Kamis, 16 Desember 2010

Sejarah Tafsir dan Ta'wil

Al Qur’an, datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Al Quran mengajak mereka berfikir tentang kekuasaan Allah. Dan dengan berbagai argumentasi, Kitab Suci ini juga mengajak mereka untuk membuktikan keharusan adanya Hari Kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu akan ditentukan oleh persesuaian sikap hidup mereka dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Singkatnya, al Qur’an, yang diyakini sebagai firman-firman Allah, merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya. Jadi, manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki Allah harus dapat memahami maksud-maksud Allah yang tertuang dalam Kitab Suci al Qur’an. Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah yang kemudian disebut dengan tafsir.1
Upaya untuk menafsirkan al Qur’an guna mencapai dan menemukan makna-makna yang terkandung didalamnya telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, dimana Beliau sendiri adalah Penafsir al Qur’an yang paling utama. Contoh yang cukup kongrit adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz ibn Jabal ke Yaman, dimana bila dia, Muadz ibn Jabal, menghadapi persoalan akan mencari jawabannya dengan terlebih dahulu mencari dalam al Qur’an. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa upaya penafsiran terhadap al Quran, apapun sistematika dan metodenya, telah dimulai sejak masa Rasulullah masih hidup.

PENGERTIAN TAFSIR DAN TA’WIL

Secara bahasa, tafsir adalah menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Adapun secara istilah, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.2
Ketika tafsir dipahami demikian, maka bisa dikatakan bahwa upaya penafsiran tehadap al Qur’an telah menjadi aktifitas yang tidak pernah berhenti semenjak kehadirannya di muka bumi sampai saat ini. Namun begitu, ternyata al Qur’an sendiri tampaknya tidak menetapkan suatu metode tertentu yang harus ditempuh dalam penafsiran. Bahkan term “tafsir” hanya muncul satu kali dalam al Qur’an, yaitu:”wa lâ ya’tûnaka bi matsalin illâ ji’naka bi al ĥaq wa aĥsana tafsĭrâ” (Q.S. al Furqân: 33). Term-term yang lain yang digunakan al Qur’an untuk makna yang sama atau mirip dengan tafsir adalah ta’wil (Q.S. Ăli Imrân: 7), tadabbur (Q.S. al Nisâ’: 82), bayan atau tabyin (Q.S. al Qiyâmah: 18, al Nahl:44, 64) dan tafşĭl (Q.S. Fuşşilat: 3).
Term-term tersebut tidak menunjuk secara eksplisit sebuah metode tertentu dalam penafsiran al Qur’an. Dengan demikian, al Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengembangkan metode-metode yang relevan untuk menggali dan menjelaskan makna-maknanya. Atas dasar inilah para pengkaji al Qur’an mencoba mencari dan mengembangkan metode yang relevan dan paling valid untuk menafsirkan al Qur’an.
Seperti disebutkan di atas, bahwa istilah yang hampir mirip dengan tafsir salah satunya adalah ta’wil, yang secara bahasa berarti kembali ke asal.3 Sedangkan secara istilah, ta’wil menurut Nur Cholis Majid adalah pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber Suci sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber Suci itu tadi, tapi pada “makna dalam” (batin, inward meaning).4 Hal ini sedikit berbeda dengan pengertian ta’wil menurut Manna’ al Qaththan yang mendfinisikan ta’wil sebagai essensi perbuatan yang diperintahkan.5
Kaitannya dengan perbedaan antara tafsir dan ta’wil, para ulama’ berbeda pendapat. Namun begitu, dari beberapa pengertian kedua istilah tersebut di atas, setidaknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Ketika ta’wil diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini adalah do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil”.
  2. Apabila ta’wil dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka perbedaan antara ta’wil dan tafsir cukup besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Hal ini berbeda dengan ta’wil yang merupakan essensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran).
  3. Perbedaan yang lain adalah ketika tafsir diartikan apa yang telah jelas di dalam Kitabullah, sedangkan ta’wil adalah apa yang simpulkan oleh para ulama’.
  4. dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosakata), sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.6

SEJARAH TAFSIR DAN TA’WIL

Tafsir sebagai upaya sistematis dan bermetode untuk menguak, menjelaskan dan mengaktualisasikan kandungan ayat-ayat al Qur’an telah mengalami perkembangan yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan semenjak Rasulullah masih hidup sampai sekarang kaum Muslim tidak pernah berhenti mengkaji Kitab Suci ini, meskipun kajian tersebut tentunya mengalami fluktuasi. Pernah suatu ketika pengkajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan pada saat yang lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga kajian-kajian yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya.
Pada era Rasulullah SAW, belum dikenal adanya metode tafsir,7 karena tafsir sendiri –sebagaimana yang dipahami sekarang- belum ditemukan waktu itu. Hal demikian dikarenakan ayat-ayat dalam al Qur’an, yang diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam situasi serta kondisi sosio-kultural Arab, pada umumnya tidak selalu membutuhkan penjelasan rinci dan detail untuk dapat dipahami dan ditangkap makna-maknanya oleh para sahabat. Meski begitu, Rasul sendiri memberikan penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayat tertentu yang memang sulit untuk “dicerna” dan diamalkan tanpa dijelaskan Beliau. Penjelasan atau penafsiran Rasul terhadap ayat-ayat al Qur’an terkadang dalam bentuk wahyu “tersurat” dari Tuhan, wahyu “tersirat” dalam keterangan Beliau, ataupun ijtihad sendiri.8
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan, ia berkata: ketika turun Q.S. al An’am: 82 yang berbunyi:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ (الأنعام: )
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman……(Q.S. al An’am:82)9

