Sabtu, 25 Desember 2010

Sekilas Tentang Tafsir Tahlili

Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.[1] Pengertian lebih lengkap diberikan oleh Quraish Shihab yang mendefinisikan tafsir tahliliy sebagai satu metode tafsir dimana para mufassir mengkaji ayat-ayat al Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf utsmani.[2] Dengan demikian dapat dipahami bahwa karakter utama dari jenis tafsir ini adalah menafsirkan berdasarkan tertib ayat dan surat sebagaimana tercantum dalam mushaf, menguraikan makna dan kandungan ayat secara komprehensip dari berbagai seginya, bermula dari arti kosakata, asbab al nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.[3]
Hampir senada dengan Quraish Shihab adalah Said Agil yang menyatakan bahwa para pengkaji metode ini juga menjelaskan makna lafadz dan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat di-istinbath-kan dari ayat serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munasabah). Dan untuk keperlan ini, demikian Said Agil menambahkan, perlu merujuk kepada sebab-sebab turun ayat (asbab al nuzul), hadits-hadits Rasulullah SAW. dan riwayat dari para shahabat  dan tabi’in.
Diantara keempat metode tafsir al Qur’an yang populer- tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan metode mawdluiy-, metode tafsir tahliliy merupakan metode yang paling tua. Hal ini dikarenakan metode tafsir jenis ini embrionya sudah ada sejak masa sahabat Nabi SAW. Pada awalnya para sahabat hanya menfasirkan beberapa ayat saja dari al Qur’an, kemudian pada masa-masa berikutnya mereka merasakan perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi al Qur’an, sehingga pada akhir abad ketiga dan awal keempat, para hali tafsir seperti Ibn Majjah, al Thabari dan lain-lainnya mengkaji keseluruhan isi al Qur’an.[4]
Keterangan tersebut di atas memperkuat pendapat Said Agil yang mengatakan bahwa metode tafsir tahliliy adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan ulama’-ulama’ terdahulu. Meksipun begitu, diantara mereka tidak mengemukakannya dengan cara yang sama, melainkan berbeda. Mereka ada yang mengemukakannya dengan panjang lebar (ithnab), ada yang dengan singkat (i’jaz) dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah). Jadi, para ulama’ pada masa-masa dahulu sama-sama menafsirkan al Qur’an dengan menggunakan metode tahliliy, tetapi dengan corak yang berbeda.
Menurut Malik Ibn Nabi, seorang pemikir Aljazair kontemporer, para Ulama’ menafsirkan al Qur’an dengan metode tahliliy itu tidak lain dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman kemu’jizatan al Qur’an.[5]
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik Ibn Nabi di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan para ulama’ tadi, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, masa kini pengembangan metode untuk penafsiran menjadi sangat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Muhammad Baqir al Shadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan gagasan-gagasan dan konsepsi al Qur’an yang beraneka ragam dan terpisah-pisah dalam kehidupan umat Islam.[6]
Tafsir yang menggunakan metode tahliliy dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis sesuai dengan coraknya masing-masing. Misalnya, tafsir tahliliy yang bercorak fiqhiy, sufiy, falsafiy, ‘ilmiy, dan adabiy.[7] Namun secara garis besar, tafsir tahliliy dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: tafsir bi al ma’tsur dan tafsir bi al ra’yi.[8]

1.      Tafsir bi al Ma’tsur

Tafsir jenis ini biasa disebut dengan tafsir bi al riwayah atau tafsir bi al manqul. Para ulama’ telah membuat definisi yang beraneka ragam tentang pengertian tafsir jenis ini, yang secara redaksional memiliki perbedaan, namun memiliki pengertian yang sama. Diantara definisi-definisi tersebut anatara lain yang mengatakan bahwa  tafsir bi al ma’tsur adalah cara menafsirkan al Qur’an dengan merujuk pada penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat tertentu dengan alasan bahwa penafsiran yang benar tentu saja yang datang dari Rasulullah dan para sahabat dekatnya. Itulah sebabnya metode ini dinamakan tafsir bi al ma’tsur atau menafsirkan al Qur’an berdasarkan tradisi Nabi dan para sahabatnya.[9]  Definisi yang lain adalah yang diberikan oleh Muhammad Husein al Dzahabi, yang mengatakan bahwa tafsir bi al ma’tsur adalah sesuatu yang bersumber dari nash al Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasulullah, para sahabat, dan para tabi’in, yang kesemuanya itu merupakan penjelasan terhadap  nash-nash al Qur’an, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.[10]
 Dari dua definisi tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa sumber dari model penafsiran bi al ma’tsur adalah:
a.       al Qur’an; contohnya adalah lafadz “min al fajr” dalam Q.S. al Baqarah: 187 adalah merupakan penjelasan dari lafadz “al khaith al abyadh” yang disebutkan sebelumnya.
b.      Sunnah Nabi SAW, contohnya adalah lafadz “bi dhulmi” dalam Q.S. al An’am: 82 yang ditafsiri oleh Nabi dengan “al Syirk”.
c.       Pendapat (aqwal) sahabat, contohnya adalah penafsiran Abdullah Ibn ‘Abbas yang menafsirkan Q.S. al Nasr: 110, yang menurutnya merupakan penjelasan terhadap ajal Nabi SAW.
d.      Perkatan (aqwal) tabi’in. Contoh-contohnya terdapat dalam kitab tafsir karya Ibn Jarir al Thabari, yang di dalamnya banyak dinukilkan dari para sahabat dan para tabi’in.[11]
Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode ini yang cukup terkenal adalah Jami’ al Bayan fi tafsir al Quran oleh Ibn Jarir al Thabari, al Kasyf wa al Bayan ‘an Tafsir al Qur’an karya Abi Muhammad al Husain al Baghawi dan Tafsir al Qur’an al ‘Azhim karya Ibn Katsir.[12]

