya untuk ditafsirkan dan dimaknai. Bahkan kita harus “menghormati” apa yang telah dilakukan oleh para penafsir itu. Bagaimanapun, para penafsir itu telah “membuka jalan” dengan melahirkan rumusan-rumusan bagi kajian teks keagamaan yang demikian luas dan komprehensip sehingga memberikan kemudahan bagi generasi berikutnya untuk melakukan kajian-kajian keislaman karena memunculkan berbagai alternatif penafsiran atas teks keagamaan. Dan pada gilirannya, akan muncul model penafsiran teks keagamaan yang lebih adaptif dan akomodatif terhadap ritme perubahan dan dinamika masyarakat.
Namun sangat disayangkan, perkembangan berikutnya –setelah periode para penafsir itu- justru menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya, yang muncul bukannya generasi yang lebih kreatif melainkan generasi yang terpaku pada teks. Dalam bidang hukum misalnya,[12] setelah berkembang madzhab-madzhab hukum (Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki  dan sebagainya), generasi berikutnya malah mengalami anti klimaks. Mereka, dengan sadar atau pun tidak, malah memasuki sebuah periode yang disebut periode jumud (keterpakuan tekstual) atau periode taqlid. Sistemisasi dan kristalisasi madzhab-madzhab hukum justru dijadikan batasan berijtihad dan pada gilirannya malah dinyatakan “tertutup”.[13] Mengenai keadaan ini, Joseph Schacht berpendapat bahwa pada saat itu muncul semacam konsensus yang secara gradual memapankan dirinya bahwa tidak seorang pun boleh mengklaim memiliki kualifikasi untuk melakukan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktifitas di masa mendatang harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi, dan penafsiran terhadap terhadap doktrin-doktrin yang telah dirumuskan.[14]
Apa yang disampaikan oleh Joseph Schacht ini tidak salah, karena memang fenomena seperti itulah yang terjadi, dimana model keberagamaan –minimal dalam masalah hukum- mengarah kepada taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan mentah-mentah terhadap doktrin-doktrin madzhab dan otoritas-otoritas yang telah mapan. Dengan demikian, sebenarnya bukan teks keagamaan yang membelenggu nalar, melainkan sikap kita sendiri yang “mengebiri” nalar kita.  

