Kamis, 16 Desember 2010

Mendaki Puncak Kearifan bersama Mulla Shadra

Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syirazi. Dia lahir pada tahun 1571 M di Syiraz, sebuah kota yang saat itu dikenal sebagai pusat studi filsafat dan disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional lainnya. Ayahnya seorang gubernur di Provinsi Fars.
Pendidikan dasarnya dijalani di kotanya, dalam bidang al Qur’an, Hadits, Bahasa Arab, dan Bahasa Persia. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Isfahan. Di sana, ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat itu, yaitu Baha’ al Din al Amili, Mir Damad (Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi).1
Baha’ al Din al Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek, dan pujangga.2Darinya, Mulla Shadra mendapatkan studi-studi yang komprehensif tentang pandangan-pandangan Syi’ah mengenai fiqh, ilmu hadits, serta berkenalan dengan tafsir al Qur’an. Hal inilah yang disinyalir membedakan Mulla Shadra dengan para filosof Islam Abad Pertengahan sebelumnya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya sebatas dasar-dasarnya.3
Dalam periode yang sama, Mulla Shadra mulai mengkaji apa yang lazim dikenal sebagai ilmu-ilmu intelektual (al ‘ulum al ‘aqliyyah) dibawah bimbingan salah seorang filosof Islam paling besar dan orisinil, Mir Damad. Ia dikenal sebagai “Guru Ketiga” setelah Aristoteles dan al Farabi karena kapasitasnya sebagai seorang teolog, filosof, dan mistikus serta seorang pujangga. Beliau mengajar filsafat Ibn Sina dengan interpretasi isyraqiyyah (iluminatif). Karya yang merupakan masterpiece-nya adalah Qabasat, yang menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi, dan gnosis. Tokoh inilah yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mulla Shadra, yakni al Hikmah al Muta’aliyyah.4
Setelah periode formal studinya, Mulla Shadra uzlah dari masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri di desa kecil Kahak, dekat kota Qum. Periode ini menandai kesibukan Mulla Shadra yang kian meningkat dengan kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar bagi kebanyakan karya utamanya.
Dalam uzlah ini, ia menghabiskan kira-kira tujuh tahun dalam praktek-praktek spiritual dan banyak berdzikir dengan teratur untuk mensucikan jiwanya. Dalam periode ini, ia juga melakukan introspeksi filosofis dengan merenungkan kembali persoalan-persoalan yang telah menjadi kontroversial, tentang Tuhan, wujud semesta dan lainnya. Ia melakukan penalaran yang mendalam serta “penyucian diri” sampai “mata hati”-nya terbuka, sehingga periode ini benar-benar melengkapi studi formalnya, dimana ia menyempurnakan program untuk melatih diri menjadi seorang filosof sejati versi Suhrawardi.5 Singkatnya, selama periode inilah tercapai pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.
Dengan demikian, masa kontemplasi Mulla Shadra ini kiranya memberikan gambaran betapa kuatnya sikap iluminasionisnya terhadap filsafat pada umumnya dan khususnya pandangan iluminasionis tentang keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialaminya,6dimana ia kemudian menjelma menjadi ahli hikmah yang “tercerahkan”, yang mengalihkan persoalan-persoalan metafisika dari pemahaman yang bersifat intelektual menjadi visi langsung terhadap dunia spiritual dan membuktikan kesatuan tiga jalan utama pengetahuan dalam diri pribadinya. Tiga jalan ini, menurut Mulla Shadra, adalah wahyu (al wahy), demonstrasi atau inteleksi (al Burhan, al ta’aqqul), dan visi spiritual atau “mistis” (al mukasyafah, al musyahadah).7
Seiring dengan perjalanan waktu, Mulla Shadra terbentuk menjadi pemikir yang brilian dan menonjol, dimana ia dipandang memahami dengan sangat baik sekali warisan pemikiran keislaman, baik yang bercorak filosofis, keagamaan, maupun spiritual. Tradisi-tradisi filsafat Peripatetik Muslim (masya’i) yang mencapai titik kematangannya pada Ibn Sina, Kalam, baik Syi’ah maupun Sunni, filsafat atau theosofi iluminasi (isyraqi) dari Suhrawardi, serta tradisi sufi yang mencapai puncaknya pada Ibn ‘Arabi, kesemuanya itu dikombinasikan dan diharmonisasikan olehnya secara sadar untuk tercapai suatu grand syntesis (sintesa besar).8Bahkan, bukan hanya dari berbagai madzhab pemikran Islam saja, Mulla Shadra juga menyintesis berbagai jalan pengetahuan manusia.9
Selama masa hidupnya, Mulla Shadra banyak sekali menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keagamaan (naqli) maupun ilmu-ilmu intelektual (aqli). Namun, karena Mulla Shadra memandang bahwa kedua ilmu itu berkaitan erat satu sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama, yaitu intelek ketuhanan, maka dia selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam karya filosofisnya dan begitu pula sebaliknya.
Meski begitu luas ilmu yang dikuasai Mulla Shadra, namun apabila ditelaah secara mendalam, sebenarnya hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi fondasi bagi sistem pemikiran Mulla Shadra, yaitu pemikiran Ibn Sina, pemikiran iluminasi Suhrawardi, dan pemikiran Ibn Arabi. Jelasnya, sistem pemikiran Mulla Shadra dibangun diatas fondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi, dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan Ibn Arabi.10
Berpijak dari sini, Mulla Shadra kemudian menghasilkan karya-karya yang cukup banyak, antara lain al Hikmah al Muta’aliyah fi al Asfar al ‘Aqliyyah al Arba’ah, al Mabda’ wa al Ma’ad, al Syawahid al Rububiyyah fi al Manahij al Sulukiyyah, Mafatih al Ghaib Kitab al Masy’air, al Hikmah al ‘Arsyiyyah dan lain sebagainya.11

