Secara etimologis, istilah “multikulturalisme” marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural.” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural” dan “multi-lingual.” [1] Kata “multikulturalisme” dibentuk dari kata “multi” (banyak), “kultur” (budaya), dan “isme” (aliran/paham).[2]
Secara eksplisit, konsep tentang pendidikan multikultural tertuang dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan. Dalam pasal 4: 1 UU Sisdiknas/2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Hal ini masih ditambah dengan pasal 4: 3 UU tersebut yang menyebutkan pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.[3]
Secara eksplisit, konsep tentang pendidikan multikultural tertuang dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan. Dalam pasal 4: 1 UU Sisdiknas/2003 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Hal ini masih ditambah dengan pasal 4: 3 UU tersebut yang menyebutkan pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.[3]
Munculnya pasal tersebut tentunya bukan tanpa dasar, melainkan dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk atau plural. Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat dilihat dari dua sisi; horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budaya materialnya. Sementara secara vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat diamati dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan lain sebagainya.[4]
Kondisi demikian ini kemudian memunculkan wacana tentang pendidikan multikultural, yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.”
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.[5]
Definisi yang lain menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.[6]
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[7]
Pendidikan multikultural (multicultural education) juga merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh peserta didik tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Secara umum dapat dipahami bahwa digulirkannya wacana tentang pendidikan multikultural dimaksudkan untuk merespon fenomena konflik etnis dan sosial-budaya, yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural, seperti Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara kesatuan, bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Aceh dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.[8]
Konflik sosial yang mewarnai pasang surutnya persatuan Indonesia harus menjadi perhatian dan perlu diwaspadai oleh kemampuan manajemen politik bangsa agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang memecah belah persatuan Indonesia. Salah satu caranya yang strategis adalah pendidikan multikultural yang dilakukan secara aktual, cerdas, dan jujur.
Pendidikan apa pun bentuknya, tidak boleh kehilangan dimensi multikulturalnya, termasuk di dalamnya pendidikan keagamaan dan keilmuan, karena realitas dalam kehidupan pada hakikatnya bersifat multidimensional. Demikian juga halnya manusia sendiri pada hakikatnya adalah sebagai makhluk yang multidimensional.
Dengan digulirkannya isu pendidikan multikultural ini diharapkan mampu berperan banyak dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan multikultural ini mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan.
Harapan-harpan seperti itu memang layak dialamatkan mengingat pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, gagasan multikulturalisme dinilai dapat mengakomodir kesetaraan dalam perbedaan tersebut merupakan sebuah konsep yang mampu meredam konflik vertikal maupun horisontal dalam masyarakat yang heterogen, dimana tuntunan akan pengetahuan atas eksistensi dan keunikan budaya kelompok etnis sangat lumrah terjadi. Masyarakat multikultural dicitakan mampu memberikan ruang yang luas bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupan secara otonom. Dengan demikian akan tercipta suatu sistem budaya (cultural system) dan tatanan sosialyang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa.
Dengan gagasan di atas, budaya akan dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreativitas masyarakat yang dibangun oleh prinsip-prinsip yang berbeda kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat. Dalam artian budaya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya.
Adapun model pembelajaran dari pendidikan berbasis multikultural didasarkan pada lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.[9]
Ketika lima pendekatan tersebut di atas dihayati, maka tampaknya pendidikan multikultural dapat diharapkan sebagai jawaban atas beberapa problematika kemajemukan tersebut. Hal demikian disebabkan oleh prinsip pendidikan multikultural yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural juga senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi.
[1] Lihat artikel Muhaemin el Ma’hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural; Sebuah Kajian Awal” dalam www.pendidikan.net
[2] Lihat dalam http://www.grasindo.co.id/detail.asp?ID=50104457
[3] Lihat UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No. 20 th. 2003), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II, 2005, hlm. 6
[4] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 189 et.seq.
[5] Muhaemin el Ma’hady, Loc. Cit.
[6] Lihat artikel Musya Asy’arie, Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, dalam www.kompas.co.id tanggal 03 September 2004
[7] Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hlm. 36-38
[8] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar