Senin, 06 Desember 2010

Makna Muhkam dan Mutasyabih dalam Al Qur'an

Muhkam dan Mutasyabih adalah salah satu genre dalam kajian-kajian al Qur’an dan tafsir yang penting dan kontroversial sepanjang sejarah. Banyak karya tulis ataupun kitab-kitab tafsir yang mengulas masalah ini, terutama ketika menafsirkan Q. S. Ali Imron ayat 7 yang menjadi fokus perdebatan.
Namun begitu, masalah mendasar dalam literatur muhkam dan mutasyabih –yakni kurangnya dukungan berupa bukti-bukti internal al Qur’an terhadap berbagai makna yang ditawarkan- tetap tak terpecahkan. Berbagai makna muhkam dan mutasyabih yang ada selama ini tidaklah dapat diterima sebagai makna historis kedua terma yang sama di dalam al Qur’an. Makna-makna tersebut lebih merupakan makna-makna pasca al Qur’an yang dituangkan ke dalam terma muhkam/muhkamat dan mutasyabih/mutasyabihat yang terdapat dalam al Qur’an.
Tulisan ini berusaha menemukan makna kedua terma di dalam al Qur’an, yang diawali dengan pemaparan beberapa opini tentang muhkam dan mutasyabih. Tentu, tulisan sesingkat ini tidak mampu meninjau seluruh literatur yang terkait dengan muhkam dan mutasyabih, mulai dari periode sighar al shahabah, tabi’in, tabi’ al tabi’in, masa pertengahan sampai pada zaman modern.

PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH

Sebagaimana diketahui, Allah menurunkan al Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi makhluk-makhluk-Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada umat manusia, dimana Ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam al Qur’an terkadang dengan lafadz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok dan serasi.
Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayat ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partial (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli). Sementara itu, beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu akan  tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. Dengan ketegasan dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka Islam akan menjadi agama abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, di sepanjang masa.[1]
Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata:  حكمت الدابة وأحكمت  yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang haq dengan yan bathil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan: حكمت السفيه وأحكمته  artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan: حكمت الدابة وأحكمتها , artinya saya memegang “hikmah” pada binatang itu. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[2]
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (هود:    )
Artinya: “Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana, Maha Teliti.”  (Q.S. Hud: 1)[3]

الر تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ (يونس:     )

Artinya: “Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat al Qur’an yang penuh hikamh.” (Q.S. Yunus: 1) [4]

Dengan demikian, secara al ihkam al ‘amm atau muhkam dalam arti yang umum berarti “Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang haq dan yang bathil dan antara yang benar dengan yang dusta.[5]
Adapun mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubah adalah merupakan keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secar kongrit maupun abstrak. Allah berfirman:  وأتوابه متشبها (al Baqarah: 25). Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih  adalah mutamatsil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن هَادٍ(الزمر:   )
    
Artinya: “Allah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhanya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petnjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.” (Q. S. az Zumar: 23)[6]  

Dengan demikian, maka “Qur’an itu seluruhnya mutasyabih”, maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan al tasyabuh al ‘amm atau mutasyabih dalam arti yang umum.[7]
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau umum sebagaimana diatas tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, pernyataan “Qur’an seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kokoh atau indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafadz-lafadznya berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an.[8]
Uraian tersebut di atas adalah pengertian muhkam dan mutasyabih dalam arti yang umum, sedangkan dalam pengertiannya yang khusus, terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan muhkam dan mutasyabih. Hal ini bermuara pada cara pemaknaan yang berbeda terhadap firman Allah:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (آل عمران:   )
Artinya: “Dialah yang menurunkan Kitab (al Qur’an) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (al Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmu mendalam berkata, “Kami beriman kepada nya (al Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (Q. S. Al ‘Imron: 7)[9]

Kaitannya dengan ayat tersebut di atas, terdapat beberapa pendapat Ulama’. Yang terpenting adalah sebagai berikut:
  1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih adalah yang hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri,
  2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah, dan
  3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[10]
Para Ulama’ memberikan contoh ayat-ayat mukam dalam al Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه:     ), كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ (القصص:     ), يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ (الفتح:    ), وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ (الفتح:   ), وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر:     )[11]
Hampir senada dengan Mana’ al Qatan adalah keterangan yang terdapat dalam kitab Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas yang menjelaskan bahwa ayat-ayat al Qur’an yang muhkamat adalah “yang menjelaskan apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan, yang belum dibatalkan, dan yang harus diimplementasikan” –mubayyinat bi al halal wa al haram lam tunsakh yu’malu biha. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat menurut Tanwir al Miqdas adalah ayat-ayat yang mengandung huruf-huruf terpisah –seperti alif lam mim- yang terdapat pada awal 29 surat al Qur’an yang dikenal dengan fawtih al suwar –huruf-huruf pembuka surat. Selain itu, Tanwir al Miqdas juga menyebut opini yang memasukkan “ayat-ayat yang sudah dibatalkan dan yang tidak dilaksanakan” ke dalam kategori mutasyabihat wa yuqalu mansukhat la yu’malu biha.[12]

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG MUHKAM DAN MUTASYABIH

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ. Apakah kedudukan lafadz ini sebagai mubtada’ yang khabar-nya adalah يَقُولُونَ , dengan “wawu’ diperlakukan sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafadz وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ataukah ia ma’thuf, sedangkan lafadz يَقُولُونَ menjadi hal dan waqaf-nya pada lafadz وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ.
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah Ulama’, diantaranya adalah Ubay bin Ka,b, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain, dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Hakim dalam mustadrak-nya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia membaca وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ.
Dan dengan qira’ah Ibnu Mas’ud:وإن تأويله إلاعندالله والراسخون فى العلم يقولون آمنا به  . Juga dengan ayat itu sendiri yang meyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih, dan mensifatinya sebagai orang-orang yang hatinya “condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.”[13]
Anggapan bahwa dalam al Qur’an terdapat ayat yang hanya diketahui maknanya oleh Allah telah muncul sejak masa-masa awal Islam (masa sahabat). Paling tidak anggapan ini tampak ketika Muqatil (w. 150 H / 767 M) membedakan “tafsir” sebagai suatu bentuk pemahaman atau penjelasan terhadap ayat-ayat yang dapat dipahami maknanya oleh Ulama’, dan “ta’wil” sebagai suatu bentuk penafsiran terhadap ayat-ayat “yang maknanya hanya dapat dipahami oleh Allah”.[14]
Kaitannya dengan pendapat pertama ini, Muhammad Syahrur menyatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa al Qur’an adalah realitas obyektif yang pena’wilannya secara sempurna hanya dapat dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu Allah Tuhan Yang Maha Mutlak. Berdasarkan pandangan ini, selanjutnya ia juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui ta’wil al Qur’an secara sempurna dan keseluruhan beserta segala detilitas dan perinciannya. Karena jika Beliau mengetahuinya secara sempurna, maka Beliau menjadi sekutu Allah dalam hal kemutlakan pengetahuan.[15]
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa golongan yang pertama ini adalah golongan yang mengartikan ta’wil menurut pengertian hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu itu, hakekat Dzat Allah, essensi-Nya, Kaifiyat nama dan sifat-Nya serta hakekat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.[16]
Pendapat yang kedua (yang menyatakan “wawu” sebagai huruf ‘athaf) dipilih oleh golongan yang lain, yang dipelopori oleh Mujahid. Golongan ini mengartikan ta’wil menurut pengertian yang kedua, yakni tafsir, sebagaimana yang dikemukakan Mujahid. Pendapat ini juga dipilih oleh an Nawawi. Dalam Syarah Muslim-nya ia menegaskan, inilah pendapat yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.[17] Namun begitu, menurut Shahrur, hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan redaksi al rasikhuna fi al ‘ilmi adalah para tokoh besar d bidang filsafat, ilmu pengetahuan alam, biogenesis, asal usul alam semesta, astronomi, dan para sejarawan dalam kapasitas mereka sebagai barisan kolektif ilmuwan ilmu-ilmu obyektif-empiris.
Barisan kolektif para ilmuwan yang mendalam ilmunya ini mena’wilkan al Qur’an dan menggali teori-teori filosofis-ilmiah darinya berdasarkan struktur ilmu pengetahuan yang ada pada mereka. Proses ta’wil dan ilmu pengetahuan akan bertambah maju seiring perkembangan zaman hingga hari kiamat. Pada saat itu, proses ta’wil terhadap setap ayat yang terkait dengan alam semesta dan kehidupan ini akanmencapai garis finishnya, yaitu ketika ayat-ayat tersebut menjelma menjadi fenomena empiris yang dapat dipahami oleh akal (al bashar). Oleh karena itu, pena’wilan yang tepat/baik hanya dapat dilakukan oleh para ilmuwan secara kolektif, bukan sendiri-sendiri.[18] 