HIKMAH MUTA’ALIYAH MULLA SHADRA

Pemikiran Mulla Shadra, saat ini, menjadi fokus kajian filsafat tradisional di Iran, juga beberapa perguruan tinggi modern. Di Barat, kajian tentang Mulla Shadra juga sudah dimulai oleh Max Horten dengan bukunya Das Philosophische System von Schirazi, kemudian oleh Henri Corbin dengan bukunya La Livre des Penetration Metaphysiques.12 Hal demikian dapat dipahami sebab Mulla Shadra telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap filsafat, baik ulasannya atas karya Suhrawardi (Hikmah al Isyraq) dan Ibn Sina (al Syifa’) ataupun karya-karya lainnya. Namun, dari sekian banyak karyanya, al Hikmah al Muta’aliyah fi al Asfar al ‘Aqliyyah al Arba’ah adalah karya terpenting dan terbesar dari Mulla Shadra. Bahkan bisa dikatakan sebagai puncak dari seluruh karya filosofis yang pernah ada. Dan dari judul buku ini pula, kemudian dikenal luas madzhab pemikiran Mulla Shadra, yaitu Hikmah Muta’aliyah.
Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah –al Hikmah (artinya teosofi) dan al Muta’aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara epistemologis, hikmah muta’aliyah ini berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan syari’at. Dengan demikian, hikmah muta’aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional. Hikmah Muta’aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan sehingga terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’at.13
Dalam magnum opus-nya ini, Mulla Shadra memaparkan adanya madzhab dan pandangan dunia berdasarkan ajaran metafisika, yang didalam matriknya dijelaskan dalam empat perjalanan intelektual menuju maqam kepastian, yaitu:
  • Perjalanan dari makhluk (khalq) menuju Tuhan (al Haqq);
  • Perjalanan menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan;
  • Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan;
  • Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.14
Sebagai karya yang paling monumental, didalamnya tercakup hampir seluruh persoalan yang pernah dibahas oleh aliran-aliran pemikiran keislaman terdahulu, baik kalam, filsafat, maupun tasawuf. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kedudukannya adalah sebagai mahkota dari hampir seribu tahun kehidupan Islam. Karena itu, ia merupakan suatu samudera dari doktrin-doktrin metafisik Islam serta, sampai batas tertentu, khazanah sejarah intelektual Yunani.15
Dalam bagian pendahuluan kitab tersebut, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, menurut Mulla Shadra, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi. Dia menyuarakan keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat dan agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam, kebenaran itu turun sampai pada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya para filosof pada umumnya.
Dalam konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Sokrates dan Plato. Sedangkan kategori kedua dimulai dari Phytagoras yang menerima filsafat dari Sulaiman dan para rahib Mesir –seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab.16
Kaitannya dengan essensi dan eksistensi, pada awalnya Mulla Shadra mengikuti pendapat Suhrawardi yang mengatakan bahwa essensi lebih fundamental daripada eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas sesungguhnya adalah essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya, Tuhan. Dan Cahaya itu hanya satu, sedang benda-benda yang beraneka ragam hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Tetapi, kemudian Mulla Shadra membalik ajaran itu dengan mengambil pandangan Ibn Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap essensi, namun menolak Ibn Arabi tentang wahdat al wujud (ketunggalan wujud).
Mulla Shadra memahami konsep “kesatuan wujud” dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Menurutnya, cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama tidak lain, keculai matahari.17 Shadra kemudian melanjutkan bahwa benda-benda di sekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampu menangkap essensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara essensi dan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi adalah realitas obyektif di luar pikiran, sedang essensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran, sehingga hanya merupakan wujud mental dan tidak mengada per se. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakekat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.18
