Minggu, 19 Desember 2010

Pembaharuan Kalam, Filsafat, dan Tarekat Ibnu Taimiyah

Ketika Islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat) Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda dengan masa awal, dimana Islam dipahami dan diamalkan secara sederhana, murni, utuh dan penuh semangat. Sejak saat itu pula berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan Islam. Dan sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman dan pengamalan Islam menjadi sangat kompleks dan beragam, bahkan mulai mengalami ketidaktentuan dan secara perlahan berkembang menjadi tak terkontrol. Dalam suasana seperti itu, muncullah tokoh yang terkenal dengan semangat puritanisme-nya, yaitu Ibnu Taimiyah.
Kerangka dasar pemikiran Ibnu Taimiyah adalah menunjukkan bahwa Islam dan pembaharuan Islam memerlukan suatu cara, yaitu jalan tengah dan sintetik (buatan). Pada kenyataannya, jalan tengah harus dipadukan dengan perkembangan dalam Islam yang bermacam-macam tersebut dengan tetap berpegang pada ajaran pokok Islam yang termaktub dalam al Qur’an dan Sunnah yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh budaya-budaya asing.

PEMBAHARUAN IBNU TAIMIYAH

Perjuangan Ibnu Taimiyah untuk menghidupkan kembali Islam yang murni ternyata membuat orang kagum dan mau mendukung, tetapi sebagian yang lain justeru menentangnya. Pengikut-pengikut dan pendukungnya cukup kuat, tetapi musuh-musuhnya pun tidak sedikit jumlahnya. Pengagumnya menganggap bahwa ia adalah ahli yang paling dapat dipercaya di bidang ijtihad, tetapi penentangnya merendahkannya dan menganggap ide-idenya sangat sederhana dan mempertanyakan keimanannya.
Diantara pokok-pokok pemikiran Ibnu Taimiyah adalah kritikan terhadap perilaku dan praktek-praktek kaum Muslimin, baik yang berkaitan dengan Kalam, Filsafat, ataupun Tarekat.

  1. Kritik terhadap Kalam
Dalam mengkritik Kalam, Ibnu Taimiyah membalikkan posisi paham al Ghazali yang menganggap Kalam lebih utama Fiqh, kemudian ia juga mencela Kalam sebagai bentuk penyimpangan Islam. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Fazlurrahman, Kalam, terutama yang diikuti oleh para teolog (mutakallimun) setelah abad III benar-benar sudah tidak berdasarkan al Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa para mutakallimun menganggap ilmunya sebagai ilmu yang benar, karena berkaitan dengan prinsip universal dari keyakinan, sedangkan Fiqh hanya membicarakan hukum dan permasalahan-permasalahan khusus yang besar kemungkinan terperangkap dalam persoalan ijtihad (kebebasan berpikir).1
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “para mutakallimun menegaskan bahwa pembahasan-pembahasan Kalam merupakan hal yang pasti dan menghasilkan pendirian, tetapi kenyataannya tidak ada di antara para ulama’ Islam yang lebih terkotak-kotak dan saling bertentangan dari pada persoalan Kalam. Masing-masing golongan saling menyerang lawan-lawannya, mengklaim kebenaran pandangannya, bahkan saling mengkafirkan (takfir) satu sama lain.2Pencelaan Ibnu Taimiyah terhadap Kalam ini tidak hanya sebatas menganggap Kalam itu lebih buruk dibanding Fiqh, tetapi juga menganggap sebagai perkembangan yang sangat disayangkan dalam Islam.3
Ibnu Taimiyah begitu menentang Kalam hingga ia tidak menggunakan istilah kalam untuk teologinya, yang biasanya disebut dengan “Ilmu Keesaan Tuhan” (tawhid). Menurutnya, diperlukan reorientasi teologi yang radikal, karena doktrin “Kehendak Tuhan” (qadar), yang diterima dan dikembangkan pada satu sisinya saja oleh teologi yang “resmi”, telah merongrong kehidupan moral keagamaan. Untuk maksud ini diperlukan suatu pembedaan yang tajam antara “Kehendak Tuhan yang penuh Kemahakuasaan” (iradah kawniyyah) dan fungsi Tuhan sebagai “Pemerintah” (sering disebut kehendak atau perintah agama [iradah diniyyah]). Apabila doktrin yang pertama diperlukan oleh kepercayaan agama, maka doktrin yang kedua merupakan titik tolak “tindakan” religius: “Kekuasaan” dan “Kehendak” Tuhan bukanlah argumen bagi siapapun terhadap Tuhan dan Kreasi-Nya. Jadi, qadar adalah suatu obyek keimanan, tetapi tidak bisa menjadi dasar bagi suatu argumen.4
Dengan pola pemikiran seperti itu, Ibnu Taimiyah menolak doktrin Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki daya demi “memelihara” kekuasaan dan keabsolutan Tuhan.5 Jelasnya, doktrin yang dikenal dengan “teori kasb” ini menganggap bahwa perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau ac quisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih, dan diputus sendiri untuk dilakukan itu.6
Teori kasb ini berbeda dengan pandangan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kekuasaan (potensi) kehendak perbuatan untuk melaksanakan perintah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatannya sendiri. Namun demikian, Ibnu Taimiyah tetap percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Pembuat segala sesuatu. Pendapat ini menurut Ibnu Taimiyah merupakan jalan tengah (tawasuth) antara paham Jabariyah dan Qadariyah.7
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menganggap orang yang tidak percaya kepada qadar adalah seperti orang-orang Majusi (yakni penganut-penganut paham Dualisme), tetapi mereka yang menggunakannya sebagai dasar argumen (dalam masalah tindakan) adalah seperti orang-orang Musyrik (yang berbantah menentang Muhammad dengan mengatakan bahwa seandainya Tuhan menghendaki, tentulah mereka tidak menjadi orang-orang Musyrik).8