“MEMBUMIKAN” TEKS KEAGAMAAN

Pada dasarnya kita semua sepakat bahwa  peran wahyu sangat penting dalam ajaran Islam, dimana al Qur’an merupakan kumpulan simpul-simpul sabda Tuhan dalam bahasa yang dapat dipahami manusia dalam usaha mewujudkan suatu realitas ideal kehidupan manusia menuju suatu bentuk tatanan atau pranata sosial dan sistem kemasyarakatan ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu adanya unsur etika dan moralitas.
Dalam doktrin Asy’ariyah disebutkan bahwa tanpa wahyu, tidak akan ada pembunuhan dan kebohongan atau apa pun perbuatan-perbuatan lainnya yang dikatakan baik atau buruk, karena dalam keadaan alamiah satu-satunya hukum adalah kepentingan pribadi.[15] Manusia akan menganggap segala sesuatu yang memenuhi kepentingan pribadinya itu baik, dan sesuatu yang menghalangi kepentingan pribadinya sebagai suatu keburukan. Disinilah arti penting wahyu, yang merupakan suatu way of life yang mengatur hubungan dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.[16] Melalui petunjuk wahyu, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan yang buruk, serta dapat mencari dan mengarahkan kehidupannya pada sasaran kebenaran, menuju pola dan jalan yang lebih baik.[17]
Berangkat dari sini, manusia -dengan segala kerelatifan dan kenisbiannya- diharapkan mampu mencapai kebenaran “hakiki” yang diyakini berasal dari Dzat yang mutlak dengan terus menerus menafsirkan kebenaran yang ada dalam al Qur’an, khususnya dalam dimensi ruang dan waktu yang selalu berubah sesuai dengan perubahan lingkungan hidupnya.[18] Hal ini cukup bisa dipahami karena selain penuh dengan muatan visi ke-Ilahi-an, al Qur’an juga memuat visi kemanusiaan, dimana al Qur’an ingin membangkitkan kesadaran normatif umat serta mendengungkan risalah transformatif dan emansipatif menuju tatanan kehidupan yang dicitakan manusia.[19]
Dalam hal ini, langkah awal yang tentunya tidak boleh diabaikan adalah dengan memahami teks al Qur’an itu sendiri, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu bahasa Arab. Dengan  terlebih dahulu memahami teks atau aspek kebahasaannya inilah diharapkan dapat dipahami makna, hikmah, maupun hukum dari al Qur’an secara “tepat”.
Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa dalam penggalian terhadap makna teks ini tidak boleh hanya terpaku pada isi teks saja, tapi juga harus melihat latar belakang dan setting historis yang ada dibalik teks, karena bagaimana pun teks al Qur’an itu tidak pernah berdiri sendiri, ia sangat bergantung kepada keberadaan konteks-konteks yang melingkupinya. Ringkasnya, dalam menggali makna teks dengan mengabaikan konteks yang ada di seputar teks hanyalah akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang sebenarnya dari teks tersebut.[20]
Kesadaran akan pentingnya konteks sejarah dalam memahami al Qur’an, dalam kajian tafsir sangat dikenal dalam disiplin kajian asbabun nuzul, dimana kajian ini menelaah latar belakang diturunkannya ayat al Qur’an. Namun begitu, konteks yang dimaksud disini bukan sekedar peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu teks saja, tetapi lebih tepatnya adalah setting sosial-historis dimana teks tersebut muncul, yakni kondisi-kondisi yang ada di seputar teks tersebut ketika muncul. Dengan melihat setting sosial-historis ini, diharapkan dapat dilacak bagaimana masyarakat yang menjadi penerima teks tersebut memahami teks yang dimaksud, dengan asumsi bahwa setting sosial-historis yang berbeda akan memunculkan pemahaman yang berbeda, sehingga seseorang yang akan berbicara terhadap satu masyarakat pastilah menyesuaikan dengan kondisi masyarakat agar apa yang disampaikan bisa dipahami secara tepat dan dapat diterima khalayak.[21] Dan pada gilirannya konsep dalam teks keagamaan yang bersifat eternal-universal dapat “membumi” dan tidak hanya sekedar utopia belaka.
Namun demikian, satu hal yang harus dipahami adalah bahwa model pendekatan diatas bukannya tanpa akibat, karena ini akan berimplikasi pada pembongkaran (decontruction) penafsiran terhadap teks al Qur’an yang sebagian kesimpulannya sudah dianggap baku dan final. Dan perlu diketahui pula bahwa ketegangan dan konflik yang muncul dalam sejarah pemikiran Islam selalu berkisar antara kecenderungan untuk “mensakralkan” teks dan tradisi di satu sisi dan melakukan “pembongkaran” serta rasionalisasi pada sisi yang lain.[22] Golongan yang pertama adalah orang-orang yang model keberagamaannya bersifat normatif, sedangkan yang kedua bercorak historis. [23]
Hubungan keduanya seringkali diwarnai dengan tension atau ketegangan, baik yang bersifat kreatif maupun destruktif. Biasanya, ketegangan hubungan keduanya terjadi jika masing-masing pendekatan saling menegasikan eksistensi dan menghilangkan manfaat yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya, serta jika keduanya mengandaikan hubungan yang bersifat dikotomis dan berhadap-hadapan.
Sebenarnya keduanya tidak harus mengambil posisi yang berlawanan karena hubungan keduanya ibarat sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan. Keduanya secara jelas dan tegas dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.[24] Dalam Islam, hubungan antara teks dan konteks, antara wahyu dan tradisi, sedemikian dekatnya sehingga secara historis dan teologis terdapat mekanisme kontrol, tetapi sekaligus juga dorongan untuk saling berinovasi,[25]sehingga akan semakin memperkaya khazanah ilmu keislaman. Dan selanjutnya, biarkan masyarakat muslim sendiri yang akan memilih, secara bebas dan sadar tentunya, corak keberagamaan yang mana yang sesuai baginya dan bukannya saling klaim kebenaran (claim truth). Bukankah hanya Allah yang memiliki kebenaran hakiki?

