Pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu, setiap proses pendidikan akan berusaha mengembangkan seluas-luasnya potensi individu sebagai sebuah elemen penting untuk mengembangkan dan mengubah masyarakat (agent of change).
Dalam upaya itu, setiap proses pendidikan membutuhkan seperangkat sistem yang mampu mentransformasi pengetahuan, pemahaman, dan perilaku peserta didik. Dan salah satu komponen operasional pendidikan sebagai sistem adalah kurikulum, dimana ketika kata itu dikatakan, maka akan mengandung pengertian bahwa materi yang diajarkan atau dididikkan telah tersusun secara sistematik dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam upaya itu, setiap proses pendidikan membutuhkan seperangkat sistem yang mampu mentransformasi pengetahuan, pemahaman, dan perilaku peserta didik. Dan salah satu komponen operasional pendidikan sebagai sistem adalah kurikulum, dimana ketika kata itu dikatakan, maka akan mengandung pengertian bahwa materi yang diajarkan atau dididikkan telah tersusun secara sistematik dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan, barangkali kurikulumlah yang bisa dianggap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. Hal ini tidak lain karena kurikulum merupakan “blue print” pendidikan yang akan diberikan kepada peserta didik. Bahkan dalam pengertian lebih luas, keberadaan kurikulum tidak saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam ruang kelas, melainkan juga meliputi apa saja yang sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami peserta didik. Oleh karena itu, posisi kurikulum menjadi mata rantai yang urgen dan tidak dapat begitu saja dinafikan dalam konteks peningkatan kualitas sebuah lembaga pendidikan.
Berbicara tentang kurikulum, maka ingatan kita akan langsung tertuju pada upaya-upaya mengevaluasi kurikulum di negeri kita yang seringkali berubah-ubah. Paling tidak hal ini dapat kita lihat ketika pada tahun 1999 disusun potret Kurikulum 1994 dan tahun 2000 dilakukan studi banding dengan kurikulum luar. Pada tahun 2001, dilakukan piloting, tahun 2003 dilakukan koordinasi untuk penyamaan dokumen, tahun 2004 perluasan sekolah piloting. Akhirnya pada tahun 2005 disiapkan PP tentang standard nasional yang melegalisasi pelaksanaan KBK di sekolah.[2] Dan ternyata keberadaan KBK-pun tidak berlangsung lama, karena sekarang ini sudah diberlakukan KBK yang disempurnakan, atau yang biasa disebut dengan “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP), yang sering juga dipelesetkan dengan istilah kate siape.
Pada kenyataannya, ditingkat pelaksanaan perubahan kurikulum ini seringkali menyulitkan dan juga membuat “kewalahan” guru, yang nota benenya adalah ujung tombak proses pendidikan, karena harus sering beradaptasi dengan kurikulum baru, yang terkadang guru belum in betul dengan kurikulum yang lama.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah yang di maksud dengan kurikulum? Apa urgensinya? Dan apa saja yang harus termaktub dalam kurikulum, sehingga proses pendidikan benar-benar bisa mencapai tujuan luhurnya, yaitu memanusiakan manusia dalam arti yang sebenarnya.[3] Semua pertanyaan itu tidak dapat dijawab secara kaku dan baku karena semuanya tergantung pada filosofi apa yang akan dipakai dalam merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Dan dalam makalah ini, Penulis berusaha untuk menampilkan tipologi pemikiran filsafat pendidikan yang berperan dalam menentukan kurikulum.
PENGERTIAN KURIKULUM
Perkataan “kurikulum” mulai dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu, dimana istilah “kurikulum” itu untuk pertama kalinya digunakan dalam bidang olah raga, yaitu suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Baru pada tahun 1955 istilah “kurikulum” digunakan dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah materi pelajaran dari suatu perguruan.[4]
Menurut Hilda Taba dalam bukunya “Curriculum Development; Theory and Practice”, sebagaimana dikutip oleh Khoiron Rosyadi, kurikulum diartikan sebagai sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak didik.[5] Dalam pengertian yang lain, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Pengertian ini menggarisbawahi adanya 4 (empat) komponen pokok dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi/bahan, organisasi dan strategi.[6]
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan pengertian kurikulum yang sempit, dimana kurikulum diartikan secara terbatas karena masih belum mencakup aktivitas peserta didik dalam proses kependidikan. Hal inilah yang selama beberapa dekade ini telah “mengebiri” kurikulum pendidikan kita serta mengarahkannya pada nasionalisme yang sempit dan uniformitas (keseragaman) baik dalam berpikir dan bertindak, yang secara tidak langsung memasung kreatifitas guru dan memperendah proses perkembangan imajinasi, keberanian dan daya berpikir peserta didik.