ANALISIS
 Masalah muhkam dan mutasyabih setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan. Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat yang muhkam, dan mana pula yang mutasyabih. Karena perselisihan ini, maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkam, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabih. Firman-firman tentang surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkam, tetapi bagi sebagian yang lain, seperti golongan al Bathiniyyun (kaum kebatinan), bersifat mutasyabih, sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafora-metafora atau kiasan kiasan, yang mesti menunjuk pada hakekatnya. 
Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan ta’wil terhadap ayat yang mutasyabih. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabih itu, harus dilakukan interpretasi dibalik ungkapan-ungkapan lahiriah. Sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Mereka ini berpendapat bahwa dalam memahami ayat-ayat mutasyabih ini harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafadz dan kalimatnya. Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (isim musytarak; kata berserikat), seperti kata-kata “mendengar, mengetahui, melihat, tangan, marah, senang” dan lain sebagainya, yang dalam kitab suci ini disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia. Maka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia “berserikat” dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan hal ini menimbulkan problema. Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan hal itu sebagai metafora-metafora belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu. Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas itu dengan bila kayfa
Ketiga, bagi mereka yang memperbolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berfikir yang mendalam. Hal ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (al khowash) dan kelompok-kelompok umum (al ‘awam). Yang pertama adalah “kaum ahli”, dan yang kedua terdiri dari orang kebanyakan.

DAFTAR PUSTAKA
 
al Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS., Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. VI, 2001
Al Zarkasy, Badruddin Muhammad bin Abdullah , al Burhan fi ‘Ulum al Qur’an, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1988
Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004
Rachmawatie, May, et.al. (Ed.), Al Qur’an; Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, Bekasi: Gugus Press, 2002 
Shahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004
 
 




[1] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS., Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet. VI, 2001, hlm. 302 et.seq.
[2] Ibid., hlm. 303 lihat juga Badruddin Muhammad bin Abdullah, al Burhan fi ‘Ulum al Qur’an, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1988, hlm. 79
[3] Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004, hlm. 297
[4] Ibid., hlm. 279
[5] Manna’ Khalil al Qatan, Op. Cit., hlm. 304
[6] Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 662
[7] Manna’ Khalil al Qatan, Op. Cit. Hlm. 305
[8] Ibid., hlm. 305
[9] Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 62 et.seq.
[10] Manna’ Khalil al Qattan, Op. Cit.hlm. 306
[11] Ibid.
[12] Lihat dalam May Rachmawatie, et.al. (Ed.), Al Qur’an; Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, Bekasi: Gugus Press, 2002, hlm. 262 et.seq.
[13] Manna’ Khalil al Qattan, Op. Cit., hlm. 307
[14] May Rachmawatie,et.al., Op. Cit., hlm. 267
[15] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004, hlm. 252
[16] Manna’ Khalil al Qattan, Op. Cit., hlm. 309
[17] Ibid., hlm. 307
[18] Muhammad Shahrur, Loc. Cit.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saluuuut...

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design