  1. Tafsir bi al Ra’yi

Tafsir ini sering disebut dengan tafsir bi al Dirayah atau tafsir bi al ‘aqli. Secara terminologis, tafsir bi al ra’yi didefinisikan sebagai metode menafsirkan al Qur’an dengan kekuatan penalaran dan unsur-unsur keilmuan yang berkembang di dunia Islam yang memang berkaitan dengan bunyi teks serta isyarat-isyarat ilmiah yang datang dari al Qur’an sendiri.[13]
Namun begitu, tidak sembarang orang bisa melakukan cara tafsir bi al ra’yi ini, melainkan dia harus seorang mufassir yang telah memenuhi beberapaq persyaratan, yaitu:
1)      Berpegang teguh kepada hadits yahg berasal dari Rasulullah dengan menjauhi riwayat-riwayat yang lemah dan palsu,
2)      Berpegang teguh kepada aqwal sahabat, khususnya yang berkaitan dengan asbab al nuzul dan beberapa hal lain yang tidak bercampur dengan ra’yu,
3)      Berpegang teguh pada kaidah bahasa Arab, dan
4)      Berpegang teguh pada sesuatu yang dimaksud oleh ayat al Qur’an dan harus sesuai dengan ketentuan syara’.[14]
Akan tetapi, menurut Subhi Shalih, meskipun tafsir bi al ra’yi telah memenuhi beberapa syarat sebagaimana tersebut di atas, corak penafsiran yang demikian tetap tidak dapat dibenarkan kalau bertentangan dengan tafsir bi al ma’tsur yang sudah pasti berdasarkan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Hal ini disebabkan karena ra’yu adalah ijtihad, dan ijtihad tidak dapat disejajarkan dengan nash-nash al Qur’an dan hadits-hadits shahih.[15]

Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahliliy

Sebagaimana metode-metode penafsiran yang lain, metode penafsiran tahliliy juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Dan diantara kelebihan metode tahliliy adalah bahasannya yang komprehensif dan kaya dengan informasi tentang berbagai hal yang terkandung atau mungkin dikandung oleh suatu ayat.[16]
Kelebihan yang lain adalah kita diajak untuk menelusuri kembali serta diperkenalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar turunnya al Qur’an dan suasana social-psikologis Rasulullah serta para sahabat sewaktu al Qur’an diturunkan. Selain itu, dengan metode ini kita juga diharapkan mampu menangkap pesan dan pemahaman al Qur’an tidak secara tekstual serta tidak terkurung oleh lingkup histories-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al Qur’an yang bersifat rasional dan universal yang hadir dalam “pakaian” lokal.[17]
Sedangkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metode tafsir tahliliy  adalah bersifat parsial, cenderung kepada  pemaksaan suatu ide untuk dimasukkan ke dalam, dan terlalu berbelit-belit sehingga menimbulkan kesulitan untuk memperoleh konsep-konsep ajaran al Qur’an yang compatible dengan kehidupan nyata di masyarakat. Baqir al Sadr, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menilai bahwa metode tahliliy telah melahirkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
Dapat ditambahkan pula bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepatnya dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassir-nya. Jelasnya, meskipun metode tahliliy ini dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat yang lain.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya –apakah pada diri kita atau pada metode mereka- adalah bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya sangat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan spesifik yang mereka alami pada masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al Qur’an yang berlaku untuk setiap waktu dan tempat.[18]



DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan,  Cet. XIX, 1999
al Munawar, Said Agil Husin, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002
al Farmawiy, Abd al Hayy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977
Ichwan, Mohammad Nor, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998
al Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, Mekkah: al Daar al Su’udiyyah li Nashr, t.t.







[1] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm. 75
[2] Said Agil Husin al Munawar, Al Qur’an; Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Cet. II, 2002,hlm. 70
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan,  Cet. XIX, 1999, hlm. 86
[4] Mohamad Nor Ichwan, Loc. Cit.
[5] Lihat  Ibid., hlm. 76
[6] Ibid., hlm. 77
[7] Lihat Said Agil Husin al Munawar, Op. Cit., hlm. 70-72
[8] Abd al Hayy al Farmawiy, al Bidayah fi al Tafsir al Mawdluiy, Kairo: Mathba’ah al Hadlarah al ‘Arabiyyah, 1977,hlm. 24
[9] Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 191
[10] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., hlm. 78. Lihat juga Manna’ al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, Mekkah: al Daar al Su’udiyyah li Nashr, t.t., hlm. 182
[11] Mohammad Nor Ichwan, Op.Cit., hlm. 81-84. Masuknya aqwal tabi’in dalam kategori tafsir bi al ma’tsur menimbulkan kontroversi karena jelas bukan nash ataupun riwayat, melainkan ra’yu. Ditambah lagi, tidak ada faktor kuat yang menjamin otoritas mereka
[12] Komaruddin Hidayat, Loc. Cit.
[13] Ibid.
[14] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., hlm. 91
[15] Ibid.
[16] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 86 et. Seq.
[17] Komaruddin Hidayat, Loc. Cit.
[18] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design