Senin, 20 Desember 2010

Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah


Pembahasan tentang pendidikan pada awal Islam hampir tidak dapat dipisahkan dari sosok Muhammad SAW, seorang lelaki pembawa risalah Islam yang menurut tradisi dianggap buta huruf (illiterate). Namun begitu, bagi Muslim ortodoks keadaan demikian justeru dianggap sebagai mukjizat.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, Nabi Muhammad SAW merupakan manusia paripurna, insan kamil, dan guru terbaik. Beliau tidak hanya mengajar dan mendidik, tetapi juga menunjukkan jalan, show the way. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan inspirasi hingga manusia tidak hanya mendapatkan ilmu dan kesadaran darinya, tetapi lebih jauh dari itu manusia juga mentransfer nilai-nilai darinya hingga menjadi manusia-manusia baru.[1]
Dilihat dari sudut pandang pendidikan, Nabi Muhammad SAW tampak secara nyata telah mendidik para sahabat dari belenggu jahiliyyah, kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structural poverty. Dari segi politik, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kemerdekaan bagi umat yang tertindas. Nabi Muhammad SAW mengingatkan hak-hak serta tanggung jawab mereka menjadi umat yang melek politik, hingga mereka menjadi umat yang senantiasa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan bermasyarakat dan bernegara, agar mereka menjadi umat yang kuat dan tidak dirampas hak-haknya.[2]
Namun demikian, sebenarnya sebelum Islam datang, orang Arab sudah mengenal pendidikan. Diantara mereka sudah ada yang mampu membaca dan menulis, bahkan mereka juga sudah menyelenggarakan lembaga pendidikan baca dan tulis, meski denagn bentuk yang masih sangat sederhana. Dan ini tetap berlangsung sampai kemudian Islam datang. Dengan kondisi demikian, maka tidak mengherankan apabila pendidikan pada masa awal Islam bukanlah enterprise yang diselenggarakan secara modern, dengan pengaturan yang serba baku dan ketat.
Proses pendidikan waktu itu merupakan sesuatu yang alamiah terjadi, dimana ketika ada orang yang mampu membaca dan kemudian bertemu dengan orang yang tidak dapat membaca dan menghendaki belajar, maka terjadilah proses belajar mengajar. Hal ini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Namun begitu, biasanya kegiatan seperti ini berlangsung di rumah-rumah para guru atau pekarangan masjid. Contoh misalnya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di rumah al Arqam Ibn al Arqam.[3]
Menurut A. Syalabi, pada saat datangnya Islam, orang Makkah yang pandai membaca dan menulis hanya berkisar 17 orang. Mengingat jumlah orang yang pandai baca-tulis cukup sedikit dan mereka telah menempati posisi sebagai sekretaris-sekretaris Nabi Muhammad SAW untuk menulis wahyu, maka Nabi Muhammad SAW mempekerjakan orang-orang dzimmi mengajar baca-tulis di kuttab[4] pada orang-orang Islam Makkah.[5]
Meski pengajar di kuttab didominasi oleh orang-orang dzimmi, Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan beberapa sahabat seperti al Hakam Ibn Sa’id untuk mengajar pada sebuah kuttab ketika Nabi Muhammad SAW berada di Madinah.[6] Materi yang diajarkan di kuttab periode Madinah ini tidak berbeda dengan yang diajarkan di Makkah. Pelajaran baca-tulis menjadi materi pokok bagi pelajar yang ada di kuttab. Materi pelajaran baca-tulis ini berkisar pada puisi dan pepatah-pepatah Arab. Pelajaran membaca al Qur’an tidak diberikan di kuttab, tetapi di Masjid dan di rumah-rumah. Namun begitu, seiring berjalannya waktu, al Qur’an juga diajarkan di kuttab.
Untuk tidak dirancukan dengan kuttab yang mengajarkan al Qur’an, perlu dibedakan antara kuttab jenis ini dengan kuttab yang mengajarkan baca-tulis. Kuttab jenis baca-tulis telah ada sejak masa permulaan dan sebelum Islam datang, sedangkan kuttab yang mengajarkan al Qur’an baru ditemukan setelah datangnya Islam. Namun begitu, kuttab jenis ini tidaklah didapati pada permulaan Islam muncul. Dalam hal ini, Ahmad Syalabi berpendapat bahwa meskipun pada permulaan Islam rencana pelajaran difokuskan pada menghayati al Qur’an, namun pada saat itu orang yang hafal al Qur’an jumlahnya masih sedikit. Hal ini mengingat pada permulaan Islam menghafal al Qur’an adalah suatu hal yang langka dilakukan orang.[7] Namun setelah Islam semakin meluas, pengajaran tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, melainkan materinya kemudian ditambah dengan kemampuan membaca al Qur’an secara baik dan benar.
Dan sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka bertambah pulalah jumlah penduduk yang memeluk agama Islam.Ketika itu kuttab-kuttab yang hanya mengambil sebagian ruangan di sudut-sudut rumah seorang guru ternyata sudah tidak memadai lagi untuk menampung anak-anak yang jumlahnya semakin banyak, sehingga kondisi yang demikian ini mendorong para guru dan orang tua untuk mencari tempat lain yang lebih lapang guna ketenteraman proses belajar mengajar anak-anak. Dan tempat yang mereka pilih adalah sudut-sudut masjid atau bilik-bilik yang berhubungan langsung dengan masjid, yang selanjutnya disebut suffah.[8] Menurut sebagian ahli, suffah ini dianggap sebagai universitas Islam pertama, the first Islamic university.[9]
Suffah ini menawarkan pendidikan bukan hanya untuk para pemondok, tetapi juga untuk para ulama’ dan pengunjung pada saat itu yang cukup banyak jumlahnya. Dari waktu ke waktu jumlah penghuni suffah ini berubah-ubah.[10]
Dari keterangan di atas, terlihat bahwa masjid pada masa Islam permulaan mempunyai fungsi yang jauh lebih bervariasi dibandingkan fungsinya sekarang karena selain mempunyai fungsi utama sebagai tempat pembinaan ketaqwaan dan beribadah, pembangunan masjid di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW juga difungsikan sebagai tempat belajar. Di masjid pula Nabi Muhammad SAW menyediakan ruang khusus bagi para sahabat Beliau yang miskin,yang kemudian terkenal dengan sebutan ahl al suffah/ashab al suffah.
Ahl al suffah ini terdiri dari para sahabat Nabi yang tergolong fakir dan tidak memiliki keluarga. Mereka tinggal menetap di emperan Masjid Nabawi yang difungsikan sebagai “sekolah” untuk belajar membaca dan memahami agama. Di sana mereka juga mengkaji dan mempelajari al Qur’an, kemudian melakukan rihlah (perjalanan ilmiah), ke seluruh penjuru dunia untuk mengajarkan al Qur’an kepada umat manusia.[11]



[1] Abdurahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media, 2003, hlm. 188
[2] Ibid.
[3] Lihat Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, hlm. 21
[4] Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran membaca dan menulis bagi anak-anak. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. X, 2002, hlm. 86
[5] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 34
[6] Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 24
[7] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 40
[8] Suffah atau yang juga disebut al Zilla adalah tempat duduk yang berada di pinggir masjid dan seatap dengan masjid atau serambi masjid.
[9] Lihat Moh. Untung Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2005, hlm. 44
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 43

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design