Dualisme essensi dan eksistensi, Mulla Shadra melanjutkan, merupakan entitas-entitas ciptaan yang sama sekali tidak terdapat pada Dzat Wajib al Wujud. Dzat Maha Mulia ini memberikan bentuk spesifik eksistensi pada semua entitas ciptaan melalui radiasi atau iluminasi (isyraq). Wajib al Wujud ini bersinonim dengan “Cahaya di atas Cahaya” dan, karena itu, bisa digambarkan sebagai sumber bagi entitas-entitas materiil yang sedikit-banyak bercahaya dan menyerupai Wajib al Wujud. Akan tetapi, yang membuat entitas-entitas materiil ini berbeda dengan Tuhan adalah watak gelapnya itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi berbeda dengan “Cahaya di atas Cahaya”. Namun begitu, jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dengan kegelapan. Dan karena hal itulah ada keterkaitan antara alam akal, atau “alam Perintah” dan alam materiil, atau “alam ciptaan”.
Dari pola pikir seperti ini, berarti Shadra sedang melanjutkan tradisi Ibn Sina dan Neo-platonisme. Namun demikian, Shadra tidak sepakat dengan Ibn Sina dalam dua hal fundamental, yaitu keabadian alam dan kebangkitan jasmani. Menurut Shadra, para filosof kuno, dari Hermes sampai Thales, Phytagoras hingga Aristoteles, sebenarnya menyatakan bahwa alam diciptakan dalam waktu (muhdats). Lanjutnya, satu-satunya wujud yang eksistensinya mendahului waktu dan gerak adalah Tuhan. Ia beralasan, karena waktu bagian dari alam, mustahil waktu bisa mendahului perintah kreatif Tuhan (Amr) yang telah menimbulkan keberadaannya.
Kaitannya dengan kebangkitan di akhirat, Mulla Shadra berpendapat bahwa manusia pada saat itu akan memasuki tempat tinggal yang lebih tinggi, yang di dalamnya jiwa dan raga menjadi identik. Secara lebih eksplisit, pada hari kiamat, raga atau bentuk akan menjadi identik dengan jiwa dan kebiasaan atau perangai yang dijalaninya di alam yang lebih rendah (dunia). Dengan perkataan lain, penyatuan jiwa dan raga atau keidentikan keduanya dipelihara pada hari kiamat.19
Dalam hal ini, kiranya dapat dipahami bahwa konsep kebangkitan di akhirat dari Mulla Shadra ini selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan konsep al Farabi, Ibn Sina ataupun Ibn Rusyd.
Persoalan pelik lain yang dibahas oleh banyak filosof dan teolog Islam adalah masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia. Hal ini pun tidak luput dari kajian Mulla Shadra yang membahasnya dalam al Syawahid al Rububiyyah. Ia menegaskan bahwa ia telah memperoleh pengetahuan yang utuh tentang misteri ini melalui inspirasi (ilham), penyingkapan (kasyf), dan “keyakinan yang pasti” (‘ain al yaqin).
Selanjutnya, Mulla Shadra mengungkapkan mengenai pengetahuan dunia yang didasarkan pada tesis bahwa ketika wujud tidak tercampur dengan non-eksistensi dan tidak terselubungi olehnya, maka ia memanifestasikan kepada dirinya. Karena itu, essensi wujud ini mengetahui dirinya, dan essensinya adalah pengetahuan tentang dirinya dan obyek yang diketahui oleh dirinya, karena cahaya wujud itu satu, maka tabir yang menutupi realitas sesuatu tidak lain hanyalah non-eksistensi.20 Mulla Shadra juga mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. Yang pertama, tingkat pemeliharaan (inayah), yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat essensi-Nya sendiri. Tingkat kedua, adalah tingkat ketetapan global (al Qadla’ al Ijmali) yang diinterpretasikan sebagai pena (al Qalam) yang mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di bawahnya. Tingkat ketiga, adalah lembaran (al Lauh), yang juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al Qadla’ al Tafshili). Hubungan tingkat ketiga ini dengan bentuk-bentuk di dunia ini adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat, adalah ketentuan melalui pengetahuan (al Qadar al ‘Ilmi) yang terdiri dari dunia imajinal dan dunia bentuk-bentuk menggantung. Tingkat kelima, adalah ketentuan melalui objektifikasi (al Qadar al ‘Aini) yang terdiri atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Illahi langsung karena menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi. Lebih lanjut, setiap tingkat yang disebutkan Mulla Shadra itu mempunyai wujud yang memberinya realitas, dan karena hanya ada satu wujud sebagaimana ditandaskan oleh doktrin wahdah al wujud, maka Tuhan mengetahui semua mawjud berdasarkan pengetahuan-Nya tentang essensi-Nya sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah wujud mutlak.21