Konsep sentralisasi tersebut merupakan bagian dari kelemahan struktur dan mekanisme praktek pendidikan kita yang selama ini terlalu menekankan pada proses. Sehingga telah melahirkan suatu kecenderungan “proses pengajaran oleh guru” (teacher teaching) dibandingkan dengan -- yang seharusnya -- sebagai “proses pembelajaran oleh peserta didik” (student learning). Guru diharuskan melaksanakan tugas dengan metode sebagaimana “petunjuk dari atas”, terlepas setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka dan cocok tidaknya metode tersebut dengan materi yang disampaikan. Dengan kata lain pendidikan seharusnya lebih menekankan pada aspek pembelajaran (learning) dan bukan pengajaran (teaching).
Situasi terbungkamnya dinamika keilmuan Indonesia inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “budaya bisu”,[7] dimana penghargaan terhadap demokratisasi pendidikan sangat kurang dan nyaris tidak ada. Dalam situasi demikian, pendidikan Indonesia mulai menampakkan titik cerah begitu digulirkannya reformasi dan berkembangnya isu otonomi daerah.
Menurut Paulo Freire, mengajar bukannya memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak direduksi menjadi “mengajar” saja, tetapi mengajar menjadi efektif jika peserta didik “belajar untuk belajar” (learn to learn).[8] Konsep mengenai pembelajaran efektif ini mulai dikedepankan di Indonesia adalah dengan pendekatan CBSA (cara belajar siswa aktif) dan KBK yang menekankan konsep learning by doing, dan pendekatan ketrampilan proses. Kedua konsep tersebut merupakan representasi dari desentralisasi pendidikan sebagai bagian dari upaya pemberdayaan pendidikan melalui otonomi. Dan yang paling “gress’ saat ini adalah dengan dikenalkannya “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP) oleh pemerintah.
Kembali ke masalah pengertian kurikulum, dengan kondisi tersebut di atas, tampaknya pengertian yang dikemukakan Hasan Langgulung terasa lebih luas, dimana menurut dia kurikulum adalah “Sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan”.[9] Pengertian ini menggambarkan segala bentuk aktivitas sekolah yang sekiranya mempunyai efek bagi pengembangan peserta didik, dan bukan hanya terbatas pada kegiatan belajar mengajar saja.
Pengertian lain yang senada dengan Hasan Langgulung adalah apa yang disampaikan oleh J. Galen Saylor, William M. Alexander, serta Artur J. Lewis, dalam “Curriculum Planning for Better Teaching and Learning” menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
“The curriculum is the sum total of school’s effort to influence learning, weither in the classroom, on the playgroup, or out school.”[10]
Jadi, segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak itu belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah, dapat dikategorikan sebagai kurikulum. Dengan demikian, kurikulum meliputi segala pengalaman yang disajikan oleh sekolah agar anak mencapai tujuan yang diinginkan. Hal demikian dikarenakan suatu tujuan tidak akan tercapai dengan suatu pengalaman saja, akan tetapi melalui berbagai pengalaman dalam bermacam-macam situasi, di dalam maupun di luar sekolah.
Pengertian kurikulum menurut Hasan Langgulung dan juga J. Galen Saylor, yang mengartikan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah ini nampaknya berjalan linier dengan paradigma pendidikan Post modernisme yang mengharuskan pendidikan mempunyai sifat yang “terbuka”. Terbuka dalam arti tidak hanya menjadi subyek yang masterable dan mempunyai kontrol tertentu, tetapi lebih dari itu dapat menemukan makna kontemporer dan tidak terlalu terpaku pada single definitif.
