Sabtu, 11 Desember 2010

Nuansa Saintis dalam Al Qur'an

Al Qur’an telah memberi contoh berkenaan dengan kehidupan nyata, bagaimana pengembangan sumber daya manusia, pengembangan ilmu pengetahuan, pengorganisasian masyarakat, tehnologi dan juga pemikiran serta pandangan, bahwa alam semesta berikut seluruh isinya bukanlah merupakan realitas independen, apalagi terakhir (ultimate), melainkan “tanda-tanda” dari kebesaran dan keberadaan Allah SWT.
Salah satu cara untuk menguak “tanda-tanda” tersebut adalah dengan melakukan penafsiran terhadap firman Tuhan yang termaktub dalam al Qur’an al Karim. Dan salah satu kitab tafsir yang berusaha “membaca” ayat-ayat Tuhan tersebut adalah kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim.
Menurut Fazlur Rahman, kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim karya Tanthawi Jauhari dinilai sebagai kitab tafsir yang bercorak ilmiah, yang pada masanya telah memberikan ghirah tersendiri bagi umat Islam, khususnya dalam memahami, mendalami, dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam kitab tafsir ini, Tanthawi Jauhari menggunakan pelbagai data ilmiah sebagai variabel dalam menjelaskan ayat al Qur’an.
Kendati terjadi perdebatan seputar eksistensi penafsiran bercorak ilmiah, kehadiran jenis tafsir ini secara umum masih dapat diterima dan dianggap tidak bertentangan dengan al Qur’an. Demikian ini mengingat dalam al Qur’an sendiri terdapat banyak isyarat ilmiah.
Namun begitu, harus dicatat bahwa al Qur’an bukanlah buku sains ataupun tehnik karena sejak semula al Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk menjawab semua problem manusia. Banyak hal yang dapat diperoleh di luar al Qur’an. Oleh karena itu, menafsirkan al Qur’an bukanlah untuk memenuhi kebutuhan aktual dan tehnik, melainkan berupaya berdialog dengannya untuk melihat bagaimana pandangan-pandangannya.[1]

ADA APA DENGAN TAFSIR ILMIAH....???

Ada berbagai penilaian para pakar tentang tafsir ilmiah. Pertama, ada pendapat bahwa tafsir ilmiah berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks al Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dimiliki mufassir. Kelompok ini diwakili oleh al Zahabi dan Abu Hamid al Ghazali (w. 1111 M).
Kedua, ada yang cenderung melihat fungsinya sebagai i’jaz al Qur’an, yakni pembuktian atas kebenaran teks al Qur’an dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti (investigate) ilmu pengetahuan melalui teks al Qur’an. Kelompok ini diwakili oleh Imam al Suyuthi dan Muhammad bin Ahmad al Iskandaran.
Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai istikhraj al ‘ilm, yaitu teks atau ayat-ayat al Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern. Kelompok terakhir ini diwakili oleh Muhammad Ali Iyazi (1333 H) dan Abu al Fadl al Mursi.[2]
Menurut penelitian Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat al Qur’an berbicara dan mendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir  klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fiqh –yang tidak lebih dari 500 ayat sharih- dan lengah terhadap arahan al Qur’an tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah salah satu hujah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam muqadimah tafsirnya.[3]
Menurut Jansen dalam bukunya yang dalam edisi Indonesia-nya berjudul “Diskursus Tafsir al Qur’an Modern”, model penafsiran Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dan sebagainya. Namun begitu, tetatp saja ada sekelompok orang yang justeru menyerang pendapat-pendapat Tanthawi. Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah intelektual.[4]

LATAR BELAKANG PENULISAN

Bagi  Tanthawi, tuanya usia bukan penghalang untuk tetap concern di dunia tulis menulis. Bahkan keriput kulit jari jemarinya memberikan “ilham” tersendiri untuk memunculkan berbagai karya.
Hal tersebut bukan sekedar omong kosong belaka, sebab justeru diusia senjanya (60 tahun), Tanthawi mampu menghadirkan karya besarnya, yakni kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 jilid, dan pertama kali dicetak di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al Babi al Halabi tahun 1350 H / 1929 M. Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar al Fikr tahun 1395 H/1974.
Kaitannya dengan latar belakang penulisan tafsir ini, ada komentar menarik dari Tanthawi, yaitu:
“Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya, baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan meghilang, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yan menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar, dan sebagainya.” [5]