Ayat di atas sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?’ Beliau menjawab : ‘Kezaliman disini bukanlah seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar (Luqman : 13). Jadi, sesungguhnya kezaliman di sini maksudnya adalah syirik.’
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika diperlukan. Dari Uqbah Ibn ‘Amir, ia berkata: ‘Saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat, Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al Anfal:60).10 Ketahuilah, “kekuatan” di sini adalah memanah.11
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kandungan al Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasanRasulullah. Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang di-fardlu-kannya. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah: “Ketahuilah, sungguh telah diturunkan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya......”.12
Dengan demikian, kendatipun Rasulullah tidak mengintrodusir suatu metode yang baku, namun secara langsung Beliau sendiri telah mempraktekkan dua cara pendekatan (two approaches) dalam kajian al Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu).
Pada era shahabat, kedua cara pendekatan tersebut tetap dipakai, meskipun kecenderungan pada pendekatan naqliy (nash al Qur’an dan al Sunnah) terasa lebih dominan. Jelasnya, para sahabat dalam menerangkan berpegang pada:
  1. al Qur’anu al Karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan denga “tafsir Qur’an dengan Qur’an”,
  2. Penjelasan Rasulullah, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, dan
  3. Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar.13
Di sini perlu dijelaskan bahwasanya ijtihad mereka pada umumnya berpijak pada:
  1. Penguasaan bahasa Arab yang luas dan alami,
  2. Pengenalan adat istiadat bangsa Arab,
  3. Pengenalan latar belakang sosio-kultural ketika al Qur’an diturunkan, termasuk keadaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan,
  4. Kemampuan intelektual masing-masing.14
Diantara sahabat yang terkenal banyak menafsirkan la Qur’an adalah empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubai Ibn Ka’b, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al Asy’ari, Abdullah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn Abdullah, Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat.15
Tidak jauh beda dengan masa sahabat adalah pada masa tabi’in, dimana metode pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan al Qur’an tidak jauh berbeda dengan apa yang dipakai shahabat. Mereka bersandar kepada para pendahulunya disamping juga melakukan ijtihad dan pandangan tersendiri. Jelasnya, menurut Muhammad Husein al Dzahaby, sebagaimana disitir oleh Said Agil, para penafsir dari kalangan tabi’in dalam pemahamannya bersandar kepada Allah itu sendiri. Juga dari sesuatu yang diriwayatkan dari shahabat yang merupakan penafsiran mereka sendiri. Mereka juga mengambilnya dari ahli kitab sesuatu yang terdapat dalam kitab mereka.
Begitu pun di era sesudah tabi’in, baik periode mutaqaddimun maupun muta’akhirun, pendekatan yang digunakan dalam upaya penafsiran al Qur’an sudah dibakukan dalam bentuk tafsir ma’tsur (riwayat) dan tafsir ra’yu (akal).16
Namun di zaman modern, penafsir sedikit mengalami perubahan, dimana para mufassir menempuh pola dan langkah baru dengan memperhatikan keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir yang bercorak “sastera sosial”. Di antara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridho, Muhammad Musthafa al Maraghi, Sayid Qutub, dan Muhammad ‘Izzah Darwazah.17
Namun demikian, pembagian jenis tafsir secara dikotomis ma’tsur-ra’yu akhir-akhir ini sudah mulai ditinggalkan. Demikian pula pembagian secara trikotomis dengan memasukkan jenis tafsir isyariy sebagai unsur ketiga, juga tidak lagi populer. Disamping karena menimbulkan kerancuan, juga karena sulitnya menemukan kitab-kitab tafsir yang benar-benar murni ma’tsur atau hanya berdasar ra’yu, ataupun semata-mata isyariy. Kitab-kitab tafsir yang ada, khusunya yang ditulis oleh para penafsir modern lebih banyak merupakan perpaduan sintesa dari ma’tsur atau riwayah dan ra’yu atau dirayah sehingga ada yang menamakannya sebagai metode izdiwaj (campuran). Namun, istilah yang terakhir ini pun tidak luput dari kerancuan karena bisa menimbulkan konotasi yang bermacam-macam.
Disebabkan adanya kesulitan seperti ini, timbul upaya baru untuk membuat pengelompokan lain dari metode tafsir. Abd al Hayy al Farmawiy, misalnya, membuat 4 (empat) kelompok besar jenis tafsir berdasarkan metode yang digunakan, yaitu: metode tahliliy, metode ijmaliy, metode muqarin, dan metode mawdluiy.18
Apapun metode yang digunakan oleh penafsir, menurut Said Agil Husein al Munawwar, bahwa para penafsir diharapkan mampu menjelaskan makna lafadz dan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munasabah). Dan untuk keperluan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada sebab-sebab turun ayat (asbab al nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW. dan riwayat dari para shahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, ra’yu juga diberikan peranan yang cukup signifikan. Hanya saja, menurut Subhi Shalih, tidak boleh bertentang dengan sesuatu yang sudah pasti berdasarkan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Hal ini disebabkan karena ra’yu adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan dengan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits shahih.19
Pun demikian, diharapkan dalam melakukan penafsiran mampu menangkap pesan dan pemahaman al Qur’an tidak hanya secara tekstual serta tidak terkurung oleh lingkup historis-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al Qur’an yang bersifat rasional dan universal yang hadir dalam “pakaian” lokal.20

