Arti semula kata fiqh adalah pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu. Ibnu Manzur mengatakan bahwa fiqh adalah al ‘ilm bi al syay’ wa al fahm lah. Maksudnya fiqh adalah pengetahuan tentang sesuatu dan pemahaman tentangnya. Dalam pengertian ini, fiqh, ‘ilm dan fahm adalah sinonim.
Kata fiqh pada mulanya digunakan orang-orang Arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina yang sedang birahi dari unta yang sedang bunting. Dari pengertian yang khusus ini, pengertian fiqh kemudian bergeser untuk menunjuk pada “pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal”. Sebagai contoh adalah karya yang ditulis al Tsa’alibi (w. 429 H) yang diberi judul Fiqh al Lughah (pemahaman ilmu bahasa). Karya ini tidak ada hubungannya dengan hukum, melainkan suatu uraian tentang hukum dan aturan bahasa Arab, yang bila dikuasai akan membuat seseorang menguasai bahasa Arab secara fasih.
Al Qur’an menggunakan kata fiqh dalam pengertian “memahami” secara umum di lebih dari satu tempat. Ungkapan al Qur’an ليتفقهوا فى الدين (agar mereka memahami masalah agama), menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu theologies, politis, ekonomis, serta hukum.
Rasulullah pernah mendo’akan Ibnu ‘Abbas اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل (Ya Allah berikan dia pemahaman yang mendalam tentang agama dan ajarkanlah ta’wil kepadanya). Jelas disini Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam hukum semata, tetapi pemahaman tentang Islam secara umum.
Petunjuk yang lain adalah riwayat Ibn Hisyam yang menceritakan tentang sejumlah orang Arab Badui (dusun) yang dikabarkan telah meminta Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengajari suku mereka tentang agama (يفقهوننا في الدين). Kata fiqh dalam riwayat ini jelas menunjuk kepada arti yang luas meliputi prinsip-prinsip agama dan hukum-hukumnya, karena tidak mungkin orang-orang Arab Badui tersebut hanya menghendaki diajari saja dan meninggalkan aspek-aspek lain dari agama.
Dalam pengertian yang lebih luas, istilah fiqh pada periode-periode awal barangkali juga mencakup makna asketisme. Asumsi ini didukung oleh suatu riwayat bahwa suatu ketika seorang sufi Farqad al Subkiy (w. 131 H) berdiskusi dengan al Hasan al Bashri (110 H). Melihat gagasan-gagasan al Bashri yang terasa “asing” di tengah-tengah masyarakat, Farqad menyatakan bahwa para fuqaha’ (orang yang ahli fiqh) akan menentang sikapnya itu. Al Hasan al Bashri menjawab bahwa seorang faqih yang sesungguhnya adalah seseorang yang memandang remeh kehidupan dunia, dan mencurahkan diri pada akhirat semata, memiliki pengetahuan mendalam tentang agama, langgeng dalam beribadah pada Tuhannya, taqwa dalam segala urusannya, menahan diri dari menghina sesama Muslim dan selalu mendoakan bagi kebaikan masyarakat.
Sumber: Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup
Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah
0 komentar:
Posting Komentar