Hal demikian karena pengalaman bukanlah sebuah entitas reduktif terhadap entitas yang sama, tetapi pengalaman adalah sebuah bentuk yang terbuka terhadap perbedaan. Keterbukaan tersebut melibatkan pengertian yang tidak hanya mencari makna tertentu, tetapi menjadikan peserta didik lebih terbuka terhadap pengalaman baru dan multiple.[11]
Namun begitu, kaitannya dengan sistem pendidikan di negara Indonesia, pendidikan harus tetap mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat. dokumen KTSP yang “sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya.
Dengan adanya Pengelolaan “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” ini maka banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, misalnya: sekolah, kepala sekolah, guru, dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi dan DEPDIKNAS.[12]
TIPOLOGI KURIKULUM
Tanpa bermaksud untuk mendikotomikan, dalam kajian filsafat pendidikan pada umumnya, setidak-tidaknya, dikenal adanya dua aliran filsafat besar, yaitu Idealisme dan Pragmatisme,[13] yang keduanya jelas memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang hakekat pendidikan, tujuan pendidikan, tugas pendidikan, dan juga kurikulum pendidikan.
a. Idealisme
Dalam sejarah filsafat Barat, idealisme selalu identik dengan Plato. Hal demikian sangat wajar sebab Palto memang dianggap sebagai Bapak dari filsafat idealisme. Menurut Plato, hakekat segala sesuatu tidak terletak pada sifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang berada dibalik materi itu, yaitu ide. Ide bersifat kekal, immaterial, dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak ikut musnah.[14]
Pada ranah pendidikan, aliran Idealisme ini menganggap bahwa hakekat pendidikan adalah semangat ingin kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, sehingga pendidikan diartikan sebagai “cultural conservation”, yakni sebagai pemelihara kebudayaan.[15] Adapun yang menjadi tujuan pendidikan menurut aliran Idealisme ini adalah untuk membentuk anak didik agar menjadi manusia yang sempurna, yang berguna bagi masyarakatnya. Dan sebagai konsekuensi logisnya, maka pendidikan model aliran Idealisme ini lebih menekankan pengkayaan pengetahuan (transfer of knowledge) tanpa harus memperhitungkan tuntutan dunia praktis (kerja dan industri).[16]
Dengan model pemikiran seperti itu, maka kurikulum Idealisme mendasarkan pada prinsip: Pertama, kurikulum yang kaya materi, berurutan, dan sistematis yang didasarkan pada target tertentu yang tidak dapat dikurangi sebagai satu kesatuan pengetahuan, kecakapan, dan sikap yang berlaku dalam kebudayaan yang demokratis. Kedua, kurikulum menekankan penguasaan yang tepat atas isi atau materi kurikulum.[17]
Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian dibuat pedoman dalam merumuskan kurikulum idealisme yang pada dasarnya harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak, yang mengutamakan pada “essential studies” yang meliputi metode ilmiah, dunia organis dan an-organis, human environment (lingkungan manusia, budaya, dan alamiah), serta apreasi terhadap seni.
Selain itu dalam kurikulum idealisme sekolah dianggap sebagai pusat intellectual training dan character building, yang secara formal melatih dan mengembangkan daya jiwa yang sudah ada.[18]
b. Pragmatisme
Pragmatisme biasa diidentikkan dengan filsafat bangsa Amerika karena Pragmatisme merupakan filsafat yang mencerminkan secara kuat sifat kehidupan Amerika, dimana filsafat ini merupakan penengah antara filsafat empirisme dan idealisme dengan menggabungkan hal-hal yang berarti antara keduanya.
Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer telah banyak membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu pengethuan maupun tehnologi. Pragmatisme telah berhasil membuat aktifitas filsafat yang sebelumnya bersifat metafisis, idealis, abstrak, dan intelektualis yang cenderung “melangit”, menjadi aktifitas riil, inderawi, dan mnafaatnya langsung bisa dirasakan secara prkatis-pragmatis dalam kehiudpan sehari-hari.[19]
Dalam ranah pendidikan, aliran Pragmatisme berpendapat bahwa hakekat pendidikan merupakan proses masyarakat mengenal diri. Dengan perkataan lain, pendidikan adalah proses agar masyarakat menjadi hidup dan dapat melangsungkan aktifitasnya untuk masa depan. Dengan demikian, pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan yang dilakukan atas desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic, yakni sebuah pendidikan yang berwawasan pada masa depan. Dari karakter yang demikian, maka pendidikan pragmatisme menganjurkan agar yang berbuat, yang menghasilkan, dan yang mengajar adalah peserta didik sendiri. Sedangkan peran pendidik lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing.[20]
Dalam pandangan Pragmatisme, tidak ada suatu materi pelajaran tertentu yang bersifat universal dalam sistem dan metode pelajaran yang selalu tepat untuk semua jenjang sekolah, sebab pengalaman, kebutuhan serta minat individu atau masyarakat berbeda menurut tempat dan zaman. Dalam hal ini kurikulum pragmatisme bersifat elastis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum Pragmatisme bergerak dinamis diatas prinsip kebebasan, menghendaki bentuk yang bervariatif dan dengan materi yang kaya.
Adapun mengenai muatan isi kurikulum, Pragmatisme mendorong perkembangan pribadi anak didik yang meliputi perkembangan minat, pikir dan kemampuan praktis. Bentuk demikian inilah yang oleh Kilpatrick disebut dengan emerging curriculum, yaitu kurikulum yang realistis dari kehidupan peserta didik.[21]
Dalam pelaksanaannya, kurikulum Pragmatisme mengutamakan pengalaman yang didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, yang diarahkan bagi perkembangan pribadi secara integral terutama aspek pikir, perasaan, motorik, dan pengalaman sosial.[22]
Demikianlah model kurikulum aliran Idealisme dan Pragmatisme, yang sebenarnya hanya merupakan pembedaan secara garis besar saja, karena selain kedua aliran utama tersebut, masih terdapat aliran-aliran filsafat lain yang memiliki pengikut yang cukup banyak, dan kemudian Penulis pilih empat aliran saja sebagai penjelas dan penguat bagi kedua kedua aliran utama tersebut diatas, yaitu perenialisme, esensialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
1. Perenialisme
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa zaman sekarang sebagai zaman yang kurang “sehat”, dan untuk mengembalikan kepada keadan semula diperlukan “dokter” yang sudah terkenal. Aliran ini juga menganggap bahwa kebudayaan dewasa ini mempunyai landasan-landasan yang kurang jelas sehingga diperlukan usaha-usaha untuk kembali pada fundamen-fundamennya dengan menunjuk kepada apa yang telah dihasilkan oleh zaman Yunani dan abad pertengahan.[23] Jelasnya, Perenialisme ini bercorak regresif, yaitu sikap yang menghendaki kembali pada jiwa yang menguasai peradaban skolastik Yunani dan abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional.[24]
Dalam hal kurikulum, aliran ini menganggap hal yang terpenting dalam kurikulum adalah isi (content) mata pelajaran-mata pelajaran yang tepat dan benar. Oleh karena kondisi demikian, maka dalam pendidikan peran utama dipegang oleh guru atau pendidik. Keaktifan dan kreatifitas subyek didik dikembangkan dengan bersendikan atas pengetahuan dan keterampilan yang benar.
Disamping itu, masih menurut aliran Perenialisme, pendidikan persekolahan diusahakan sama bagi setiap orang,[25] dimana peserta didik diajak untuk menemukan kembali dan menginternalisasi kebenaran universal dan konstan dari masa lalu. Oleh karena itu metode yang digunakan dalam kurikulum model aliran Perenialisme ini adalah mengkaji terhadap buku-buku yang membahas peradaban Barat dan abad pertengahan melalui membaca dan diskusi untuk menyerap dan menguasai fakta-fakta dan informasi.[26]
2. Essensialisme
Aliran Esensialisme ini hampir mirip dengan Perenialisme. Bedanya, kalau Perenialisme bercorak regresif, Esensialisme lebih bercorak konservatif, yakni sikap untuk mempertahankan nilai-nilai budaya manusia. Esensialisme ini menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai inilah yang hendaknya sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.