Itulah yang mendorong Tanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu  Alam.
Al Qur’an menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar, serta langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki “mata hati” (dzu al bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabshirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
Selanjutnya ia menyatakan, “Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadan umat Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat kepada beberapa tokoh cendekiawan (al ‘Uqala’) dan para ‘Ulama besar (ajilah al ‘ulama’) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan, juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama’ yang memikirkan realitas alam semesta dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya.”
Tanthawi juga menyatakan, “.......di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan (majaztu) ayat-ayat al Qur’an dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu Illahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-nya. Maka aku meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga aku dapat menafsirkan al Qur’an dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu al Qur’an (Juz I: 2, muqaddimah).[6]
Tafsir al Jawahir ini ditulis pertama kali oleh Tanthawi ketika ia mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir, yang kemudian dimuat di Majalah al Malaji’ al ‘Abasiyah. Adapun mengenai corak penafsiran atau model pendekatan yang diambil ini, oleh Tanthawi ditujukan agar umat Islam “menyenangi” keajaiban alam semesta, keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.[7]


METODE PENULISAN

Kitab al Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan Mushaf ‘Utsmani. Sebelum menafsirkan Surat al Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu mengutip Surat al Nahl: 89 dalam uraian “Kata Pendahuluan” (Muqaddimah). Berbeda dengan jilid II dan selanjutnya, dimana ia menjadikan Surat al Nahl: 44 sebagai “motto” dari uraiannya.
Setiap surat yang ditafsirkan, Tanthawi kerapkali mengklasifikasikannya sebagai Surah Makkiyah atau Surah Madaniyah sesuai periode turunnya al Qur’an. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci tentang adanya ayat tertentu yang berbeda klasifikasi periodenya dengan karakteristik umum dari induk atau surah-nya, sebagaimana ia tidak mengungkapkan perbedaan riwayat yang muncul terkait dengan klasifikasi suatu surah.
Kemudian Tanthawi menuliskan alasan, latar belakang, maksud dan tujuan penulisan tafsirnya ini, sebagaimana telah disinggung di atas, ide-idenya yang berkenaan dengan tafsir al Qur’an yang pernah diterbitkan dalam beberapa media sebelumnya kembali ia rangkum. Gambar foto juga menjadi media pelengkap ketika Tanthawi menjelaskan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam.
Sudah barang tentu ketika ia menafsirkan kalam-kalam suci Allah SWT, argumentasi ilmiah menyertai penjelasannya, terutama yang bersentuhan dengan alam secara umum, sehingga “hampir semua tokoh” sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah.[8] Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa corak ilmiah tafsir Tanthawi tidak sepenuhnya dibenarkan, karena al Qur’an bukanlah kitab “ilmu”, melainkan kitab “hudan” bagi manusia. Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Membumikan al Qur’an” (1999: 72), petunjuk al Qur’an ada yang berbentuk lafdzi, qiyasi, isyari dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.[9]
Sebagai bukti bahwa apa yang telah didapat oleh para ilmuwan tentang kecocokan hasil penelitian mereka dengan pesan al Qur’an sangat terbatas. Misalnya, ketika para dokter berhasil “menciptakan” alat untuk mengetahui apakah janin dalam kandungan seorang ibu hamil itu laki-laki atau perempuan berikut lahirnya namun prediksi itu kerapkali keliru, mereka juga tidak tahu pasti kapan bayi itu akan lahir, berapa beratnya, bagaimana bentuk rambutnya, wajahnya, dan lain-lain.
Contoh lain adalah ketika dahulu ada ulama’ yang memahami arti sab’a samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. “Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai sebuah i’tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain.”[10]
Kita ambil contoh bagaimana Tanthawi menafsirkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: ه)
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu dalam keraguan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim neurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering. Kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah berbagai macam tumbuhan yang indah.” (Q.S. al Hajj: 5)[11]