PENUTUP

Pada masa awal kemunculannya, agama (Islam) dipandang  sebagai sebuah wajah yang membebaskan dan menyelamatkan. Islam banyak melakukan kritik atas fenomena ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat pada masa itu melalui “sapaan” Tuhan terhadap manusia yang berupa wahyu.
Setelah wahyu berhenti diturunkan dan Muhammad sebagai pembawa risalah telah wafat, al Qur’an dan as Sunnah (tradisi pewartaan atas segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi) dijadikan otoritas yang bisa memberikan jawaban atas segala permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman, ternyata banyak sekali masalah-masalah yang dulunya pada masa Rasul tidak ada, namun pada masa generasi kemudian muncul masalah-masalah baru. Untuk itu, para pemikir pada masa itu mulai berkreasi dengan melakukan penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, yang pada gilirannya terbentuk komunitas-komunitas atau madzhab-madzhab. Munculnya madzhab-madzhab ini, yang telah merumuskan kajian-kajian keislaman, kemudian diikuti secara membabi buta (taqlid) oleh umat Islam. Mereka menerima taken for granted doktrin-doktrin dari madzhab-madzhab tersebut dan mencukupkan diri dengan apa yang telah dirumuskan oleh madzhab-madzhab itu melalui karya-karya para pemukanya. Mereka menganggap karya-karya itu sebagai “kitab suci” yang tak boleh tidak harus “diyakini” dan diamalkan.
Model keberagamaan seperti itu bukanlah sesuatu yang sangat buruk, tetapi kalau ditelaah lebih lanjut, ternyata ada satu hal penting yang justru “terlupakan”, yaitu bahwa dalam memahami suatu ajaran agama tidak hanya dengan pendekatan normatif, melainkan juga harus didekati dengan model pendekatan historis. Hal ini karena agama dan teks-teksnya bukanlah sesuatu  yang independen, dapat berdiri sendiri, melainkan sangat dependen pada sosio-kultur yang ada disekitarnya. Untuk itu, dibutuhkan model pembacaan yang “basah” terhadap teks-teks  keagamaan, bukan pembacaan yang “kering”, yang hanya terpaku pada teks saja dengan mengesampingkan aspek historis suatu teks. Kalau teks itu adalah al Qur’an dan hadis Nabi berarti peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau hadis (asbabun nuzul dan asbabul wurud) dan juga kondisi sosio-kultural saat ayat itu diturunkan (baca: diwahyukan) atau saat hadis itu diucapkan, dilakukan, serta ditetapkan Nabi. Tetapi kalau teks-teks itu adalah karya-karya ulama’-ulama’ terdahulu berarti setting sosial dimana  ulama’ itu berada. Wallahu a’lam bi shawab.


















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
----------, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2002
Hidayat, Komarudin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998
al Jauhari, Imam Chanafie, Hermeneutika Islam; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1999
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, cet. III, 1997
-----------, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
Baso, Ahmad, Plesetan Lokalitas; Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994
An Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 1997
Musahadi, Evolusi Konsep Sunah; Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. II, 1997
Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam; Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2003
Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis; Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001
Faiz, Fahrudin, Hermeneutika Qur’ani; Antara teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, cet. II, 2002




[1]  M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 10
[2] Lihat Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 111
[3] Imam Chanafie al Jauhari, Hermeneutika Islam; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1999, hlm. 53
[4]  Komarudin Hidayat, Op. Cit., hlm. 112
[5] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, cet. III, 1997, hlm. 32. sebagaimana diketahui, teks al Qur’an diwahyukan secara verbal, seperti wahyu yang pertama, dan juga secara wahy (inspirasi ide-kata), seperti gemerincing lonceng, atau pun dengan cara yang lain sebagaiman disebutkan dalam Q.S. Asy-Syura: 51-52. Lihat Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 701
[6] Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas; Politik Pribumisasi Islam, Jakarta: Desantara, 2002, hlm. 86
[7] Ibid., hlm. 87
[8] Lihat Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994, hlm. 41 et. seq.lihat juga Fazlur Rahman, Op. Cit., hlm. 46
[9] Ahmad Baso, Op. Cit., hlm. 88
[10] Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis; Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 99
[11] Ahmad Baso, Op. Cit., hlm. 89
[12] Pengambilan contoh dibidang hukum dikarenakan keberagamaan seseorang atau masyarakat  lebih banyak bersinggungan dengan masalah-masalah hukum daripada bidang yang lain. Selain itu, pada dasarnya hukum itu sendiri tidak lebih dari produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al Qur’an, Sunnah, serta berbagai tradisi lainnya. Lihat Abdullahi Ahmed An Na’im, Dekonstruksi Syariah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy, Yogyakarta: LKiS, cet. II, 1997, hlm. 26
[13] Musahadi, Evolusi Konsep Sunah; Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 68 kata “tertutup” dengan tanda petik berarti tidak benar-benar tertutup. Hanya saja ini untuk menggambarkan bahwa generasi berikutnya, boleh dikatakan sangat “mandul” untuk memunculkan karya-karya yang mandiri, yang terlepas dari “belenggu” doktrin yang sudah mapan. Menariknya,  kapan pintu ijtihad dinyatakan tertutup dan siapa yang menutup, tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahuinya. Lihat Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. II, 1997, hlm. 129 et. seq.
[14] lihat Ibid.
[15] Lihat Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 85
[16] Ahmad Hasan, Op. Cit., hlm. 39
[17] Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam; Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2003, hlm. 66
[18] Ibid.
[19] Ahmad Najib Burhani, Op. Cit., hlm. 94
[20] Lihat Fahrudin Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, cet. II, 2002, hlm. 106
[21] Fahrudin Faiz, Op. Cit., hlm. 109-113
[22] Lihat Komarudin Hidayat, Op. Cit., hlm. 121
[23] Corak normatif berarti ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan corak historis menelaah keberagamaan manusia melalui ilmu sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner seperti sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi, maupun antropologi. Lihat kata pengantar M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2002, hlm. v
[24] Ibid., hlm. vi-vii
[25] Komarudin Hidayat, Op. Cit., hlm. 122

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design