Sabtu, 11 Desember 2010

Tanthawi Jawhari; Sang Penafsir Al Qur'an Ilmiyah

Tanthawi bin Jawhari al Mishriy lahir pada 1287 H/1862 M di desa ‘Iwadillah, di Provinsi administratif Mesir Timur, dekat dengan peninggalan Fir’aun. Masa kecilnya, Tanthawi hidup bertani bersama orang tuanya, tapi ia juga belajar di Kuttab (semacam pesantren penghafal al Qur’an) yang berada di desa al Ghar, disamping belajar pada pamannya, yang masih keturunan bangsawan.
Orang tuanya menginginkan Tanthawi kelak menjadi orang terpelajar. Atas saran pamannya, Syekh Muhammad Syalabi, yang juga Guru Besar bidang sejarah di Universitas al Azhar, Tanthawi pun mempelajari ilmu bahasa Arab (fashahah dan balaghah) serta ilmu agama, lalu kuliah di al Azhar, Kairo. Tetapi karena faktor kesehatan, studinya terhenti. Ia kembali ke “habitat” keluarganya, yaitu bertani.
Kendati demikian, minat belajarnya tak terhenti. Ditengah kesibukannya, Tanthawi selalu mengamati dan memperhatikan pepohonan, bunga-bunga, dan tanaman lainnya. Mulai dari proses tumbuhnya, fungsinya, hingga manfaatnya di bidang kedokteran. Ternyata Allah SWT membukakan hatinya untuk mengetahui ilmu-ilmu alam. Saat memperhatikan keindahan dan keelokan alam, ia pun berdo’a semoga Allah SWT memberikan kesembuhan padanya. Do’anya dikabulkan dan ia pun kembali masuk ke al Azhar setelah tiga tahun meninggalkannya. Kali ini, Tanthawi belajar al Khitabah (seni berpidato) dan ilmu falak pada Syeikh ‘Ali al Bulaqi selama empat tahun.
Semasa kuliah itu, ia bertemu dengan Muhammad Abduh, dosen tafsir, yang besar pengaruhnya terhadap pemikiran Tanthawi, terutama dalam bidang tafsir. Tanthawi selalu berusaha mengikuti kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Tahun 1889, Tanthawi pindah ke Universitas Dar al ‘Ulum, hingga tamat pada 1893. disini mempelajari beberapa mata kuliah yang tidak diajarkan al Azhar, seperti Matematika (al Hisab), ilmu ukur (handasah), aljabar, ilmu falak, botani (‘ilmu nabat), fisika (‘ilm al Hab’ah), dan kimia (al Kimiya’).
Setelah menyelesaikan studinya, beberapa waktu lamanya Tanthawi mengajar di tingkat Ibtida’iyah dan Tsanawiyah. Kemudia ia mengajar di almamaternya, Dar al ‘Ulum. Lalu tidak lama kemudian (1912) ia juga mengajar di al Jami’ah al Mishriyah untuk bidang studi Filsafat Islam.
Di samping mengajar, Tanthawi juga aktif menulis. Selain artikel-artikelnya yang selalu muncul di Marian al Liwa, ia juga menulis tak kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban, yaitu agama dan perkembangan modern serta pemikiran sosial – politik. 9M.[1]
Tanthawi selalu mengatakan Islam adalah agama akal. Maksudnya, ilmu pengetahuan sesuai dengan tuntunan al Qur’an. Ia juga aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui surat-surat kabar dan majalah, serta menghadiri berbagai pertemuan ilmiah. Selain itu, ia pun mendirikan lembaga pemdidikan bahasa Ingris, supaya para pemuda Muslim dapat memahami ilmu dari Barat dan pemikiran mereka.
Ada dua bidang keilmuan yang dipandangnya menjadi dasar untuk mencapai tingkat pengetahuan ilmiah, yaitu tafsir dan fisika. Pengetahuan inilah yang dijadikannya “penangkal” kesalahpahaman orang yang menuduh Islam menentang ilmu dan tehnologi modern sebagai “Penulis”, Tanthawi telah menghabiskan umurnya yang pendek untuk dan menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, sejak ia mulai menjadi guru hingga ia pensiun tahun 1939.
Ketika pecah perang dunia I (1994), Tanthawi banyak membangkitkan semangat penduduk di sekitar Dar al ‘Ulum untuk melawan Inggris, baik melalui tulisan maupun ceramah atau khutbah. Ia juga tergabung dalam Parta Nasional yang dibentuk oleh Musthafa Kamil. Selain itu, ia juga membentuk kelompok mahasiswa yang diberinya nama “al Jam’iyyah al Jawhariyyah” (organisasi mutiara). Organisasi ini berpengaruh dalam menyebarkan rasa kebanggaan dan martabat peradaban rakyat Mesir, khususnya di daerah Iskandariyah. Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H.[2]