  1. Kritik terhadap Filsafat
Satu hal yang perlu diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan pada zaman itu, baik ilmu kedokteran maupun alkemi (kimia), sebagaimana juga metafisika, matematika, astronomi, bahkan musik dan puisi termasuk wilayah Filsafat. Sebab Filsafat, dalam pengertian yang luas itu, mencakup bidang-bidang yang sekarang disebut sebagai “ilmu pengetahuan umum”, yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris.
Dari semua jenis tersebut di atas, hanya filsafat yang bersifat penalaran murni dan deduktif saja yang ditolak oleh Ibnu Taimiyah, khususnya metafisika (al falsafah al ‘ula), yang dalam banyak hal menyangkut bidang yang, bagi Ibnu Taimiyah, merupakan wewenang agama.9
Keberatan Ibnu Taimiyah yang lain terhadap Filsafat adalah karena filsafat meskipun memiliki sumber-sumber yang berasal dari ajaran Islam sendiri, tetapi banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani seperti Neoplatonisme dan pemikiran-pemikiran logika Aristoteles. Disinilah pangkal keberatan Ibnu Taimiyah terhadap Filsafat karena merujuk kepada orang-orang musyrik Yunani.10
Ibnu Taimiyah sendiri sebenarnya juga tidak sependapat dengan logika (manthiq) Aristoteles. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, logika Aristoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis kulliyat (universals) atau al musytarak al muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibnu Taimiyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih dari hasil ta’aqul (intelektualisasi).
Epistimologi Ibnu Taimiyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interpretasi. Sebab baginya, dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani dan lain-lain, diperkuat dengan agama, yang dalam bahasa Ibnu Taimiyah disebut sebagai “fithrah yang diturunkan” (al fithrah al munazzalah).11
Satu hal yang pasti, Ibnu Taimiyah berkeinginan untuk memisahkan ajaran Islam dengan faktor asing atau yang datang dari luar. Ia menentang terhadap pemikiran asing dalam bentuk yang disesuaikan dengan ajaran Islam, termasuk di dalamnya filsafat yang begitu terpengaruh dengan pemikiran Neoplatonisme dan Aristoteles. Akal sebagai produk pemikiran yang dikeluarkan orang Islam dengan nama “filsafat” menurut Ibnu Taimiyah tidak ada penyesuaian terhadap agama, bahkan menjadi wahm atau khayalan yang diduga oleh sebagian orang Islam benar, padahal sebenarnya jauh dari kebenaran.12