KRITIK PEMIKIRAN MULLA SHADRA

Dari uraian di atas memperlihatkan kepada kita betapa pola pemikiran Mulla Shadra banyak di pengaruhi oleh filsafat Peripatetik Muslim (masya’i) Ibn Sina, theosofi iluminasi (isyraqi) dari Suhrawardi, serta ajaran sufi Ibn ‘Arabi. Kesemuanya itu dikombinasikan dan diharmonisasikan olehnya secara sadar untuk tercapai suatu grand syntesis. Namun begitu, bahwa filsafat Mulla Shadra bukan hanya sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan kompromi atau rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan atas sebuah prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan dalam sejarah filsafat Islam. Hal demikian dapat kita lihat doktrin “empat perjalanan”nya, yang belum pernah dipelajari sepenuhnya oleh para filosof-filosof sebelumnya.
Selain itu dapat pula kita lihat dalam “tingkatan-tingkatan wujud”nya, dimana setelah menerima dari Suhrawardi doktrin monistik, ia lalu mengembangkan doktrinnya sendiri tentang kognisi dan sifat ruh manusia. Ruh manusia bukanlah suatu entitas berderajat tunggal yang memiliki fakultas-fakulats kognisi yang berbeda, tetapi terdiri dari level-level yang berbeda (nasya’at) yang berhubungan dengan level-level realita ontologis. Kekuatan-kekuatan pikiran bukanlah kekuatan semata-mata, tetapi secara harfiah adalah bagian dari realita. Karena itu, ruh tidak hanya “mengetahui” realita tersebut, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya dan didentikkan dengannya: ia tidak hanya perseptif tapi juga kreatif, sehingga dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa pada derajat-derajat pengalaman yang tinggi, pikiran mengalami dan menjadi apa saja yang dikehendakinya, dan dengan demikian memperoleh kemerdekaan mutlak dari eksistensi terbatas dunia materi.22 Pemikiran seperti ini merupakan bentuk Neoplatonisme yang memperoleh sifat yang baru melalui fenomenologi intusionisme Sufi yang dikembangkan Ibnu ‘Arabi.
Berdasarkan atas empirisme spiritual, filsafat Mulla Shadra ini pada esensinya adalah bersifat pribadi, meski pada dasarnya ia berusaha memenuhi kebutuhan keagamaan dari masyarakat yang cerdas pada akhir abad Pertengahan Islam: kebutuhan individu untuk hidup damai dan tentram dengan alam semesta dalam suatu masyarakat yang dengan cepat menjadi subyek keruntuhan dan disintegrasi. Wassalam.......


DAFTAR PUSTAKA

Nur, Syaifan, Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2001
Haeri, Syaikh Fadlalla, Jenjang-jenjang Sufisme, terj. Ibn Burdah, et.al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Nasr, Seyyed Hossein, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003
Shadra, Mulla, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana, et.al.,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

1 A. Khudlori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 157
2 Ibid., hlm. 158
3 Seyyed Hossein Nasr, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 903
4 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru……Loc. Cit.
5 Seyyed Hossein Nasr, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis……Op. Cit., hlm. 904
6 Ibid., hlm. 905.
7 Ibid., hlm. 913
8 Syaifan Nur, Filsafat Wujud……Op. Cit., hlm. 4
9 Seyyed Hossein Nasr, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis……Loc. Cit.
10 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru……Op. Cit., hlm. 160 et.seq.
11 Syaifan Nur,Filsafat Wujud……Op. Cit., hlm. 57-61
12 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru……Op. Cit., hlm. 159
13 Lihat pengantar Jalaluddin Rahmat dalam Mulla Shadra, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana, et.al.,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. xiii-xv
14 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat……Op. Cit., hlm. 135
15 Syaifan Nur, Filsafat Wujud……Op. Cit., hlm. 60
16 Lihat Majid al Fakhry, Sejarah Filsafat……Op. Cit., hlm. 134
17 Seyyed Hossein Nasr, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis……Op. Cit., hlm. 916
18 A. Khudlori Soleh, Wacana Baru……Op. Cit., hlm. 162 et.seq.
19 Majid al Fakhry, Sejarah Filsafat……Op. Cit., hlm. 136-138
20 Seyyed Hossein Nasr, et.al. (Ed.), Ensiklopedi Tematis……Op. Cit., hlm. 926
21 Ibid., hlm. 927-928
22 lihat Fazlur Rahman, Islam…..Op. Cit., hlm. 180 et. Seq.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design