PENUTUP

Meskipun upaya untuk memahami kehendak Tuhan melalui firman-firman-Nya yang termaktub dalam al Qur’an sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW masih hidup, ternyata term tafsir hanya disebut satu kali saja dalam al Qur’an, lainnya adalah istilah-istilah yang hampir mirip dengan term tafsir antara lain ta’wil, tadabbur, bayan, tabyin dan tafşĭl.
Kaitannya dengan pemahaman antara tafsir dan ta’wil, para ulama’ berbeda pendapat, apakah term tafsir dan ta’wil itu identik ataukah berbeda sama sekali. Perbedaan akan tampak jelas ketika ta’wil dimaknai sebagai essensi yang dimaksud dari suatu perkataan, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan. Namun ketika ta’wil diartikan sebagai upaya menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka istilah tafsir dan ta’wil adalah dua istilah yang saling berekatan atau sama maknanya.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa upaya untuk menafsiri al Qur’an telah di mulai sejak masa Rasulullah masih hidup, namun dari masa ke masa kajian tafsir ini mengalami pasang surut. Suatu ketika kajian al Qur’an begitu intens dan marak, sehingga menghasilkan karya-karya besar yang monumental, orisinil, dan kualitatif. Dan pada saat yang lain, pernah pula mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga kajian-kajian yang ada hanya berkisar pada upaya pemberian syarah dan atau tambahan ulasan terhadap kajian sebelumnya. Namun begitu, secara umum kajian tafsir hanya menggunakan dua cara pendekatan (two approaches) dalam kajian al Qur’an. Yang pertama adalah pendekatan naqliy (nash) dan yang kedua adalah pendekatan ‘aqliy (ra’yu). Demikian itulah yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.


DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999
al Qaththan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VI, 2001
Rahman, Budhi Munawar (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1998
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
al Dhahabi, M. Husain, Tafsir wa al Mufassirun, Jilid I, Kairo: al Maktabah al Haditsah, 1976
al Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
al Farmawiy, Abd al Hayy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998




1 M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1999, hlm. 15
2 Manna’ Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. VI, 2001, hlm. 454 et.seq.
3 Ibid., hlm. 457
4 Budhi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 103
5 Manna’ al Qaththan, Loc. Cit.
6 Ibid., hlm. 460 et.seq.
7 Rasulullah tidak mengembangkan suatu metode yang sistematis dalam menjelaskan kandungan al Qur’an karena pemahaman Beliau lebih banyak bertumpu pada wahyu.
8 Dalam hal tidak ada wahyu, Rasulullah biasa melakukan ijtihad sendiri. Kalau tidak ada wahyu yang mengoreksi ijtihad Beliau, berarti ijtihad-nya benar. Sedangkan jika ijtihad Beliau meleset, pasti ada koreksi dari wahyu. Bahkan terkadang pula ada wahyu yang menjastifikasi ijtihad Beliau.
9 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 185
10 Ibid., hlm. 249. Adapun bunyi ayat tersebut adalah: وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوّةٍ
11 Manna’ al Qaththan, Op. Cit., hlm. 471
12 Ibid., hlm. 472
13 Ibid., hlm. 470-472
14 M. Husain al Dhahabi, Tafsir wa al Mufassirun, Jilid I, Kairo: al Maktabah al Haditsah, 1976, hlm. 58
15 Manna’ al Qaththan, Loc. Cit.
16 Lihat Said Agil Husin al Munawar, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002, hlm. 69-71
17 Manna’ al Qaththan, Op. Cit., hlm. 482
18 Abd al Hayy al Farmawiy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977, hlm. 23
19 Said Agil Husin al Munawar, Loc. Cit.
20 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 74

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design