Dalam menafsirkan ayat ini Tanthawi memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi penyebab tumbuhnya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah dalil penting ilmu al ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib dipelajari. Tanthawi berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Hal demikian karena al Qur’an hanya memberikan petunjuknya secara global dan kesempurnaannya dibutuhkan pengetahuan yang lainnya.[12]
Achmad Baiquni melontarkan pertanyaan dalam bukunya, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, “kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya?” secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromosom (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan “kopian” dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak hampir dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.[13]
Contoh lain adalah Q.S. al A’raf: 58 yang berbunyi:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لَا يَخْرُجُ إِلَّا نَكِدًا كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ (الأعرف:    )

Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. al A’raf: 58)[14]

Ayat ini menunjukkan bahwa walaupun walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga tumbuh juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh. Tafsiran ini menunjukkan bahwa Tanthawi berusaha untuk memberikan “nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.[15]
Dengan demikian, inti dari pemikiran Tanthawi melalui karya besarnya ini adalah untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap kondisi obyektif masyarakat Muslim pada masanya agar bangkit dari keterbelakangan dan kebodohan.


PENUTUP

Demikianlah pola pemikiran serta corak penafsiran dari Tanthawi Jauhari dalam kitab tafsir al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim. Dari uraian tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Tafsir ilmiah berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks al Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dimiliki mufassir. Berfungsi sebagai i’jaz al Qur’an, yakni pembuktian atas kebenaran teks al Qur’an dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti (investigate) ilmu pengetahuan melalui teks al Qur’an, juga sebagai istikhraj al ‘ilm, yaitu teks atau ayat-ayat al Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern.
2.      Tanthawi menyusun kitab tafsir al Jawahir ini dengan mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu  Alam. Menuliskan keajaiban-keajaiban alam, menampakkan alam fisik yang tersebar, serta langit yang ditinggikan, yang kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki “mata hati” (dzu al bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabshirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
3.      Tanthawi berusaha untuk memberikan “nuansa baru”, bahwa al Qur’an sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahannya itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.
4.      Meskipun “hampir semua tokoh” sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa corak ilmiah tafsir Tanthawi tidak sepenuhnya dibenarkan, karena al Qur’an bukanlah kitab “ilmu”, melainkan kitab “hudan” bagi manusia.
















DAFTAR PUSTAKA

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2002
Iyazi, Sayyid Muhammad Ali, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H
Jauhari, Tanthawi, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977
al Fanisan, Su’ud ibn Abdul Falah, Ikhtilaf al Mufassirin; Asbabuhu wa Atsaruhu, Beirut: Dar al Ma’rifah, 1997
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999
al Thabathaba’iy, Muhammad Husain, Tafsir al Mizan, Jilid I, Beirut: Dar al Kutub al Islamiyah, Cet. III, 1397 H
Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004
Baiquni, Ahmad, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997



[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 226 et. seq
[2] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H, hlm. 450
[3] Ibid., hlm.451. lihat juga Tanthawi Jauhari, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974, hlm. 3
[4] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977, hlm. 22
[5] Ibid., hlm. 23
[6] Ibid., hlm. 25. lihat juga Tanthawi Jauhari, Op. Cit., hlm. 2
[7] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Op. Cit., hlm. 450
[8] Su’ud ibn Abdul Falah al Fanisan, Ikhtilaf al Mufassirin; Asbabuhu wa Atsaruhu, Beirut: Dar al Ma’rifah, 1997: 53 et.seq.
[9] M. Quraish Shihab, “Membumikan” al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999, hlm. 109
[10] Ibid., hlm. 110. lihat juga Muhammad Husain al Thabathaba’iy, Tafsir al Mizan, Jilid I, Beirut: Dar al Kutub al Islamiyah, Cet. III, 1397 H, hlm. 6
[11] Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 462
[12] Ahmad Baiquni, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997, hlm. 185
[13] Ibid., hlm. 187
[14] Depag RI, Op. Cit., hlm. 212
[15] Ahmad Baiquni, Op. Cit., hlm. 191

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design