  1. Kritik terhadap Tarekat13
Dalam menilai Tasawuf, Ibnu Taimiyah lebih moderat (mengambil jalan tengah), yakni antara mereka yang menganggap Tasawuf sebagai satu-satunya cara mendekatkan diri kepada Allah yang paling benar, dan mereka yang menganggapnya bid’ah. Menurut Ibnu Taimiyah, sikap yang paling baik dalam menilai Tasawuf atau segala sesuatu yang lain adalah menerima hal-hal yang sesuai dengan al Qur’an dan al Sunnah serta menolak hal-hal yang bertentangan dengan keduanya.14
Bertolak dari pandangan ini, Ibnu Taimiyah sangat setuju dengan sufi-sufi ortodoks seperti al Junayd, tetapi mencela dan mengkritik perkembangan tertentu dalam lingkaran sufi. Ibnu Taimiyah pun membedakan secara tajam antara sufi klasik dengan sufi belakangan. Sufi klasik dicirikan dengan perhatian terhadap moral dan asketis, sedangkan sufi belakangan dikhususkan dengan kegemaran dalam kesenangan yang memberikan kenikmatan.
Ibnu Taimiyah kemudian menjelaskan bahwa ke-khusu’-an yang berlebihan dalam ibadah yang menjauhkan seseorang dari kehidupan sosial merupakan ciri yang biasa dilakukan oleh biarawan Kristen dan banyak para sufi. Keduanya salah apabila jenis “kegiatan spiritual” ini benar-benar memberikan kesenangan dan merupakan bentuk kesenangan pribadi.15
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa semua aspek ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang integral dan wajib dipedomani serta diamalkan secara utuh dan seimbang, tidak boleh mementingkan aspek tertentu dan mengabaikan aspek lainnya. Sebab dengan memberi tekanan berlebihan pada salah satu aspek tersebut akan memberikan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun) dalam Islam.
Bertolak dari teori ini, Ibnu Taimiyah menegaskan pula: adalah suatu kesalahan yang fatal jika seseorang hanya mementingkan satu aspek ajaran Islam seperti Tasawuf saja atau sebaliknya. Menurutnya, setiap aktifitas lahir maupun batin yang bertujuan mencari ridlo Allah terhitung sebagai ibadah.16
Berkaitan dengan Tasawuf ini, Ibnu Taimiyah kemudian membedakan para sufi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
  1. Masyayikh al Islam atau masyayikh al Kitab wa al Sunnah, yaitu para sufi yang menempuh jalan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah Fudayl bin’Iyad, Ibrahim bin Adham, Abu Sulayman al Darani, al Junayd bin Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al Jilany, Syaikh Hammad al Dabbas, dan lain-lain. Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi ini tidak pernah mabuk (sukr) dan tidak kehilangan perasaan untuk membedakan atau berkata tentang sesuatu yang bertentangan dengan al Qur’an maupun Sunnah.
  2. Para sufi yang pengalamannya dalam fana’ (mabuk) telah melemahkan pikiran mereka. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk membedakan dan membuat kata-katanya tak beraturan karena tak terkontrol oleh nalar. Meskipun demikian, menurut Ibnu Taimiyah, perbuatan mereka termaafkan karena dilakukan dalam kondisi tak sadarkan diri (ecstasy). Yang termasuk dalam tingkatan kedua ini adalah Abu Yazid al Bustami, Abu Bakar al Sibli dan Abu al Husayn al Nuri.
  3. Tingkatan terakhir adalah para sufi yang menempuh jalan sesat, karena mempercayai gagasan dan doktrin yang bertentangan dengan Islam, seperti al Hallaj. Menurut Ibnu Taimiyah, al Hallaj adalah orang yang menganut doktrin inkarnasi sebagian (hulul khas), yaitu sebuah doktrin yang mirip dengan keyakinan orang Nasrani terhadap Yesus.17
Ibnu Taimiyah sangat terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya serta terus berusaha meluruskan ajaran Islam yang diselewengkan para sufi. Secara terus menerus ia menyeru untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, al Qur’an dan al Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang ia luruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat, dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurutnya, yang disebut wali ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syari’ah Islamiyah.18


DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, H. M. Yusran, DIrasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Hamim, Thoha, et.al., Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan Hukum, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999
Nashuha, Muhammad, “Tuhan menurut Pemikiran Imam al Asy’ari dan Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Teologia Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Vol. XII, No. 2, Juni 2001
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
---------, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. II, 1997
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, Cet. IV, 2000
Syukur, Amin (et.al), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
---------, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999


1 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 188
2 Ibid., hlm. 189
3 Ibid.
4 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, Cet. II, 1997, hlm. 162
5 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan……..,Op. Cit., hlm. 195
6 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, Cet. IV, 2000, hlm. 210
7 Muhammad Nashuha, “Tuhan menurut Pemikiran Imam al Asy’ari dan Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Teologia Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Vol. XII, No. 2, Juni 2001, hlm. 164
8 Fazlur Rahman, Islam……, Op. Cit., hlm. 163
9 Nurcholis Majid, Op. Cit., hlm. 224
10 Ibid., hlm. 219
11 Ibid., hlm. 213
12 H. M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.56
13 Tarekat dalam bahasa Arab disebut thariqah atau jalan spiritual menuju Tuhan yang oleh Fazlur Rahman merupakan metodologi yang dikembangkan ketika sufisme telah memperoleh pengikut. Dalam tarekat ini diajarkan tahapan-tahapan atau maqamat jalan sufi. Lihat Fazlur Rahman, Islam……….Op. Cit.,hlm. 194. Dengan demikian, Tarekat merupakan ordo-ordo dari ajaran Tasawuf. Lebih lanjut lihat Masyharuddin, “Ibnu Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf” dalam Amin Syukur (et.al), Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 91. Lihat juga Amin Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, 40
14 Suprapto, “Antara Tasawwuf dan Syari’ah; Studi atas Pemikiran Neo-Sufisme Ibn Taimiyah” dalam Thoha Hamin, et.al., Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan Hukum, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999, hlm. 85
15 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan…….,Op. Cit., hlm. 195 et.seq.
16 Amin Syukur, (et.al.), Tasawuf dan Krisis…..,Op. Cit., hlm. 97
17 Suprapto, Op. Cit., hlm. 86
18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf…….,Op. Cit., hlm. 40

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design