Selasa, 14 Desember 2010

Batas-batas Kebebasan

“Kebebasan adalah hadiah Tuhan kepada khalifah-Nya di muka bumi, yakni manusia. Siapa pun yang tidak menggunakan kebebasan, ia salah karena pengkhianatannya yang terbesar terhadap manusia”. Demikian ungkapan Mehdi Bazargan, mantan perdana menteri sementara Iran pasca revolusi tahun 1979. Lebih lanjut, Bazargan menyatakan bahwa kehendak yang bebas dan kebebasan memilih, yang disertai dengan kelemahan, kebingungan, dan perhatian sebagaimana adanya, akan menggugah kita untuk berkonsentrasi, berpikir, memutuskan, dan bergerak. Dengan demikian, kesemuanya itu adalah sarana dari evolusi dan kemajuan yang luar biasa yang dimiliki oleh manusia. Dengan kata lain, akal, persepsi, kehendak, dan moralitas adalah akibat dari kehendak bebas dan kebebasan.
Namun demikian, secara umum, dalam konsep kebebasan terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab: Siapakah subjek kebebasan? Apa penghalang kebebasan? Apa tujuan kebebasan? Berdasarkan ketiga ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kebebasan berarti bebas atau terlepasnya seseorang atau sekelompok orang dari kekangan orang atau hal lainnya untuk melakukan sebuah pekerjaan atau untuk berperilaku tertentu. Dan secara simbolis dapat dikatakan bahwa si A terlepas dari B untuk berperilaku C. Oleh karena itu, manusia yang bebas adalah manusia yang tidak terintimidasi, tidak terjajah dan tidak termarginalkan.
Berangkat dari pemahaman seperti ini maka orang yang hidup dalam kebebasan adalah mereka yang dapat bertindak tanpa terhalangi oleh hambatan-hambatan yang dibuat orang lain untuk menghalanginya. Namun, kebebasan yang seperti ini hanya dapat terwakili secara moral dan bersifat logis. Karena itu kebebasan bertindak bagi seseorang berakhir di kala ia membatasi kebebasan orang lain dengan cara kekerasan dan paksaan.
Kebebasan untuk berbuat bukan berarti bebas untuk menyakiti orang lain. Bebas berekspresi bukan berarti bebas bertindak amoral. Dengan kata lain, kebebasan seorang manusia tidak boleh mengganggu kebebasan dan ketentraman orang lain. Dengan demikian, seseorang yang tidak mau tunduk terhadap peraturan yang menjamin kebebasan umum bukanlah orang bebas, tapi orang liar. Jadi, diperlukan suatu definisi yang tepat tentang kebebasan yang mutlak bagi setiap individu itu.
Menurut John Locke, dalam bukunya “Two Treatises on Government” tahun 1690, kebebasan itu berangkat dari kepemilikan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan politik kepentingan yang mengacu pada milik pribadi (“possesive individualism”) seperti yang dimaksud beberapa kritikus. Pernyataan Locke itu lebih menekankan pada definisi bidang kepribadian. Kepemilikan yang dimaksud Locke pertama-tama adalah kepemilikan manusia atas dirinya sendiri. Dalam bahasa Inggris-Amerika modern ada istilah bagus untuk itu, yakni “self-ownership”.
Lebih jauh lagi, kebebasan bukan hanya dalam bidang kepemilikan saja, tetapi juga meliputi kebebasan dalam bidang politik, budaya, spiritual dan lain-lain. Kemungkinan pertukaran dan persaingan bebas gagasan-gagasan akan dapat menghasilkan manusia yang berdaya cipta dan percaya diri, manusia yang memajukan ilmu pengetahuan dan seni.
Namun demikian, kebebasan, terlepas dari semua kemajuan yang ada, dalam dunia nyata adalah angan-angan yang belum tersempurnakan. Hal ini mengingat cara pandang seseorang terhadap arti kebebasan –dalam segala bidang– akan sangat berbeda tergantung kepercayaan atau ideologi yang dianut oleh orang itu. Oleh karena itu, konsep kebebasan sampai sekarang masih menjadi isu yang cukup “hangat” untuk selalu didiskusikan.
Selain itu, kebebasan (freedom), baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai nilai (value) seringkali diingkari banyak orang: individu, kelompok maupun bangsa-bangsa. Kebebasan seringkali disalahpahami dan disalahgunakan atau bahkan dikhianati. Faktanya, tak ada satu masyarakat pun yang bisa menjadi manusia yang merasa bebas secara absolut di dunia ini.

