Membicarakan Muhammad, seperti tidak pernah ada habisnya. Ada yang melihatnya sebagai manusia pilihan Tuhan, yang diberi risalah untuk “membebaskan” manusia dari zaman “kegelapan” (jahiliyyah) menuju zaman “terang benderang” (keislaman), dan beliau juga “dipersenjatai” Tuhan dengan berbagai macam mukjizat –yang terbesar adalah al Qur’an– untuk “meluluhkan” musuh-musuhnya (orang-orang kafir). Dalam hal ini Muhammad dipandang secara pure sebagai Nabi.
Ada pula yang melihat Beliau dari sisi kemanusiannya, yakni manusia produk sejarah yang tidak lepas dari kondisi sosio-kultural dimana beliau tinggal, yang mengangkat isu-isu sosial secara cerdas dengan membingkainya dengan muatan-muatan yang penuh nuansa spiritual. Beliau juga dianggap sebagai sosok yang merubah dunia Arab, dari yang tidak “diperhitungkan” menjadi kawasan yang “diperhitungkan” oleh sejarah.
Dari sudut pandang apapun, Muhammad adalah salah satu simbol kebanggaan umat Islam, yang selalu dipuja, dihormati, dan diteladani sepanjang masa. Tidak mengherankan jika Michael Hart menobatkan Muhammad sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh sepanjang sejarah.
Keadaan Sosio-Kultural Arab Sebelum Muhammad
Kita tidak bisa menunjukkan perubahan apa yang dibangun oleh Muhammad tanpa mengetahui bagaimana keadaan masyarakat Arab sebelum kedatangan Muhammad. Alasannya jelas, tidak ada revolusi, politik, atau keagamaan yang dapat menghapus jejak masa lalu. Kontinuitas senatiasa ada, dan inilah yang memelihara pertautan organis dengan masa lalu.
Saat ini Arab merupakan salah satu wilayah terkaya di dunia dan banyak negara besar bersemangat untuk menancapkan “hegemoni” atau minimal bersaing mencari simpati dari negara-negara Arab agar mendapatkan prioritas untuk bekerja sama dalam bidang perminyakan. Bahkan, ketika Amerika Serikat, di bawah komando “Bush Family” (George Bush dan George W. Bush) menginvasi Irak sebanyak dua kali, disinyalir penuh muatan politis-ekonomis (urusan minyak).
Namun siapa sangka, ketika Muhammad lahir di Kota Mekkah sekitar tahun 570, tak satu pun negara besar di wilayah itu memikirkan Arab. Persia dan Byzantium disibukkan dengan pertengkaran mereka yang melelahkan, yang berakhir sesaat sebelum Muhammad meninggal. Persia dan Byzantium tak pernah mempertimbangkan untuk menguasai wilayah ini dan tak seorang pun bermimpi bahwa di wilayah ini akan melahirkan sebuah agama baru, yang segera menjadi kekuatan dunia yang besar.1
Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, dalam bukunya, History of the Arabs, menyebutkan bahwa permukaan Arab hampir seluruhnya gurun pasir dengan daerah sempit yang dapat di huni. Ketika jumlah penduduk bertambah melampaui kapasitas tanah yang dapat menampungnya, mereka harus mencari tanah lain yang lebih luas.2
Mekkah, tempat kelahiran Islam, berada di pinggiran gurun pasir yang sangat luas, yang di huni oleh penduduk yang di sebut Badui. Mereka adalah kelompok suku nomad, di mana hanya beberapa saja yang tinggal di dekat oase dan menjalani kehidupan yang menetap. Hal ini menjadikan mereka mempunyai watak yang keras.. Keuletan dan ketabahan adalah keistimewaan mereka, sedangkan kekurangan mereka adalah kurangnya disiplin dan menghormati kekuasaan.3
Dalam karya monumentalnya, muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis bahwa suku Badui adalah bangsa yang tak beradab, yang terbiasa melakukan tindakan-tindakan yang tak bermoral. Mereka begitu menikmati ini karena diartikan sebagai terbebas dari kekuasaan dan tiadanya ketundukan pada kepemimpinan. Lebih dari itu, sudah menjadi sifat mereka untuk merampas apa saja yang dimiliki oleh orang lain. Makanan mereka adalah apa yang di dapat dari melemparkan tombak ke musuh.4
Selain itu, Bangsa Badui juga tidak peduli dengan hukum atau berusaha mencegah tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau melindungi suatu suku dari penyerbuan suku lainnya.5 Bahkan terhadap perempuan, mereka memperlakukannya tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Misalnya ada seorang laki-laki meninggal dunia, puteranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika suka dengan tanpa memberikan mas kawin.6
Satu hal lagi yang menarik dari kehidupan orang Mekkah, karena mereka termasuk kaum nomad yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, mereka tidak mengenal konsep pemilikan tanah. Bahkan di Madinah pun, yang merupakan oasis subur, pertanian belum sampai pada tingkat yang mengarah kepada kepemilikan tanah secara individu. Tanah-tanah yang bisa ditanami dimiliki secara bersama-sama. Demikian juga di Mekkah, hampir tidak ada apa yang dinamakan dengan pemilikan tanah, meskipun terdapat rumah-rumah yang dimiliki oleh keluarga-keluarga.7
Kaitannya dengan struktur pemerintahan, konstitusi mereka adalah demokrasi yang di pimpin oleh kepala suku. Kepala suku ini memperoleh kekuasan karena keturunan atau sifat bangsawan, kekayaan, kebijaksanaan, dan pengalaman mereka. Namun demikian, para pemimpin ini tidak mempunyai hak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada para bawahan mereka.8 Dengan demikian, dalam fase ini bisa dikatakan struktur dasar masyarakat badui adalah organisasi suku.
