Minggu, 19 Desember 2010

Ibnu Taimiyah; Sang Pembaharu Islam

Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyyuddin Abul Abbas bin Abdul Halim bin Muhammad bin Taimiyah al Harani al Hanbali.1 Ia dilahirkan pada tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H / 22 Januari 1263 M. Sejak kecil, ia telah merasakan pahit getirnya penderitaan akibat penjajahan. Pada usia 6 tahun, ia terpaksa harus mengikuti keluarganya eksodus ke Damaskus karena tanah kelahirannya diserang oleh tentara Tartar. Mereka kemudian menetap di Damaskus, dan di sana segera mendapatkan tempat di hati masyarakatnya yang kebetulan bermadzhab sama, yakni madzhab Hanbali.
Pandangan dan pola pikir Ibnu Taimiyah dikenal tegas dan keras, yaitu satu sikap yang ingin membangkitkan kembali semangat dan menata masyarakat Muslim menuju kejayaan. Keinginan kuat ini berpadu dengan tradisi Hanbalian yang kental sehingga menghasilkan suatu paradigma yang tak kenal kompromi dengan semua perilaku dan gagasan ulama’-ulama’ yang pada masanya dirasa menyimpang. Dan karena hal inilah, Ibnu Taimiyah kemudian dikenal sebagai pembaharu sekaligus pemurni ajaran agama Islam.2
Di kota Damaskus, tempat pengungsiannya, ia mendapatkan sebagian besar pendidikan, baik dari ayahnya sendiri yang ahli hadits, maupun dari pamannya Fakhruddin, seorang pemikir dan penulis termasyhur di kota Damaskus. Selain itu, ia juga mendapat pendidikan dari para cendekiawan terkemuka Damaskus lainnya seperti Zainuddin Ahmad bin Abdid Daim al Muqaddisi dan Najmuddin bin Asakir. Studi-studinya tidak hanya terbatas di bidang al Qur’an, Hadits, dan Fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan menjadi ahli di bidang matematika, sejarah, kesusasteraan.3
Dalam usia kurang dari 20 tahun, dia telah diundang ke Mesir untuk memberikan fatwa. Di sana, ia menunjukkan keahliannya yang sangat mengagumkan, terutama sekali fatwa-fatwanya yang ditujukan kepada pembasmian segala khurafat dan bid’ah.4 Pada tahun 699 H / 1299 M, ia memberikan banyak fatwa dalam persoalan sifat-sifat Allah atas permintaan penduduk Hammah, dan melahirkan karya yang diberinya judul al Hamawiyatul Kubra. Namun fatwanya ini menimbulkan keresahan masyarakat, sehingga dia kemudian dilarang untuk memberikan pelajaran pada waktu itu. Cara pandang dan cara pikir Ibnu Taimiyah yang sedemikian keras dan tegas dalam menyampaikan fatwa dan pendapat ini juga memunculkan antipati sebagian ulama’ waktu itu, sehingga berkali-kali ia harus keluar-masuk penjara.5
Namun begitu, di lingkungan intelektual, baik di dalam daerah raja-raja Mamluk maupun di luarnya, nama Ibnu Taimiyah sering di sebut-sebut dan dihormati karena kuliah-kuliah yang diberikannya mencakup semua aspek dan subyek di dalam pengetahuan Islam dan semuanya mempunyai tema yang sama, yaitu menghidupkan kembali semangat Nabi Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya sewaktu Islam masih murni dan belum tercampuri oleh ide-ide yang datang dari asing dan bid’ah. Pendapatnya itu dipertahankannya dengan segala pemikiran dan argumentasi-argumentasi yang kuat berdasar kepada al Qur’an dan Hadits.6
Karya-karya Ibnu Taimiyah sangat banyak sekali. Ada yang mengatakan 500 lebih karya, namun disebutkan sebanyak 64 buah yang penting, kemudian tersebarluaskan dan dijadikan pegangan oleh kaum Wahabi, baik yang ada kaitannya dengan al Qur’an, Hadits, Fiqh, Teologi, Filsafat, Politik maupun Ilmu Pengetahuan lainnya. Dan dengan buku-bukunya itulah, Ibnu Taimiyah mengkritik semua perilaku dan praktek-praktek kaum Muslimin yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.7
Ibnu Taimiyah wafat pada hari senin 20 Dzulqo’dah 728 H / 26 September 1328 M, dengan meninggalkan buku-buku hasil karyanya yang kemudian mengilhami para pemikir dan pembaharu-pembaharu abad modern, seperti Minhaj al Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalam al Syi’ah wa al Qadariyah, Kitab al Nubuwah, al Siyasah fi Ishlah al Ra’yi wa al Ra’iyah, al Hisbah fi al Islam, al Ikhtiyarat al ‘Ilmiyah, al thuruq al Hukmiyah fi al Siyasah al Syar’iyah, al Siyasah al Syari’ah, dan lain-lain.8

1 H. M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III; Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 52
2 Suprapto, “Antara Tasawwuf dan Syari’ah; Studi atas Pemikiran Neo-Sufisme Ibn Taimiyah” dalam Thoha Hamin, et.al., Antologi Kajian Islam; Tinjauan tentang Filsafat, Tasawwuf, Institusi, Pendidikan, Qur’an, Hadits, dan Hukum, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press, 1999, hlm. 84 et.seq.
3 H. M. Yusran Asmuni, Loc. Cit.
4 Ibid. hlm. 53
5 Muhammad Nashuha, “Tuhan menurut Pemikiran Imam al Asy’ari dan Ibnu Taimiyah” dalam Jurnal Teologia Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Vol. XII, No. 2, Juni 2001, hlm. 162
6 H. M. Yusran Asmuni, Op. Cit. hlm. 54
7 Ibid., hlm. 55
8 Ibid, hlm. 58

2 komentar:

Javad mengatakan...

Dalam menilai peperangan Imam Ali ra., Ibnu Taimiyah bertaka:

وَعليٌ قاتَلَ لِيُطاعَ و يَتَصَرّفُ في النفوسِ و الأموال، فكيف يُجعَلُ هذا قتالاً غلى الدينِ؟!

“Ali berperang agar ia dita’ati dan berbuat sekehendaknya terhadap jiwa-jiwa dan harta-harta, lalu bagaimana peperangan seperti itu dijadikan peperangan demi agama?!” (Minhâj as Sunnah,8/329)

Javad mengatakan...

Ibnu Taimiyah juga membebankan ke pundak Imam Ali ra. Tangung jawab kerusakan dan korban yang banyak dari kalangan umat Islam dalam peparangan tersebut!

Ia berkata:

“Sesungguhnya Ali berperang demi wilayah/kekuasaan, dan karenanya banyak jiwa mati terbunuh. Pada masa kekuasaannya tidak pernah terjadi peperangan melawan kaum kafir tidak juga menaklukkan negeri-negeri mereka! Dan kaum Muslimin tidak semakin membaik… “(Minhâj as Sunnah,6/191)

Peperangan Imam Ali ra. Hanya menambah perpacahan di tengah-tengahnumat Islam! (Minhâj as Sunnah,7/243)

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design