Respons Islam terhadap Konsep Kebebasan

Sebagaimana halnya dengan isu-isu kontempoer lainnya yang diberi “label” dari Barat, konsep kebebasan dan liberalisme juga mendapatkan respons dari dunia Islam. Kaitannya dengan konsep kebebasan, tampaknya tidak menjadi persoalan yang serius. Bahkan, Islam mengajarkan kebebasan, menghargainya, dan memberikan jaminan terhadapnya untuk orang muslim maupun non-muslim.
Konsep kebebasan dalam Islam memainkan aktivitas sukarela, tidak ada keterpaksaan manusia dalam seluruh langkah hidupnya. Hak kebebasan individual adalah suci laksana hak hidupnya; kebebasan adalah setara dengan kehidupan itu sendiri. Jadi, pada prinsipnya setiap orang dilahirkan secara bebas menurut fitrahnya maupun kemurnian alamiahnya.
Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memilih, bahkan dalam hal beragama manusia juga memiliki kebebasan; bebas untuk menjadi mu’min atau menjadi kafir. Dalam surat al-Kahfi ayat 29 disebutkan: “Dan Katakankah, Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS 18:29).
Tetapi, ketika seorang mengaku menjadi Muslim, dan mengikrarkan dirinya sebagai Muslim, maka kebebasan yang dia miliki, juga dengan secara sadar ia batasi dengan ajaran-ajaran Islam. Seorang Muslim yang paham dan sadar akan keislamannya, tentu ikhlas untuk tidak menjadi “bebas” sepenuhnya. Ia ikhlas menerima pembatasan yang diberikan Allah dan Rasulullah saw, dan tidak mencari-cari alasan untuk melanggar aturan Allah atas nama “freedom” dan “liberty”. Seorang cendekiawan Muslim, misalnya, akan dengan sadar membatasi kebebasannya untuk tidak menulis hal-hal yang merusak aqidah dan akhlak umat. Meskipun, ia harus kehilangan banyak kesempatan untuk meraih popularitas dan kenikmatan material duniawi. Seorang pejabat Muslim, juga dengan sadar membatasi kebebasannya untuk membuat kebijakan yang menindas rakyat, meskipun ia harus kehilangan kesempatan untuk mengeruk keuntungan.
Dari uraian di atas, sudah tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang menjamin kebebasan manusia karena merupakan fitrah manusia. Secara ringkas, beberapa “kebebasan” yang dijamin oleh Islam, yaitu:
1.      Kebebasan akidah; siapa pun tidak dipaksa untuk memilih agama apa pun karena Islam tidak pernah memaksa manusia untuk memeluk Islam.
2.      Kebebasan individu; setiap individu bebas melakukan apa pun asalkan tidak mengganggu hak-hak orang. Oleh karena itu, seseorang bebas bertindak dengan tetap berpegang pada kaidah hukum dan norma yang berlaku.
3.      Kebebasan bersuara dan berpolitik; seseorang bebas menyatakan pandangan dan pikirannya. Selain itu juga bebas untuk memilih ataupun dipilih dalam ranah politik.
4.      Kebebasan hak milik, pendidikan, dan ekonomi; setiap orang mempunyai hak untuk memiliki, berhak dan bebas menuntut ilmu setinggi-tingginya, serta bebas melakukan aktifitas ekonomi.
Dari sini dapat dipahami bahwa pada dasarnya Islam sangat menghargai bahkan menjamin kebebasan seseorang, namun dengan catatan tidak melampaui batas-batas aturan syara’, hukum, serta norma yang berlaku.


Referensi:
Mehdi Bazargan, “Agama dan Kebebasan”, dalam Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum, et.al., Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 88
Euis Daryati, “Hijab dan Konsep Kebebasan (Liberalisme)”, http://islamfeminis. wordpress.com
“Kebebasan” dalam http://www.kedai-kebebasan.org
Adian Husaini, “Makna ‘Freedom’ dalam Pidato Pelantikan Bush”, dalam http://swaramuslim.net
Syeikhryz Ibnu Al-Haymdan, “Al hurriyyah; Kebebasan Menurut Islam” dalam http://syeikhryz.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design