Pada paruh kedua abad VI, terjadi perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan bangsa Arab, di mana saat itu terjadi perubahan rute perdagangan Euphrat- Persia terganggu dan terancam oleh permusuhan yang terus menerus antara kerajaan Byzantium dan Persia. Hal ini mengakibatkan para pedagang harus mencari jalan lain yang lebih aman. Karena lokasi Mekkah berada di sepanjang rute perdagangan yang membentang dari Arabia selatan sampai utara, maka Mekkah berubah menjadi jalur perdagangan internasional,9 dan suku Quraisy berhasil membangun hegemoni perdagangan. Kafilah-kafilahnya tersebar luas, menguasai titik-titik perdagangan internasional. Saudagar-saudagar penting Mekkah menjadi kaya raya dan mengontrol hampir semua kehidupan ekonomi.10 Meskipun demikian, di Mekkah tetap saja tidak terdapat lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang ada hanyalah mala’a (sebuah lembaga senat yang terdiri dari wakil-wakil suku).11
Akibat langsung dari berubahnya kehidupan, yang diakibatkan oleh transformasi ekonomi dari ekonomi pedesaan menjadi ekonomi perdagangan, adalah ketidak mampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri. Perdagangan ini pula yang menjadikan sebagian dari mereka menjadi kaya, sementara yang lain-meskipun berasal dari suku yang sama- mengalami kesulitan ekonomi dan bahkan miskin. Golongan kaya ini mulai tidak mau membagikan kekayaan mereka kepada anggota suku mereka sebagaimana yang dulunya mereka lakukan.12
Perkembangan lebih lanjut, mereka yang kaya membentuk kerja sama intra-suku, sedangkan kalangan anggota suku yang miskin juga membentuk asosiasi sendiri yang tidak mengenal batas-batas kesukuan, yang disebut dengan “Hif al Fudul”.13
Kaitannya dengan masalah keagamaan, mereka memiliki kehidupan spiritual yang sangat berarti bagi mereka. Berbagai tempat dianggap suci dan merupakan tempat kuil-kuil yang memiliki ritual kuno masing-masing, yang berpusat pada Tuhan yang khusus. Yang paling penting dari semuanya adalah Ka’bah, yang terletak di dekat sumber air keramat Zamzam. Pada masa Muhammad, Ka’bah secara resmi didedikasikan pada tuhan Hubal, tuhan yang di bawa ke Arab dari tradisi kerajaan Nabatean (Yordania).14 Di dekat Mekkah juga terdapat kuil-kuil yang terkenal, seperti Kuil al Lata, al Uzza,dan Manat. Namun tidak seperti orang Yunani, Bangsa Arab tidak mengembangkan mitologi untuk menjelaskan kepentingan simbolis dari sosok-sosok agung ini.
Muhammad dan Peradaban yang Dibangun
Uraian di atas sedikit banyak memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab sebelum munculnya Muhammad untuk menjadi pembaharu dan pembawa perubahan yang sangat signifikan di kawasan Arabia khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya. Dari uraian diatas pula, dapat dipahami bahwa Muhammad tidak benar-benar berangkat dari “ruang hampa”, melainkan ada keadaan sosio-kultural yang melatar belakanginya.
Pewahyuan di Goa Hira’ tahun 610 M jelas merupakan kejadian penting, namun itu hanya suatu permulaan. Lebih penting dari itu, Beliau harus mulai berfikir keras untuk mendiagnosa kehidupan di Mekkah. Beliau sadar dan mungkin percaya bahwa hanya utusan Tuhan yang dapat “menyembuhkan” persoalan kotanya. Namun kita tahu dari al Qur’an bahwa Muhammad tidak pernah membayangkan sedikit pun bahwa dialah yang akan menjadi Sang Nabi.15
Tahun 612, di awal misinya, Muhammad memiliki konsep sederhana tentang perannya. Beliau bukanlah juru selamat atau messiah. Beliau belum mempunyai misi universal, sehingga Beliau belum merasa perlu menyampaikan ajarannya kepada seluruh bangsa Arab. Beliau hanya menyampaikan ajarannya kepada penduduk Mekkah dan sekitarnya.