Menurut teori Essentialist ini, tujuan pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam “gudang” di luar ke dalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi.[27] Disini peran guru atau pendidik memiliki peran yang sentral dalam menyampaikan warisan budaya dan sejarah seputar inti pengetahuan yang terakumulasi begitu lama dan bermanfaat untuk peserta didik.[28] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kurikulum menurut aliran ini bersifat subject centered, dimana guru sebagai pusat pembelajaran yang lebih ditekankan pada keterampilan membaca, menulis dan menyerap ide-ide demi mengembangkan mind peserta didik dan kesadaran akan dunia fisik sekitarnya.[29]
3. Progresivisme
Aliran Progresivisme dapat dikatakan telah berbuat banyak dalam mengadakan rekonstruksi di dalam pendidikan modern dalam abad XX. Progresivisme banyak meletakkan tekanan dalam masalah kebebasan dan kemerdekaan kepada peserta didik dan menentang keras pendidikan tradisional, yang biasanya menentukan materi pembelajaran tanpa memperhatikan kebutuhan dan minat peserta didik.[30]
Menurut George R. Knight, pemikiran progresivisme banyak sekali dipengaruhi oleh pragmatisme-nya John Dewey dan Psikoanalisis-nya Sigmund Freud yang menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk berekspresi bagi peserta didik dan lingkungan yang lebih terbuka sehingga peserta didik dapat mengerahkan energinya dengan cara yang efektif. Menurut aliran ini, peserta didik dianggap sebagai makhluk yang dinamis, sehingga dia diberi kesempatan untuk menetukan harapan dan tujuan mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat, penunjuk jalan, dan rekan seperjalanan. Disini, guru bukanlah satu-satunya orang yang paling tahu. Dengan demikian, pendidikan harus berpusat pada peserta didik (child centered),[31]tidak tergantung pada text book atau metode pengajaran tekstual. Pendidikan progresivisme juga tidak menggunakan hukuman fisik atau menakut-nakuti sebagai pembentuk sikap disiplin.[32]
Menurut teori Progresive ini, kurikulum dibangun dari pengalaman personal dan sosial peserta didik. Hal demikian dilakukan agar peserta didik memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan akhirnya memiliki kemampuan problem solving, baik personal maupun sosial.[33]
4. Rekonstruksionisme
Menurut penggagas teori rekonstruksionis, yaitu George S. Count, aliran ini muncul sebagai akibat dari penerapan ide-ide demokrasi dan tata ekonomi kapitalisme yang menjurus pada individualisme dan laises faire. Dan masyarakat yang demikian perlu direkonstruksi kembali dengan penerapannya yang menjamin adanya kesamaan.[34]
Menurut teori Rekonstruksi, fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga menjadi cakap dan kreatif sekaligus mampu bertanggungjawab dalam berinteraksi, membangun serta mengembangkan masyarakatnya.[35] Lebih jauh lagi, agar pendidikan dapat menyadari antara keterikatan perumbuhan dan perkembangan tehnologi dan industrialisasi dengan perubahan masyarakat. Disini, pengetahuan atau kemampuan profesional, misalnya, hendaknya bisa disumbangkan bagi terbentuknya masyarakat baru.[36] Dan, peran sekolah adalah dengan menjadi perantara utama bagi perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat dengan membuat peserta didik sadar akan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia, memiliki kesadaran untuk memecahkan problem tersebut dan akhirnya membangun tatanan masyarakat yang baru.[37]
KESIMPULAN
Dari uraian tentang berbagai macam definisi tentang kurikulum serta serta teori-teori dari aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi perencanaan dan pengembangan kurikulum, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kurikulum merupakan “blue print” pendidikan yang akan diberikan kepada peserta didik, yang tidak saja terbatas pada materi yang akan diberikan di dalam ruang kelas, melainkan juga meliputi apa saja yang sengaja diadakan atau ditiadakan untuk dialami oleh peserta didik, baik di ruang kelas, halaman sekolah, ataupun di luar sekolah.
2. Menurut Paulo Freire, mengajar bukannya memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak direduksi menjadi “mengajar” saja, tetapi mengajar menjadi efektif jika peserta didik “belajar untuk belajar” (learn to learn).
3. Menurut aliran Idealisme bahwa hakekat pendidikan adalah semangat ingin kembali kepada warisan budaya masa silam yang agung dan ideal, sehingga pendidikan diartikan sebagai “cultural conservation”. Aliran Idealisme menganut kurikulum, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak, yang mengutamakan pada “essential studies” yang meliputi metode ilmiah, dunia organis dan an-organis, human environment (lingkungan manusia, budaya, dan alamiah), serta apreasi terhadap seni.
4. Aliran Pragmatisme berpandangan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan impulse (perbuatan yang dilakukan atas desakan hati), yang berorientasi pada futuralistic, yakni sebuah pendidikan yang berwawasan pada masa depan. Adapun kurikulum Pragmatisme lebih mengutamakan pengalaman yang didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, yang diarahkan bagi perkembangan pribadi secara integral terutama aspek pikir, perasaan, motorik, dan pengalaman sosial
5. Selain aliran Idealisme dan Pragmatisme, aliran lain seperti Perenialisme yang regresif, Esensialisme yang konservatif, Progresivisme yang bercorak bebas dan modifikatif, serta Reconstructionism yang mewujud dalam sikap radikal rekonstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1987
Karhami, S. Karim A., “KBK dan Implementasinya Pada Buku Pelajaran” dalam Bulletin Pusat Perbukuan, Jakarta: Depdiknas, Vol. 11, Januari-Juni 2005
Dauly, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Freire, Paulo, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. IV, 2002
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Radar Jaya Offset, 1987
---------, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisis Sosio-Psikologis, Jakarta: Grafindo, 1985
Saylor, John Galen, et.al., Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. , Ed. IV, 1981
Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981
Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988
Knight, George R., Issues and Alternatives in Educational Philosphy, Michigan: Andrews University Press, Cet. XII, 1982
www.dikdasmen.org
[1] Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis, maka dengan sendirinya filsafat pendidikan ini berubah menjadi penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Lihat Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1987, hlm. 14
[2] Lihat S. Karim A. Karhami, “KBK dan Implementasinya Pada Buku Pelajaran” dalam Bulletin Pusat Perbukuan, Jakarta: Depdiknas, Vol. 11, Januari-Juni 2005, hlm. 28
[3] Haidar Putra Dauly, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 196
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992, hlm. 53
[5] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 241
[6] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 182
[7] Kebudayaan bisu menurut Paulo Freire adalah “kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri”, sehingga “diam” nyaris dianggap sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati, lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, et.al., hlm. xxii
[8] Ibid, hlm. 27.
[9] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Radar Jaya Offset, 1987, hlm. 303
[10] John Galen Saylor, et.al., Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. , Ed. IV, 1981, hlm. 16
[11] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 146
[12] Lihat dalam www.dikdasmen.org
[13] Pembagian ini hanya merupakan maping saja, tanpa bermaksud untuk melihatnya secara dikotomis, diametral, atau kontradiktif, karena kenyataannya keduanya dapat dibedakan namun sulit dipisahkan, apalagi dalam belantika pendidikan dewasa ini.
[14] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, hlm. 314
[15] Ali Maksum, et.al., Op. Cit., hlm. 253
[16] Ibid., hlm. 254
[17] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988, hlm. 260
[18] Ibid., hlm. 263-7
[19] Ali Maksum,et.al., Op. Cit., hlm. 258
[20] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisis Sosio-Psikologis, Jakarta: Grafindo, 1985, hlm. 28
[23] Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 62
[24] Muhaimin, Op. Cit., hlm. 40
[25] Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 42
[26] Muhaimin, Op. Cit., hlm. 42
[27] Ibid., hlm. 41
[28] Ibid., hlm. 42
[29] Ibid.
[30] George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosphy, Michigan: Andrews University Press, Cet. XII, 1982, hlm. 80 et.seq.
[31] Ibid., hlm. 82
[32] Ibid., hlm. 83
[33] Muhaimin, Op. Cit., hlm. 43
[34] Imam Barnadib, Op. Cit., hlm. 66
[35] Muhaimin, Loc. Cit.
[36] Imam Barnadib, Loc. Cit.
[37] Muhaimin, Loc. Cit.
0 komentar:
Posting Komentar