POSISI TANTHAWI JAUHARI

Para ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap Tanthawi ada yang menyatakan, ia seseorang sosiolog (hakim ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi ummat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahdlah al Ummah wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi umat Islam, ilmu dn peradaban, hubungan antara dua peradaban Timur dan Barat yang mestinya saling mengntungkan. (2) ‘Ain al Insan, membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem pemerintahan.
Ada juga yang memposisikan Tanthawi sebagai seorang teosofi alam (Hakim Thabi’i Lahuti) yang banyak mengkaji permasalahan sekitar ruh, keajaiban atau keanehannya. Penulisan ini dilandasi oleh beberapa bukunya, seperti (1) Jawahir al ‘Ulum (mutiara ilmu), dijadikan sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Mesir, mengisahkan pemuda Mesir yang ingin menikah dengan puteri Persia keturunan Turki; (2) al Aiwah (Ruh) dan (3) al Nidzam wa al Islam Iperaturan hukum dan Islam). Selain itu, Tanthawi juga banyak membahas tentang obyek materi dan hukum alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al ‘Alam wa al Umam (Keteraturan Alam Semesta Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam Samawat), fenomena kehidupan raja, politik Islam, dan “politik” konvensional, terbit tahun 1905. ia mengangkat dua ide besar, yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al Jhiba’ al Basyariyyah), dan bahwa agama Islam compatible dengan hukum alam dan ilmu-ilmu modern.
Peneliti lain menempatkan Tanthawi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan al Qur’an sesuai dengan zaman modern (waktu itu). Pernyataan ini terlihat hjelas dalam kitab tafsirnya al Jawahir dan karya yang lainnya, yaitu al Taj wa Murasha (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat Yunani, ilmu modern dan al Qur’an. Santilana (filosof Italia) telah meringkas buku denga judul Shadyu Shaut al Mishriyyin bi ‘Uruba.[3]

TINTA EMAS TANTHAWI

Sebagian karya tulis Tanthawi telah disebutkan di atas, sebagiannya pula telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahsa Eropa. Beberpa buku lainnya adalah:
1.      Jamal al ‘Alam (Keindahan Alam), membahas tentang hewan, burung, serangga, dikemas dengan cara ilmiah dan agamis, dicetak tahun 1902 M/1320 H atas dorongan penyair Sungai Nil Hafidz Beik Ibrahim.
2.      Buhjah al ‘Ululm fi al Fasafah al ‘Arabiyyah wa Muwazanatuha bi al ‘Ulum al ‘Ashriyyah (Keelokan Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Arab serta Posisinya dalam Ilmu-ilmu Kontemporer), terbit 1936, memuat uraian agama dan filsafat, filsafat al Farabi, serta sejarah filsafat Yunani.
3.      al Musiqa al ‘Arabi (Musik Arab), memuat tiga artikel tentang seni musik dan filsafat musik, asal usul ilmu ‘Arudl, serta pandangan ahli hikmah tentang musik.
4.      Sawanih al Jawhar (Kesempatan Berharga), kumpulan catatan harian Tanthawi tentang alam sekitar dan perkembanngan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri Timur. Ia juga menafsirkan tentang nafsu syahwat yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia.
5.      al Sirr al ‘Ajib fi Hikamh Ta’addud Azwaj al Nabi (Rahasia Agung tentang Hikamh Poligami Nabi). Sesuai denganjudulnya buku ini membahas tentang poligami di kalangan umat Islam, serta praktek poligami yang dilakukan Nabi SAW.
6.      Bara’ah ‘Abbasiyyah, buku sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra, mengklarifkasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja’far al Barmaki yang ditulis semasa Khalifah Harun al Rasyid.
7.      Risalah ‘Ain al Naimah (Tulisan tentang Semut), mengungkapkan perjalanannya bersama ahli kedokteran dan dosen-dosen lain mengenai keajaiban semut, seperti mata semut tersusun atas 200 “bola mata” dan setiap mata bersifat otonom penuh.
8.      al Qur’an wa al Fium al ‘Ashriyyah (al Qur’an dan Ilmu-ilmu Modern), terbit tahun 1342 H/1923 M, isinya mendorong umat Islam untuk menghimpun kemampuan mereka dan menguasai ilmu-ilmu modern, sehingga mereka menjadi pemilik yang sah dari ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah Allah janjikam agar umat Islam menguasai bumi dengan adil.[4]



[1] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H, 429
[2] Ibid., hlm. 430-440
[3] Ibid., hlm. 442-7
[4] Ibid., hlm. 449

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design