Di masa awal misinya, Muhammad tidak mengeluarkan daftar panjang kewajiban. Tapi Beliau bertekad untuk mereformasi etika kehormatan bangsa Arab yang sudah di kenal suku Quraisy. Beliau, dengan tuntunan al Qur’an, mengajarkan bahwa setiap orang harus berusaha keras untuk menciptakan masyarakat yang adil; kaum lemah diperlakukan dengan baik. Selain itu, Muhammad juga tidak membenarkan menumpuk kekayaan untuk kesenangan pribadi, tetapi dianggap kebaikan bila memberikan derma dan membagi kekayaan secara merata.16
Muhammad memang tidak pernah mengkritik kapitalisme, dan mungkin tidak sependapat dengan semua konsep baru tentang sosialisme. Namun bila kita teliti secara mendalam, dia jelas seorang sosialis dan ini meninggalkan kesan yang melekat pada etos Islam. Benar, Beliau tidak mengutuk kekayaan dan kepemilikan sebagaimana dilakukan Yesus, tapi Beliau melarang kaum muslim menimbun uangnya atau mengembangkan permusuhan untuk mendapat lebih dari yang lainnya. Beliau juga memerintahkan kaum muslim untuk memelihara kaum miskin dan tidak boleh menipu anak yatim atas harta warisan mereka.17
Selain itu, Muhammad juga mulai mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya bisa diibaratkan seperti “barang”. Muhammad, tentu masih dengan petunjuk Tuhan, memberi hak bagi kaum perempuan untuk mewaris, dan bukannya “diwaris”, memberinya hak untuk bersaksi, dan bahkan memberi hak hak untuk membatalkan kesaksian laki-laki.18 Muhammad juga memberikan hak-hak kepada perempuan dalam masalah perkawinan, perceraian, pemilikan harta benda dan pemeliharaan anak.19 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Muhammad pada saat itu sedang melakukan revolusi sosial dan mengajarkan prinsip egalitarianisme (persamaan derajat), tidak menyukai ketidakadilan dan eksploitasi.
Ajaran Muhammad yang lain dan juga termasuk ajaran fundamentalnya adalah monotheisme. Hal ini dapat dilihat dari seluruh ajaran Muhammad yang bersifat sosial pun selalu di bingkai dengan nuansa spiritual. Adapun dasar spiritualitas Muhammad itu sendiri adalah kesatuan Illahi (monotheisme).20 Dan inilah yang selalu diupayakan oleh Muhammad dalam hidup seseorang dan dalam masyarakat.
Sebenarnya ajaran monotheistic Muhammad ini bukanlah hal yang baru, namun tak banyak orang Quraisy yang siap melakukan pemutusan hubungan dengan masa lampau secara radikal dan membiarkan kekeramatan kuno berlalu begitu saja. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Madinah yang tidak terkejut dengan ide monotheisme karena mereka terbiasa hidup berdampingan kaum Yahudi dan Kristen.
Kondisi seperti inilah yang “memudahkan” Muhammad mengembangkan ajarannya di Madinah dibandingkan di Mekkah, sehingga perkembangan ajaran Muhammad di Madinah ini mencapai kemajuan yang spektakuler. Bahkan di Madinah ini pula, Muhammad mencetak blue print komunitas Islam pertama dengan mengeluarkan sebuah piagam yang menjamin kebebasan orang-orang Yahudi sebagai sebuah komunitas, dengan menekankan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin, dan menyerukan kepada orang-orang Muslim dan Yahudi untuk bekerja sama demi keamanan mereka bersama. Dan sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada Nabi untuk memutuskan dan mengadili perselisihan-perselisihan di antara mereka.21
Munculnya Piagam Madinah ini berarti membentuk sebuah kelompok baru dimana semua suku adalah “satu komunitas” (umat) yang berdasarkan agama, bukan persaudaraan. Dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di Arab karena sampai saat itu suku masih merupakan unit dasar masyarakat.22
Lahirnya Piagam Madinah ini dianggap sebagai “kelahiran” negara Islam pertama di dunia. Penilaian ini sangat wajar mengingat di Madinah saat itu memang telah memenuhi unsur terbentuknya sebuah Negara, yaitu Wilayah, Pemimpin, rakyat yang di pimpin, dan juga Undang-undang. Dan bahkan pada tahap selanjutnya, komunitas Muslim ini memberikan perhatian yang cukup intens pada pembentukan sebuah kelompok militer yang professional.23
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti), cet. V, 2001
Engineer, Asghar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam,; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baihaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999
_______Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LSPPA), cet. II, 2000
Rahman, Fazlur, Islam terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka), cet. III, 1997
Yahya ,Imam, “Relasi Sipil-Militer dalam Islam: Studi tentang Militer dalam Wacana Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi 18, tahun VII, 2000
Hidayat, Komarudin, Tragedi Raja Midas, (Jakarta: Paramadina), 1998
1 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti), cet. V, 2001, hlm. 55
2 Asghar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam,; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baihaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, hlm. 18
6Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LSPPA), cet. II, 2000, hlm. 32
13 Ibid.
23 Imam Yahya, “Relasi Sipil-Militer dalam Islam: Studi tentang Militer dalam Wacana Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi 18, tahun VII, 2000, hlm. 63